Review: The White Tiger (2021)


Cukup wajar jika beberapa orang memberikan perbandingan antara film terbaru arahan Ramin Bahrani (99 Homes, 2015), The White Tiger, dengan film Slumdog Millionaire (2008) yang diarahkan oleh Danny Boyle. Seperti halnya film yang memenangkan gelar Best Picture dari ajang The 81st Annual Academy Awards tersebut, The White Tiger juga berbicara mengenai ketidakadilan serta perjuangan kelas pada masyarakat kelas bawah di India. Namun, jika Boyle mengemas Slumdog Millionaire dengan balutan kisah romansa yang kemungkinan besar akan mampu menempatkan senyuman di wajah setiap penonton pada akhir presentasi filmnya, Bahrani menghadirkan The White Tiger sebagai sajian kisah yang lebih realis tentang kerasnya kehidupan kaum miskin. Tidak ada sosok pemuda miskin yang dengan keberuntungannya kemudian mampu menyelesaikan masalah hidupnya dengan memenangkan sejumlah uang dari sebuah acara kuis di televisi – sebuah singgungan yang sempat disampaikan Bahrani lewat salah satu dialog yang dilontarkan oleh karakter utama dalam filmnya.

Dengan naskah cerita yang digarap oleh Bahrani berdasarkan novel berjudul sama yang ditulis oleh Aravind Adiga, The White Tiger bercerita tentang perjuangan seorang pemuda bernama Balram Halwai (Adarsh Gourav) untuk keluar dari jurang kemiskinan. Perjuangan tersebut dimulai Balram Halwai dengan menjadi supir bagi Ashok (Rajkummar Rao) yang merupakan anak dari seorang juragan tanah yang dikenal dengan sebutan The Stork (Mahesh Manjrekar). Sikap cerdas dan setia yang senantiasa ditunjukkan oleh Balram Halwai dengan segera membuatnya menjadi sosok yang dapat dipercaya bagi Ashok dan istrinya, Pinky Madam (Priyanka Chopra Jonas). Sayang, hubungan tersebut secara perlahan mulai memburuk ketika Ashok dan Pinky Madam terlibat dalam sebuah tragedi yang kemudian justru menyeret Balram Halwai sebagai sosok yang disalahkan. Di saat yang bersamaan, hubungan yang memburuk tersebut justru memberi cambukan pada Balram Halwai untuk mendapatkan taraf kehidupan yang jauh lebih baik.

Dengan film-film seperti Man Push Cart (2005), Goodbye Solo (2008), hingga 99 Homes berada dalam filmografinya, tema kesenjangan sosial serta gambaran akan berbagai perjuangan yang harus dilalui dalam keseharian para kelas pekerja jelas bukanlah tema pengisahan yang benar-benar baru bagi Bahrani. Kefamiliaran tersebut mampu mendorong Bahrani untuk menyelami banyak lingkup cerita yang ingin disampaikan oleh filmnya, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan kemiskinan yang dialami oleh berbagai lapisan masyarakat India. Bahrani juga tidak segan untuk menyentuh bahasan tentang kasta, agama, politik, hingga tindak korupsi yang terstruktur dan mengakar dalam barisan dialog serta konflik yang dituturkan oleh The White Tiger. Terdengar sangat serius? Tidak juga. Penyampaian cerita Bahrani juga sering dihadirkan dalam warna dark comedy yang, sejujurnya, justru menjadikan banyak konflik dalam film ini hadir semakin tajam.

Penuturan The White Tiger sendiri tidak sepenuhnya berlangsung secara lancar. Ritme cerita yang acapkali terasa berantakan – berkisah secara lugas di satu bagian namun juga kadang tampil bertele-tele dalam banyak bagian lainnya – membuat penceritaan Bahrani tidak mampu untuk meninggalkan ikatan emosional yang lebih kuat. Galian yang diberikan film ini pada karakter-karakter pendukung yang berada di sekitar karakter Balram Halwai juga tampil cenderung dangkal. Padahal, sosok-sosok seperti Ashok ataupun Pinky Madam memiliki peran serta pengaruh yang cukup krusial pada sejumlah tindakan yang diambil oleh sang karakter utama. Tidak lantas membuat kualitas presentasi The White Tiger secara keseluruhan menjadi bernilai buruk. Namun, dengan tema pengisahan, tata penuturan, serta konflik yang cukup sensasional, film ini kehilangan kesempatannya untuk mencengkeram perhatian penonton secara utuh hingga menghasilkan kesan yang mendalam setelah menyelesaikan pengisahannya.

Terlepas dari sejumlah kelemahan pada penuturan cerita, The White Tiger tidak pernah terasa menjemukan berkat berbagai pilihan artistik dalam pengarahan yang diberikan Bahrani. Desain produksi yang kuat, mulai dari tata sinematografi hingga tata rias dan rambut, memberikan gambaran yang kuat antara dunia si miskin dan si kaya yang ingin dihadirkan Bahrani. Musik-musik popular yang dipilihkan Bahrani untuk mengisi banyak adegan film juga memberikan energi sekaligus tampilan yang menarik bagi The White Tiger.

Departemen akting film ini juga hadir nyaris tanpa cela. Rao, Chopra Jonas, hingga Manjrekar hadir dalam kapasitas akting terbaik mereka dalam menghidupkan tiap karakter yang mereka perankan. Penampilan dari Gourav sendiri jelas menjadi atraksi utama bagi The White Tiger. Merupakan peran utama perdananya di sebuah film layar lebar setelah sempat tampil mendampingi Shah Rukh Khan di My Name is Khan (Karan Johar, 2010) dan Sridevi di Mom (Ravi Udyawar, 2017), akting Gourav menjadikan sosok Balram Halwai yang nekat melakukan apa saja demi meraih kesuksesan sebagai karakter yang begitu mencuri perhatian. Penampilan yang kuat yang sekaligus membuat The White Tiger mampu mengaum kuat dalam penuturan tiap konfliknya.

The White Tiger (2021)

Directed by Ramin Bahrani Produced by Mukul Deora, Ramin Bahrani, Priyanka Chopra Jonas Written by Ramin Bahrani (screenplay), Arvind Adiga (novel, The White Tiger) Starring Adarsh Gourav, Rajkummar Rao, Priyanka Chopra Jonas, Mahesh Manjrekar, Perrie Kapernaros, Swaroop Sampat, Vijay Maurya, Nalneesh Neel, Kamlesh Gill, Vedant Sinha, Aaron Wan, Abhishek Khandekar, Trupti Khamkar, Solanki Diwakar, Rajesh Aggarwal, Sanket Shanware, Satish Kumar, Mahesh Pillai, B. Shantanu, Alka Saxena, Ram Naresh Diwakar, Amitabh Acharya, Deepak Simwal, Girish Pal, Harshit Mahawar, Lokesh Mittal, Sandeep Singh, Divyesh Vijayakar Music by Danny Bensi, Saunder Jurriaans Cinematography Paolo Carnera Edited by Tim Streeto Production companies Lava Media/Netflix/Noruz Films Running time 125 minutes Country India, United States Language English

One thought on “Review: The White Tiger (2021)”

Leave a Reply