Tag Archives: Scarlett Johansson

Review: Black Widow (2021)

Lebih dari satu dekade semenjak diperkenalkan pertama kali melalui Iron Man 2 (Jon Favreau, 2010), tampil di sembilan film yang menjadi bagian Marvel Cinematic Universe, serta menyaksikan rekan-rekannya sesama karakter pahlawan super perempuan yang diadaptasi dari seri komik seperti Captain Marvel dan Wonder Woman mendapatkan film tunggal mereka terlebih dahulu, Marvel Studios akhirnya memberikan kesempatan – atau penghormatan, mengingat apa yang terjadi dalam linimasa Avengers: Endgame (Anthony Russo, Joe Russo, 2019) – pada karakter Natasha Romanoff/Black Widow untuk membintangi film yang akan bercerita tentang karakter tersebut secara seutuhnya. Meskipun menjadi film pertama dalam fase keempat pengisahan Marvel Cinematic Universe, linimasa pengisahan utama Black Widow sendiri bertautan dengan sejumlah konflik yang sebelumnya digambarkan pada Captain America: Civil War (Anthony Russo, Joe Russo, 2016). Continue reading Review: Black Widow (2021)

The 92nd Annual Academy Awards Nominations List

Banyak catatan menarik dari pengumuman nominasi The 92nd Annual Academy Awards. Joker (Todd Phillips, 2019) berhasil melampaui ekspektasi banyak pihak dengan raihan sebelas nominasi termasuk di kategori Best Picture, Best Director, Best Actor in a Leading Role untuk penampilan prima Joaquin Phoenix, dan Best Adapted Screenplay untuk naskah cerita yang ditulis Phillips bersama dengan Scott Silver. Raihan sebelas nominasi tersebut juga tidak hanya menjadikan Joker sebagai film peraih nominasi terbanyak di ajang penghargaan Academy Awards kali ini namun juga menjadikannya sebagai film hasil adaptasi komik tersukses di sepanjang sejarah pelaksanaan ajang penghargaan insan film paling prestisius di Amerika Serikat (dunia?) tersebut. Kesuksesan Joker diikuti oleh 1917 (Sam Mendes, 2019), The Irishman (Martin Scorsese, 2019), dan Once Upon a Time in… Hollywood (Quentin Tarantino, 2019) yang sama-sama meraih sepuluh nominasi. Ketiga film tersebut juga akan bersaing bersama dengan Joker serta Ford v Ferrari (James Mangold, 2019), Jojo Rabbit (Taika Waititi, 2019), Little Women (Greta Gerwig, 2019), Marriage Story (Noah Baumbach, 2019), dan Parasite (Bong Joon-ho, 2019) untuk memperebutkan gelar Best Picture. Continue reading The 92nd Annual Academy Awards Nominations List

The 20 Best Movie Performances of 2019

What makes an acting performance so remarkable and/or memorable? Kemampuan seorang aktor untuk menghidupkan karakternya dan sekaligus menghantarkan sentuhan-sentuhan emosional yang dirasakan sang karakter jelas membuat sebuah penampilan akan mudah melekat di benak para penontonnya. Kadang bahkan jauh seusai penonton menyaksikan penampilan tersebut. Penampilan tersebut, tentu saja, tidak selalu membutuhkan momen-momen emosional megah nan menggugah. Bahkan, pada beberapa kesempatan, tidak membutuhkan durasi penampilan yang terlalu lama.

Berikut adalah dua puluh penampilan akting yang paling berkesan dalam sebuah film yang dirilis di sepanjang tahun 2019, termasuk sebuah penampilan yang At the Movies pilih sebagai Performance of the Year. Disusun secara alfabetis.

Continue reading The 20 Best Movie Performances of 2019

Review: Avengers: Endgame (2019)

Lima tahun setelah Thanos (Josh Brolin) menjentikkan jarinya dan menghapus separuh peradaban manusia dari atas permukaan Bumi – seperti yang dikisahkan pada Avengers: Inifinity War (Anthony Russo, Joe Russo, 2018), para anggota Avengers yang tersisa, Tony Stark/Iron Man (Robert Downey, Jr.), Steve Rogers/Captain America (Chris Evans), Bruce Banner/Hulk (Mark Ruffalo), Thor (Chris Hemsworth), Natasha Romanoff/Black Widow (Scarlett Johansson), Clint Barton/Hawkeye (Jeremy Renner), dan James Rhodes/War Machine (Don Cheadle), masih berupaya melupakan kepedihan hati mereka atas kekalahan di medan peperangan sekaligus hilangnya orang-orang yang mereka cintai. Di saat yang bersamaan, para anggota Avengers yang tersisa tersebut juga masih terus mencari cara untuk menemukan keberadaan Thanos dan membuatnya memperbaiki segala kerusakan yang telah ia sebabkan ketika menggunakan Infinity Stones. Harapan muncul ketika Scott Lang/Ant-Man (Paul Rudd) yang ternyata selamat dari tragedi yang disebabkan jentikan jari Thanos dan kemudian mendatangi markas Avengers dengan sebuah ide yang dapat menghadapkan kembali para Avengers dengan  musuh besar mereka. Continue reading Review: Avengers: Endgame (2019)

Review: Captain Marvel (2019)

Sebelas tahun semenjak perilisan Iron Man (Jon Favreau, 2008) dan sembilan belas film lain yang dirilis guna mengisi linimasa pengisahan Marvel Cinematic Universe, Marvel Studios merilis Captain Marvel yang menandai kali perdana dimana sosok pahlawan super perempuan menjadi karakter utamanya. Seperti halnya film-film pertama para pahlawan super buatan Marvel Studios sebelumnya, Captain Marvel juga merupakan sebuah origin story yang akan memperkenalkan pada penonton mengenai sosok sang pahlawan super, kekuatan yang dimilikinya, hingga berbagai masalah yang menghampirinya ketika ia berusaha untuk mengenal sekaligus mengendalikan kekuatan yang ia miliki tersebut. Sebuah plot pengisahan yang cukup mendasar bagi sebuah film yang berasal dari semesta cerita tentang kehidupan para pahlawan super. Namun, terlepas dari berbagai elemen familiar dari penceritaan tersebut, garapan duo sutradara Anna Boden dan Ryan Fleck (It’s Kind of a Funny Story, 2010) berhasil mengemas Captain Marvel tetap menjadi sajian yang terasa segar dan sangat, sangat menyenangkan untuk diikuti. Continue reading Review: Captain Marvel (2019)

Review: Avengers: Infinity War (2018)

Bayangkan beban yang harus diemban oleh Anthony Russo dan Joe Russo. Tidak hanya mereka harus menggantikan posisi Joss Whedon yang telah sukses mengarahkan The Avengers (2012) dan Avengers: Age of Ultron (2015), tugas mereka dalam menyutradarai Avengers: Infinity Warjuga akan menjadi penanda bagi sepuluh tahun perjalanan Marvel Studios semenjak memulai perjalanan Marvel Cinematic Universe ketika merilis Iron Man (Jon Favreau, 2008) sekaligus menjadi film kesembilan belas dalam semesta penceritaan film tersebut. Bukan sebuah tugas yang mudah, tentu saja, khususnya ketika mengingat The Russo Brothers juga harus bertugas untuk mengarahkan seluruh (!) karakter pahlawan super yang berada dalam Marvel Cinematic Universe dalam satu linimasa yang sama. Namun, The Russo Brothers sendiri bukanlah sosok yang baru bagi seri film ini. Dengan pengalaman mereka dalam mengarahkan Captain America: The Winter Soldier (2014), dan Captain America: Civil War (2016), keduanya telah memiliki modal yang lebih dari cukup untuk menjadikan Avengers: Infinity War menjadi sebuah presentasi kisah pahlawan super yang mampu tampil mengesankan.

Continue reading Review: Avengers: Infinity War (2018)

Review: Ghost in the Shell (2017)

Tidak dapat disangkal, The Ghost in the Shell merupakan salah satu manga ikonik sekaligus paling berpengaruh yang pernah dirilis hingga saat ini. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1989, The Ghost in the Shell kemudian diadaptasi ke berbagai media termasuk permainan video, serial televisi hingga beberapa film animasi layar lebar dengan Ghost in the Shell (Mamoru Oshii, 1995) menjadi produk adaptasi paling populernya. Jelas tidak mengherankan bila kemudian Hollywood turut serta melirik kesempatan untuk memproduksi dan merilis hasil adaptasi mereka sendiri. Dimulai pada tahun 2008, rumah produksi DreamWorks Pictures membeli hak adaptasi The Ghost in the Shell yang sekaligus mengawali proses pembuatan versi live-action Hollywood dari manga yang ditulis oleh Masamune Shirow tersebut. Setelah sempat mengalami beberapa pergantian pemeran dan kru produksi, DreamWorks Pictures kemudian mengumumkan di tahun 2014 bahwa Rupert Sanders (Snow White and the Huntsman, 2012) akan duduk di kursi sutradara serta aktris Scarlett Johansson akan menjadi pemeran utama bagi Ghost in the Shell – sebuah keputusan yang kemudian memicu kontroversi karena karakter utama dalam manga tersebut adalah sesosok wanita yang memiliki latar belakang ras Asia. Continue reading Review: Ghost in the Shell (2017)

Review: Sing (2016)

Di sepanjang karirnya sebagai seorang sutradara musik video, Garth Jennings telah menghasilkan beberapa musik video yang cukup mengesankan seperti Freedom (Robbie Williams, 1996), Right Here, Right Now (Fatboy Slim, 1999), Coffee & TV (Blur, 1999) hingga Imitation of Life (R.E.M., 2001) dan Lotus Flower (Radiohead, 2011). Kesuksesannya tersebut lantas membuat Jennings mencoba peruntungannya dalam mengarahkan film layar lebar. Film layar lebar perdana yang ia arahkan, The Hitchhiker’s Guide to the Galaxy (2005), mendapatkan sambutan yang cukup beragam, baik dari kalangan kritikus maupun para penikmat film. Film keduanya, Son of Rambow (2007), bernasib sedikit lebih baik. Meskipun gagal untuk mendapatkan jumlah penonton dalam jumlah yang lebih luas, film komedi tersebut cukup berhasil membuat banyak kritikus film memberikan pujian pada Jennings. Continue reading Review: Sing (2016)

Review: Avengers: Age of Ultron (2015)

avengers-age-of-ultron-posterSetelah kesuksesan luar biasa dari The Avengers (2012) – yang tidak hanya berhasil meraih pujian luas dari banyak kritikus film dunia namun juga mampu menarik perhatian penonton dan menjadikannya sebagai film dengan kesuksesan komersial terbesar ketiga di dunia setelah Avatar (2009) dan Titanic (1997) – kumpulan pahlawan dari Marvel Comics kembali hadir lewat Avengers: Age of Ultron. Masih disutradarai oleh Joss Whedon, Avengers: Age of Ultron memberikan sedikit perubahan radikal dalam warna penceritaannya. Berbeda dengan The Avengers yang menghadirkan banyak sentuhan komedi melalui deretan dialognya, film yang juga menjadi film kesebelas dalam rangkaian film dari Marvel Cinematic Universe ini tampil dengan deretan konflik yang lebih kompleks sekaligus kelam dari pendahulunya – atau bahkan dari seluruh film-film produksi Marvel Studios sebelumnya. Sebuah pilihan yang cukup beresiko dan, sayangnya, gagal untuk dieksekusi secara lebih dinamis oleh Whedon.

Dalam Avengers: Age of Ultron, Tony Stark (Robert Downey, Jr.) bekerjasama dengan Bruce Banner (Mark Ruffalo) untuk menghasilkan sebuah teknologi kecerdasan buatan yang awalnya ditujukan untuk membantu The Avengers dalam melaksanakan setiap tugas mereka. Sial, program yang diberi nama Ultron (James Spader) tersebut justru berbalik arah. Dengan tingkat kecerdasan tinggi yang diberikan kepadanya, Ultron justru merasa bahwa The Avengers adalah ancaman bagi kedamaian dunia dan akhirnya memilih untuk memerangi mereka. Dibantu dengan pasangan kembar Pietro (Aaron Taylor-Johnson) yang memiliki kecepatan super dan Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen) yang memiliki kemampuan untuk memanipulasi jalan pemikiran orang lain, Ultron memberikan sebuah tantangan berat yang tidak hanya mengancam keberadaan The Avengers namun juga keberadaan seluruh umat manusia yang ada di atas pemukaan Bumi.

Pilihan untuk tampil “lebih dewasa” lewat jalan penceritaan lebih kompleks dan kelam yang dituliskan oleh Joss Whedon sendiri sebenarnya bukanlah sebuah pilihan yang buruk untuk Avengers: Age of Ultron. Namun, dengan banyaknya karakter serta beberapa konflik personal lain yang masih tetap ingin diberikan ruang penceritaan khusus oleh Whedon, Avengers: Age of Ultron akhirnya justru terasa dibebani terlalu banyak permasalahan dengan ruang yang lebih sempit bagi konflik-konflik tersebut untuk berkembang dan hadir dengan porsi cerita yang memuaskan. Ketiadaan fokus yang kuat bagi setiap masalah yang dihadirkan inilah yang membuat Avengers: Age of Ultron terasa bertele-tele dalam mengisahkan penceritaannya dan akhirnya turut mempengaruhi pengembangan kisah personal beberapa karakter yang sebelumnya justru menjadi salah satu poin terbaik dari pengisahan The Avengers.

Berbicara mengenai Ultron, karakter antagonis yang satu ini harus diakui gagal tersaji secara lebih menarik jika dibandingkan dengan karakter antagonis dari seri sebelumnya, Loki. Terlepas dari kecerdasan luar biasa yang ia miliki, Ultron terasa hanyalah sebagai sebuah variasi karakter antagonis standar dalam film-film bertema sejenis yang berniat untuk memberikan ujian fisik dan mental bagi para karakter utama hingga akhirnya dapat menemukan jalan untuk mencapai tujuan hidup mereka: menjadi penguasa dunia. Vokal James Spader sendiri mampu memberikan warna karakteristik dingin yang sangat sesuai bagi Ultron namun hal tersebut tetap saja tidak mampu membuat Ultron tampil lebih menarik lagi.

Terlepas dari beberapa kelemahan tersebut, Avengers: Age of Ultron sendiri masih mampu dengan beberapa sentuhan humanis dalam penceritaannya. Beberapa plot pendukung seperti hubungan romansa yang sepertinya mulai terbangun antara karakter Bruce Banner dan Natasha Romanoff serta latar belakang keluarga yang dimiliki oleh karakter Clint Barton membuat sisi drama dari film ini tampil dengan kualitas yang cukup istimewa. Whedon, sayangnya, gagal memberikan porsi pengisahan yang sesuai untuk dua karakter baru, Pietro dan Wanda Maximoff, sehingga kehadiran keduanya seringkali terasa tidak lebih dari sekedar karakter tambahan tanpa esensi cerita yang cukup kuat untuk tampil lebih menarik.

Layaknya seri pendahulunya, Whedon masih mampu merangkai Avengers: Age of Ultron dengan kualitas departemen produksi yang sangat memikat. Jajaran pengisi departemen akting film ini juga hadir dengan penampilan akting yang semakin dinamis dengan chemistry yang semakin menguat antara satu dengan yang lain. Seandainya Whedon mau menghilangkan beberapa plot pendukung yang kurang esensial dan memilih untuk mengembangkan konflik utama film dengan lebih tajam, Avengers: Age of Ultron mungkin mampu hadir menyaingi kualitas penceritaan The Avengers – meskipun dengan nada penceritaan yang tetap hadir lebih kelam dan serius. Avengers: Age of Ultron tetap mampu memberikan beberapa momen khas film-film karya Marvel Studios yang akan dapat dinikmati penggemarnya. Namun lebih dari itu, film ini terasa dibebani terlalu banyak konflik yang akhirnya justru membuatnya gagal untuk berkembang dengan penceritaan yang lebih baik. [C]

Avengers: Age of Ultron (2015)

Directed by Joss Whedon Produced by Kevin Feige Written by Joss Whedon (screenplay), Zak Penn, Joss Whedon (story), Stan Lee, Jack Kirby (comics, The AvengersStarring Robert Downey Jr., Chris Hemsworth, Mark Ruffalo, Chris Evans, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Don Cheadle, Aaron Taylor-Johnson, Elizabeth Olsen, Paul Bettany, Cobie Smulders, Anthony Mackie, Hayley Atwell, Idris Elba, Stellan Skarsgård, James Spader, Samuel L. Jackson,  Linda Cardellini, Thomas Kretschmann, Claudia Kim, Andy Serkis, Julie Delpy, Stan Lee Music by Brian Tyler, Danny Elfman Cinematography Ben Davis Editing by Jeffrey Ford, Lisa Lassek Studio Marvel Studios Running time 141 minutes Country United States Language English

Review: Captain America: The Winter Soldier (2014)

So what went wrong with Captain America: The First Avenger (2011)? Well… terlepas dari pemilihan Chris Evans yang benar-benar memiliki penampilan, kharisma dan kemampuan yang tepat untuk memerankan sang karakter utama, Captain America: The First Avenger tidak pernah benar-benar terasa sebagai sebuah film yang diperuntukkan kepada Captain America secara keseluruhan. Dengan penggalian karakter utama yang cukup terbatas serta paruh penceritaan lanjutan yang kemudian menghadirkan beberapa karakter ciptaan Marvel Comics yang telah terlebih dahulu meraih popularitasnya, Captain America: The First Avenger lebih kental terasa sebagai media publikasi untuk mengenalkan karakter Captain America kepada penonton dalam skala luas sebelum karakter tersebut akhirnya diikutsertakan dalam The Avengers (2012) – yang sekaligus menjadikan Captain America: The First Avenger terasa seperti promosi berdurasi 125 menit bagi The Avengers. Bukan sebuah presentasi yang benar-benar buruk namun kurang mampu untuk memberikan kesan esensial sebagai pemicu hadirnya sebuah franchise superhero yang baru.

Continue reading Review: Captain America: The Winter Soldier (2014)

Review: Her (2013)

Spike Jonze, pemilik otak yang juga menghasilkan film-film brilian seperti Being John Malkovich (1999), Adaptation (2002) dan Where the Wild Things Are (2009), kembali dengan film terbarunya yang secara cerdas, kreatif, indah dan sangat menyentuh membicarakan mengenai bagaimana umat manusia yang hidup di era modern lebih tertarik untuk berkomunikasi dengan layar telepon mereka daripada dengan sesama umat manusia yang seringkali sedang berada di sebelah mereka. Jangan salah! Dibalik kerumitan atau keanehan atau keeksentrikan atau kesegaran alur cerita yang ia bawakan, Her pada dasarnya tetap adalah sebuah sajian kisah cinta. Namun adalah kejeniusan Jonze yang mampu meramu kisah cinta tersebut dengan balutan fiksi ilmiah dan satir sosial modern sehingga mampu membuatnya tampil begitu hangat sekaligus emosional dalam bercerita.

Continue reading Review: Her (2013)

Review: Don Jon (2013)

Mengikuti jejak Clint Eastwood, Mel Gibson, Ben Affleck, James Franco dan puluhan aktor yang kemudian melanjutkan karir mereka dengan menjadi seorang sutradara, Joseph Gordon-Levitt mencoba kemampuannya dalam mengarahkan sebuah film layar lebar lewat Don Jon. Don Jon sendiri bukanlah kali pertama Gordon-Levitt duduk di kursi penyutradaraan mengingat ia sebelumnya pernah mengarahkan dua film pendek, Morgan M. Morgansen’s Date with Destiny dan Morgan and Destiny’s Eleventeenth Date: The Zeppelin Zoo, yang keduanya sempat dirilis pada tahun 2010. Dengan naskah cerita yang juga ia tulis sendiri, Gordon-Levitt menghadirkan Don Jon sebagai sebuah film drama komedi ringan namun tetap sarat dengan beberapa sindiran terhadap kondisi sosial manusia di era modern. Sebuah debut pengarahan yang cukup menarik, khususnya berkat kemampuan Gordon-Levitt untuk mengarahkan para aktor yang memerankan para karakter di dalam jalan ceritanya.

Continue reading Review: Don Jon (2013)

The 17th Annual Online Film Critics Society Awards Nominations List

OFCS-2Kolaborasi ketiga antara sutradara Steve McQueen dan aktor Michael Fassbender, 12 Years a Slave, berhasil memimpin daftar perolehan nominasi di ajang The 17th Annual Online Film Critics Society Awards. 12 Years a Slave berhasil meraih delapan nominasi, termasuki nominasi Best Picture, Best Director untuk McQueen, Best Actor untuk Chiwetel Ejiofor, Best Supporting Actor untuk Fassbender serta Best Supporting Actress untuk Lupita Nyong’o. Berbeda dengan pelaksanaannya tahun lalu, terdapat sepuluh film yang dinominasikan untuk merebut gelar Best Picture. Film-film yang akan bersaing bersama 12 Years a Slave tersebut adalah American Hustle, Before Midnight, Blue is the Warmest Colour, Drug War, Gravity, Her, Inside Llewyn Davies, Short Term 12 dan The Wind Rises.

Continue reading The 17th Annual Online Film Critics Society Awards Nominations List