Diadaptasi dari novel karangan Alnira yang berjudul sama, film terbaru arahan Pritagita Arianegara (Surga yang Tak Dirindukan 3, 2021), Gendut Siapa Takut?!, bercerita tentang seorang penulis novel romansa sukses bernama Moza Aphrodite (Marshanda) yang meskipun memiliki ukuran tubuh yang tidak proporsional namun selalu merasa percaya diri dengan berbagai kemampuan dan pencapaian yang telah berhasil diraihnya. Tetap saja, dengan usia yang terus bertambah, dan kedua orangtua (Tora Sudiro dan Cut Mini) yang terus mendesak, mendapatkan pasangan hidup kini seringkali menjadi fokus dan beban pemikirannya. Moza Aphrodite sebenarnya menyimpan rasa suka kepada Dafian Jatmiko (Marthino Lio), seorang sutradara film terkenal yang akan memfilmkan novelnya. Namun, dirinya enggan untuk bersaing dengan seorang model sekaligus aktris bernama Anggun (Jihane Almira) yang juga sedang berusaha mendapatkan perhatian Dafian Jatmiko. Di lain kesempatan, Moza Aphrodite bertemu kembali dengan Nareswara Radeva (Wafda Saifan Lubis), teman sekelasnya yang dahulu sering menjadikan tubuh gendutnya sebagai bahan ejekan namun sekarang telah berprofesi sebagai seorang dosen dan datang menemui Moza Aphrodite untuk meminta maaf. Pertemuan dengan Nareswara Radeva ternyata perlahan memicu rasa suka di hati Moza Aphrodite. Continue reading Review: Gendut Siapa Takut?! (2022)
Tag Archives: Wafda Saifan
Review: Kuntilanak 3 (2022)
Ada sesuatu yang berbeda dari presentasi cerita Kuntilanak 3. Seperti halnya Kuntilanak (2018) dan Kuntilanak 2 (2019), film ini masih diarahkan oleh Rizal Mantovani berdasarkan naskah cerita yang ditulis Alim Sudio. Namun, berbeda dengan dua film pendahulunya yang kental akan nuansa horor dalam penuturan ceritanya – well… penuturan horor yang ditujukan bagi kalangan penonton muda, Kuntilanak 3 melangkah sedikit menjauh dari warna horor dengan menghadirkan bangunan cerita berkesan fantasi yang akan dengan segera mengingatkan banyak penontonnya pada film-film dalam seri Harry Potter (2001 – 2011). Sebuah pilihan kreatif yang jelas diambil guna semakin memperluas jangkauan wilayah pengisahan Jagat Sinema Kuntilanak – yang didalamnya juga mengikutsertakan film Mangkujiwo (2020) arahan Azhar Kinoi Lubis dan akan terhubung dengan trilogi Kuntilanak (2006 – 2008) sebelumnya – garapan Mantovani bersama dengan MVP Pictures. Continue reading Review: Kuntilanak 3 (2022)
Review: Generasi 90an: Melankolia (2020)
Merupakan penulis naskah bagi film-film seperti Surat dari Praha (Angga Dwimas Sasongko, 2016), Love for Sale (Andibachtiar Yusuf, 2018), hingga Story of Kale: When Someone’s in Love (Sasongko, 2020), M. Irfan Ramli kini melakukan debut pengarahannya melalui film Generasi 90an: Melankolia. Seperti halnya Nanti Kita Cerita tentang Hari ini (Sasongko, 2020) – yang salah satu karakternya diberikan ruang penceritaan tersendiri lewat Story of Kale: When Someone’s in Love, Generasi 90an: Melankolia juga merupakan adaptasi bebas dari buku yang ditulis oleh Marchella FP. Bebas, dalam artian jika buku yang berjudul Generasi 90an yang dijadikan basis cerita dari film ini merupakan buku yang berisi berbagai kenangan akan film, musik, dandanan, permainan, bacaan, hingga makanan yang sempat populer di era tersebut, maka film yang naskah ceritanya juga ditulis oleh Ramli ini akan menuturkan garisan kisah yang dialami oleh sejumlah karakter. Continue reading Review: Generasi 90an: Melankolia (2020)
Review: Tes Nyali (2015)
Ugh. How do you solve a problem like film horor Indonesia? Sempat menjadi tambang emas bagi banyak rumah produksi film untuk menarik penonton dalam jumlah yang tidak sedikit, film horor buatan Indonesia kini justru dituding menjadi penyebab utama mengapa hampir seluruh pengunjung bioskop di Indonesia enggan menyaksikan film buatan sineas negeri mereka sendiri. Well, to be fair, tidak semua film horor made in Indonesia berkualitas menyedihkan. Lihat saja film Belenggu (2013) arahan Upi yang berhasil meraih banyak nominasi di ajang Festival Film Indonesia tahun 2013 lalu. But then… tidak semua sineas horor Indonesia mampu (atau mau?) membuat film horor sekelas Belenggu. Kebanyakan dari mereka memilih jalan pintas dengan menyajikan sajian yang mereka anggap dapat menakut-nakuti penonton, meletakkan beberapa wajah dan fisik aduhai dalam jajaran pemerannya untuk kemudian dijual dengan judul dan poster bernuansa horor yang setidaknya akan mampu menarik perhatian penonton awam yang sama sekali tidak memiliki film tujuan ketika berkunjung ke bioskop – dan jumlah penonton dalam kategori tersebut adalah SANGAT BANYAK.
Tes Nyali, saudara-saudara, adalah salah satu contoh film Indonesia yang dibuat murni hanya untuk mereguk keuntungan komersial semata tanpa pernah memandang penontonnya sebagai umat manusia yang seutuhnya. Sejujurnya, film yang disutradarai oleh Vijei Al Fajr ini memiliki premis yang cukup menjanjikan: film ini mengajak penontonnya ke balik layar pembuatan sebuah serial televisi reality show horor namun orang-orang yang bekerja di balik layar tersebut justru terjebak dengan kengerian supranatural yang mereka hadapi selama menjalani proses produksi. Bayangkan saja The Blair Witch Project (1999) namun dengan sentuhan kearifan lokal.
Sayangnya, apapun harapan yang akan penonton dapatkan ketika membaca sinopsis film Indonesia akan segera sirna beberapa menit setelah durasi film ini memulai perjalanannya. Mari kesampingkan lebih dahulu fakta mengenai naskah cerita yang ditulis oleh Adi Baskoro dan VJ Erwanto Aplhadullah memiliki banyak kelemahan di dalam penulisannya. Film ini bahkan tidak memiliki kekuatan presentasi tata gambar yang mampu untuk membuat film ini bercerita kepada penontonnya. Ditangani oleh Nandang Wahyu, tata gambar Tes Nyali hadir dengan kualitas berantakan. Banyak adegan terus menerus mengalami pengulangan di awal, tengah maupun akhir film dengan tanpa kehadiran alasan yang jelas. Pusing? Tentu saja. Sekarang tambahkan dengan kualitas penulisan naskah seadanya yang juga meletakkan deretan konflik film serta karakter-karakternya (yang tergambar sangat tidak jelas) secara sembarangan. Tes Nyali hampir tidak dapat disebut sebagai sebuah film. Sajian ini lebih pantas disebut sebagai rangkaian gambar acak yang berjalan sepanjang 76 menit.
Perlu lebih banyak alasan untuk membenci film ini? Bagaimana dengan deretan jajaran pemeran yang tampil dengan kualitas sangat, sangat menyedihkan – padahal kebanyakan dari mereka tampil seperti diri mereka sendiri. Pengarahan buruk. Naskah cerita buruk. Akting yang buruk. Kualitas produksi yang buruk. Banyak orang akan mempertanyakan mengapa Tes Nyali dapat dijual di layar bioskop Indonesia. Sebuah produk berkualitas sangat buruk yang sekali lagi akan membuat banyak penonton film Indonesia mempertanyakan dan meragukan kualitas para sineas negaranya. Wait… atau tujuan dirilisnya film ini adalah untuk melakukan tes nyali kepada penonton untuk membuktikan ketahanan nyali mereka dalam menyaksikan sajian yang benar-benar buruk? Jika Anda marah-marah dan menuntut uang kembali setelah menonton film ini maka Anda akan dianggap gagal? Hmmm… [F]
Tes Nyali (2015)
Directed by Vijei Al Fajr Produced by Sendy Febrina, Esa Sigit, Wafda Saifan, Cheverly Written by Adi Baskoro, VJ Erwanto Aplhadullah Starring Tamara Tyasmara, Wafda Saifan, Esa Sigit, Jessica Hadipranata, Ilvi Rahmi, Iqbal Azhari, Rabzki Muzy, Denny Rachman, Betty, Chantika Music by Mario Ferhard Bach Cinematography Yohan Daryanto Edited by Nandang Wahyu Production company 3Star Films/88 Films Running time 76 minutes Country Indonesia Language Indonesian