Review: Despicable Me 3 (2017)


Do we really need another Despicable Me movie? Well… apapun jawabannya, dengan raihan komersial yang mencapai lebih dari US$2.6 miliar dari perilisan dua seri Despicable Me (Pierre Coffin, Chris Renaud, 2010 – 2013) sebelumnya plus sebuah film subseri berjudul Minions (Coffin, Kyle Balda, 2015), Illumination Entertainment jelas akan terus melanjutkan perjalanan seri film ini. Masih diarahkan oleh pasangan sutradara yang sama, Coffin dan Renaud, serta dengan naskah cerita yang juga masih ditulis oleh Cinco Paul dan Ken Daurio yang telah menggarap naskah cerita seri film ini semenjak awal, produk teranyar dari seri animasi Despicable Me, Despicable Me 3, masih menawarkan deretan formula pengisahan yang telah cukup familiar bagi penggemar seri film ini. Does it still work? Yes. Despicable Me 3 masih mampu menawarkan hiburan (dan sentuhan emosional) di beberapa bagiannya. Namun, secara keseluruhan, cukup sulit untuk memberikan apresiasi lebih bagi film ini ketika kesuksesan-kesuksesan minor tersebut lebih sering hadir dari repetisi guyonan atau adegan dari film terdahulu daripada hasil pengolahan cerita baru yang lebih segar.

Jika pada film pertama karakter utama dari seri film Despicable Me, Gru (Steve Carell), dikisahkan bersedia menata ulang kehidupannya sebagai seorang penjahat kelas kakap demi mengasuh tiga anak perempuan yang ia adopsi, Margo (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier) dan Agnes (Elsie Fisher), dan pada film kedua Gru kemudian dikisahkan bertemu dan bertunangan dengan sang kekasih hati, Lucy Wilde (Kristen Wiig), maka pada film ketiga ini Gru dikisahkan telah menikah dengan Lucy Wilde dan hidup tenang bersama ketiga puterinya – dan para minion, tentu saja. Kehidupan bahagia mereka kemudian terusik dengan kehadiran saudara kembar Gru yang telah lama menghilang, Dru (juga diisisuarakan oleh Carell). Pertemuan kembali antara Gru dan Dru sebenarnya berawal dengan sangat baik. Namun, setelah membawa dan memperkenalkan Dru pada anggota keluarganya, Gru menyadari bahwa Dru memiliki jalan kehidupan yang berbeda dengan dirinya. Di saat yang bersamaan, Gru juga harus melawan seorang penjahat Balthazar Bratt (Trey Parker) yang berniat untuk membalaskan dendamnya kepada Gru.

Jika Illumination Entertainment dan Universal Pictures benar-benar ingin melanjutkan seri film Despicable Me dalam jangka waktu yang lama, mereka sepertinya harus belajar dari kesalahan yang dibuat DreamWorks Animation lewat seri film Shrek (2001 – 2010) atau Blue Sky Studios lewat Ice Age (2002 – 2016). Seperti yang terjadi pada kedua seri film tersebut, Despicable Me 3 terasa kehilangan arah dalam mengembangkan alur kisah yang dijalani karakter-karakter utamanya. Dan ketika hal tersebut terjadi, jalan cerita film justru memilih untuk menonjolkan para karakter pendukung – karakter Puss in Boots dan Donkey pada Shrek serta karakter Scrat pada Ice Age – untuk mengisi ruang hampa pengisahan dengan guyonan-guyonan dangkal. Guyonan-guyonan tersebut memang mampu tampil menghibur. Namun, di saat yang bersamaan, sulit untuk menyangkal bahwa guyonan-guyonan tersebut akhirnya membayangi penceritaan utama dan menghalanginya untuk berkembang dengan lebih baik.

Gagasan penceritaan yang dilemparkan Paul dan Dario untuk Despicable Me 3 sendiri sebenarnya tidaklah buruk. Selain berhasil memberikan sentuhan kisah keluarga yang cukup hangat – mulai dari pertemuan antara karakter Gru dengan saudara kembarnya yang telah lama hilang hingga kisah mengenai karakter Lucy Wilde yang sedang belajar mengenai posisi barunya sebagai seorang ibu, Paul dan Dario juga mampu menciptakan sosok antagonis yang menarik. Digambarkan sebagai sosok eksentrik yang lekat dengan gaya hidup di tahun 1980an – yang membuat kehadirannya selalu diiringi lagu-lagu dari Michael Jackson, a-ha, Nena hingga Madonna – karakter Balthazar Bratt begitu berhasil tampil mencuri perhatian. Tentu saja, kepiawaian Parker yang mengisisuarakan karakter tersebut menjadi faktor pendorong lain mengapa karakter Balthazar Bratt tampil begitu bernyawa. Sayangnya, potongan-potongan ide penceritaan menarik tersebut gagal untuk diolah dengan baik dan akhirnya hadir dengan presentasi kisah yang setengah matang.

Naskah cerita arahan Paul dan Dario sebenarnya bisa saja bercerita dengan lebih efektif jika pengarahan Coffin dan Renaud mampu tampil lebih dinamis. Coffin dan Renaud gagal untuk memberikan ritme yang tepat bagi penceritaan Despicable Me 3 sehingga banyak plot pengisahan film terasa saling bertumpang tindih satu dengan yang lain. Setidaknya, Coffin dan Renaud berhasil menyajikan kualitas yang lebih baik pada tampilan departemen produksi dan pengisi suara film. Despicable Me 3 hadir dengan kualitas animasi yang menawan, penuh warna dan jelas akan mampu memikat siapa saja yang menyaksikannya. Meskipun tidak mampu hadir sekuat Happy, lagu-lagu karya Pharrell Williams juga cukup berhasil mengisi atmosfer keceriaan pada banyak adegan film. Sementara itu, dari departemen pengisi suara, Carrell dan Wiig tampil semakin meyakinkan dan erat dengan karakter yang mereka sajikan. Begitu pula dengan pengisi suara lain seperti Cosgrove, Steve Coogan, Julie Andrews dan Jenny Slate yang cukup mempersolid kualitas penceritaan. [C]

despicable-me-minions-gru-movie-posterDespicable Me 3 (2017)

Directed by Pierre Coffin, Chris Renaud Produced by Janet Healy, Chris Meledandri Written by Ken Daurio, Cinco Paul Starring Steve Carell, Kristen Wiig, Trey Parker, Miranda Cosgrove, Dana Gaier, Nev Scharrel, Steve Coogan, Andy Nyman, Julie Andrews, Jenny Slate, Pierre Coffin, Chris Renaud Music by Heitor Pereira, Pharrell Williams Editing by Claire Dodgson Studio Illumination Entertainment/Universal Pictures Running time 90 minutes Country United States Language English

One thought on “Review: Despicable Me 3 (2017)”

Leave a Reply