Tag Archives: Tim Blake Nelson

Review: Nightmare Alley (2021)

Lima tahun selepas mengarahkan The Shape of Water (2017) yang berhasil meraih 13 nominasi dan memenangkan empat kategori diantaranya, termasuk Best Picture dan Best Director, dari ajang The 90th Annual Academy Awards, sutradara Guillermo del Toro kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk mengarahkan Nightmare Alley. Merasa familiar dengan judul tersebut? Film yang naskah ceritanya ditulis oleh del Toro bersama dengan Kim Morgan ini memang diadaptasi dari novel popular berjudul sama yang ditulis oleh William Lindsay Gresham. Novel tersebut sebelumnya pernah diadaptasi menjadi film cerita panjang yang dirilis dengan judul yang sama oleh sutradara Edmund Goulding pada tahun 1947 yang menghadirkannya sebagai presentasi yang menggunakan gaya penceritaan neo-noir. Versi teranyar dari adaptasi Nightmare Alley garapan del Toro juga mengadopsi tata pengisahan neo-noir yang elemen-elemen visualnya sering menggunakan tata pencahayaan yang rendah, gaya sinematografi yang banyak dipengaruhi kehadiran bayangan, serta penempatan kamera yang tidak biasa. Continue reading Review: Nightmare Alley (2021)

Review: Angel Has Fallen (2019)

Menyusul kesuksesan Olympus Has Fallen (Antoine Fuqua, 2013) dan London Has Fallen (Babak Najafi, 2016) – yang secara mengejutkan berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar lebih dari US$350 juta dari biaya produksi yang “hanya” mencapai US$130 juta, kisah petualangan agen rahasia Mike Banning (Gerard Butler) berlanjut dalam Angel Has Fallen. Kini diarahkan oleh Ric Roman Waugh (Snitch, 2013), Angel Has Fallen masih setia mengikuti pakem penceritaan yang telah diterapkan pada dua film sebelumnya. Dikisahkan, dalam salah satu perjalanan wisatanya, President Alan Trumbull (Morgan Freeman) mendapatkan serangan bersenjata yang membunuh hampir seluruh anggota pasukan pengamanannya – hanya Mike Banning yang selamat dari serangan tersebut. Mike Banning dan President Alan Trumbull lantas dirawat dalam keadaan koma akibat serangan yang mereka terima. Belum selesai masa penyembuhan, posisinya sebagai satu-satunya anggota pasukan pengamanan presiden yang berhasil selamat justru memancing kecurigaan dari Federal Bureau of Investigation bahwa Mike Banning terlibat dalam sebuah rencana untuk membunuh sang presiden. Sadar bahwa dirinya sedang dijebak, Mike Banning lantas melarikan diri guna mengumpulkan berbagai bukti bahwa dirinya tidak bersalah sekaligus menemukan siapa sosok yang bertanggungjawab dibalik penjebakan dirinya. Continue reading Review: Angel Has Fallen (2019)

Review: The Hustle (2019)

Di tahun 1988, Steve Martin dan Michael Caine membintangi komedi Dirty Rotten Scoundrels arahan Frank Oz yang merupakan versi buat ulang dari Bedtime Story (Ralph Levy, 1964) dan berkisah mengenai dua orang penipu yang saling bersaing untuk merebut perhatian seorang wanita kaya untuk mendapatkan hartanya. Di tahun 2019, Bedtime Story dan Dirty Rotten Scoundrels dijadikan basis bagi jalan pengisahan The Hustle yang masih menawarkan premis serupa namun kini menempatkan dua sosok karakter perempuan sebagai karakter sentral cerita. Merupakan film yang menjadi debut pengarahan film layar lebar bagi sutradara Chris Addison, The Hustle bercerita tentang dua orang wanita, Josephine Chesterfield (Anne Hathaway) dan Penny Rust (Rebel Wilson), yang sama-sama memiliki kegemaran untuk menipu para pria hidung belang guna mendapatkan uang mereka. Persaingan keduanya memuncak ketika Josephine Chesterfield dan Penny Rust sama-sama mengincar seorang milyuner internet, Thomas Westerburg (Alex Sharp), yang membuat keduanya mengeluarkan strategi terbaik mereka untuk dapat mengalahkan pesaing mereka. Continue reading Review: The Hustle (2019)

Review: Billy Lynn’s Long Halftime Walk (2016)

Setelah Life of Pi (2012) yang berhasil meraih nominasi Best Picture sekaligus memenangkannya Academy Awards kedua sebagai Best Director dalam ajang The 85th Annual Academy Awards, Ang Lee sepertinya telah jatuh cinta dengan berbagai inovasi teknologi dalam pembuatan film. Kecintaannya tersebut kembali dibuktikan Lee lewat Billy Lynn’s Long Halftime Walk. Lee menginginkan penontonnya untuk merasakan pengalaman yang lebih nyata dan realistis dalam mengikuti kisah yang disajikan. Karenanya, Lee tidak hanya menghadirkan Billy Lynn’s Long Halftime Walk dalam teknologi tiga dimensi seperti halnya Life of Pi. Ia juga menyajikan gambar filmnya dalam jumlah bingkai gambar berkecepatan 120 bingkai gambar setiap detiknya – dimana standar film umum dihadirkan dalam 24 bingkai gambar per detik. Tidak hanya itu, resolusi gambar yang disajikan Lee dalam Billy Lynn’s Long Halftime Walk juga berada pada tingkat resolusi gambar tertinggi untuk saat ini, 4000 piksel. Continue reading Review: Billy Lynn’s Long Halftime Walk (2016)

Review: Detachment (2012)

Walaupun memiliki premis film yang bercerita mengenai seorang guru yang harus mengajar di sebuah sekolah dimana kebanyakan muridnya merupakan kumpulan remaja yang bermasalah, Detachment bukanlah Dangerous Minds (1996). Jika Dangerous Minds memfokuskan kisahnya pada satu karakter guru yang berusaha untuk membawa para muridnya ke jalan (baca: pilihan) hidup yang lebih baik, maka Detachment memilih untuk melihat secara lebih dekat bagaimana sebenarnya kehidupan pribadi para guru ketika harus dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang harus mereka hadapi saat orang-orang yang mereka ajarkan kebanyakan tidak mempedulikan dan bahkan sering merendahkan mereka. Sebuah potret kelam yang depresif dan seringkali sukar untuk diikuti.

Continue reading Review: Detachment (2012)