Tag Archives: Rangga Djoned

Review: Pizza Man (2015)

pizza-man-posterDalam Pizza Man, tiga orang gadis yang saling bersahabat baru saja melalui salah satu hari terburuk dalam kehidupan mereka: Olivia (Joanna Alexandra) dipecat dari pekerjaannya karena ia tidak mau melayani godaan pimpinan tempat ia bekerja, Nina (Karina Nadila) menerima kabar buruk bahwa kekasihnya lebih memilih untuk kembali ke istrinya daripada berusaha mempertahankan hubungan mereka sementara Merry (Yuki Kato) dijodohkan oleh ibunya dengan seorang pemuda yang sama sekali tidak ia sukai. Untuk melupakan segala permasalahan mereka, ketiganya lantas memilih untuk bersenang-senang dengan mengkonsumsi alkohol dan narkotika. Dalam keadaan setengah sadar akibat bahan makanan yang mereka konsumis, ketiga gadis tersebut kemudian menyusun rencana untuk membalaskan rasa frustasi mereka terhadap kaum pria yang sering dianggap mengecewakan mereka: mereka akan menculik seorang pria secara acak dan lantas memperkosanya. Ide brilian… hingga akhirnya mereka tersadar keesokan harinya dan menemukan sesosok pria dalam keadaan tidak bernyawa lagi di rumah yang mereka tempati.

Harus diakui, naskah cerita Pizza Man yang digarap oleh Gandhi Fernando dan R. Danny Jaka Sembada menawarkan sebuah jalinan kisah komedi yang cukup berani dan berbeda jika ingin dibandingkan dengan kebanyakan film-film komedi Indonesia lainnya. Kedua penulis naskah tersebut sepertinya mencoba untuk mengaplikasikan kegilaan plot cerita yang dahulu pernah disajikan The Hangover (Todd Phillips, 2009) dengan karakter-karakter wanita yang mampu berbuat maupun berkata-kata kotor seperti yang pernah dikreasikan Paul Feig pada karakter-karakternya dalam film Bridesmaids (2011) – dengan, tentu saja, sentuhan kearifan lokal di berbagai bagian penceritaannya. Namun, di saat yang bersamaan, naskah cerita Pizza Man garapan Gandhi Fernando dan R. Danny Jaka Sembada juga memberikan sebuah pertanyaan baru bagi banyak penontonnya: sejauh apakah sebuah guyonan masih dapat disebut sebagai guyonan maupun komedi yang layak?

Guyonan tentang perbuatan perkosaan jelas bukanlah sebuah hal yang layak untuk dipandang sebelah mata. Pernah mendengar anekdot bahwa, berbeda dengan wanita, kaum pria justru akan menikmati jika dirinya diperkosa oleh seorang wanita? Well… penulis naskah cerita Pizza Man sepertinya menggunakan anekdot tersebut dalam jalan cerita filmnya dan menganggap bahwa well… ide mengenai sebuah tindakan seksual yang dipaksakan pada seseorang adalah suatu hal yang lumrah terjadi – jika korbannya adalah seorang pria. Guess what? It’s not! Tindakan perkosaan, baik jika terjadi pada seorang wanita ataupun seorang pria, tetap adalah sebuah tindakan perkosaan. Yang lebih ironis lagi, kedua penulis naskah film ini dengan “cerdasnya” justru memberikan latar belakang pada salah satu karakter wanitanya sebagai karakter yang menderita trauma dan tekanan mental akibat pernah menjadi korban pelecehan seksual. DAN SANG WANITA TERSEBUT KEMUDIAN JUSTRU TURUT SERTA DALAM PERCOBAAN PERKOSAAN PADA SEORANG PRIA ASING YANG TIDAK DIKENALNYA. Come on! Jalan cerita sebuah film komedi (mungkin harusnya) tidak perlu dianggap serius. Namun guyonan dalam sebuah komedi jelas masih memiliki batas. Pernah mendengar guyonan tentang perkosaan dalam The Hangover atau Bridesmaids? Nope. Sekasar atau sevulgar apapun guyonan yang disajikan dalam kedua film tersebut, ataupun banyak komedi berating dewasa buatan Hollywood lainnya, perkosaan jelas adalah satu hal yang tidak akan pernah dianggap sebagai sebuah guyonan yang layak untuk disajikan.

Jika ingin melupakan kesalahan fatal tentang guyonan tidak berkelas yang tersaji dalam beberapa bagian film ini, Pizza Man sebenarnya merupakan sebuah film yang tergarap dengan cukup baik. Naskah cerita film ini memang masih memiliki kelemahan di beberapa eksekusi plot penceritaannya namun sutradara Ceppy Gober mampu mengarahkan cerita filmnya dengan ritme yang berjalan cepat – cukup sesuai dengan nada penceritaan yang dibutuhkan oleh film-film komedi sejenis. Ceppy Gober juga berhasil mengarahkan ketiga pemeran utama filmnya untuk menghasilkan chemistry yang cukup erat dan meyakinkan antara ketiga karakter yang mereka perankan. Harus diakui, pada beberapa bagian – khususnya pada pengisahan drama, ketiga pemeran utama film memang masih hadir dengan penampilan yang goyah. Namun secara keseluruhan, ketiganya mampu tampil baik dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan.

Pizza Man juga menghadirkan sederetan aktor, aktris maupun selebritis untuk tampil dalam porsi penceritaan yang terbatas dalam jalan ceritanya. Beberapa penampilan tersebut hadir dalam kesan yang cukup dipaksakan – we’re looking at you, Bran Vargas and Derby Romero – namun kebanyakan diantaranya justru mampu tampil mencuri perhatian dan menjadi bagian yang cukup menghibur dari film ini. Lihat saja penampilan Babe Cabiita atau duo Chika Waode dan Kemal Palevi yang sangat prima dan bahkan layak untuk diberikan porsi penceritaan yang seharusnya lebih besar lagi. Tidak ada permasalahan yang cukup berarti dalam sisi teknikal film ini – seluruhnya mampu dieksekusi dengan cukup baik. Seandainya Pizza Man dapat dihadirkan dengan naskah cerita yang lebih cerdas lagi dalam mengolah guyonannya mungkin film ini akan mampu tampil sebagai sebuah film komedi yang istimewa. [C-]

Pizza Man (2015)

Directed by Ceppy Gober Produced by Laura Karina, Gandhi Fernando Written by Gandhi Fernando, R. Danny Jaka Sembada Starring Joanna Alexandra, Yuki Kato, Karina Nadila, Gandhi Fernando, Chika Waode, Kemal Palevi, Babe Cabiita, Dhea Ananda, Rangga Djoned, Bran Vargas, Hengky Solaiman, Zerny Rusmalia, Dennis Adhiswara, Meisya Siregar, Novita Angie, Dicky Adam, Reza Headline, Wandahara, Fitri Ayu Maresa, Bubah Alfian, Allan Wangsa, Johan Morgan Purba, Mike Ethan, Erick Estrada, Derby Romero Music by Andhika Triyadi Cinematography Laura Karina Editing by Heytuta Masjhur Studio Renee Pictures/Flicker Production Running time 83 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013)

It’s a classic love story. Berlatar belakang kisah di tahun 1930an, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dimulai dengan kedatangan seorang pemuda keturunan Minang asal Makassar, Zainuddin (Herjunot Ali), ke Batipuh, Tanah Datar, Sumatera Barat, dengan tujuan untuk mengenal tanah kelahiran ayahnya sekaligus memperdalam pengetahuan agamanya disana. Kedatangan Zainuddin sendiri tidaklah mendapat sambutan baik dari masyarakat desa tersebut karena sejarah keturunan Zainuddin – yang berasal dari ayah yang berdarah Minang namun seorang ibu yang berdarah Bugis sementara struktur masyarakat Minang mengatur alur keturunan dari pihak ibu – tidak lagi dianggap memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarganya di Minangkabau. Meskipun begitu, Zainuddin meneguhkan hatinya untuk tetap tinggal di Batipuh, khususnya ketika ia telah mengenal seorang gadis cantik bernama Hayati (Pevita Pearce). Dengan segera, keduanya lantas saling jatuh cinta. Sayang, masalah asal-usul keturunan Zainuddin lagi-lagi menjadi penghalang kisah asmara mereka. Zainuddin bahkan terpaksa harus meninggalkan Batipuh karena hubungan tersebut dianggap tidak layak keberadaannya. Meskipun begitu, Zainuddin dan Hayati saling berjanji untuk tetap setia dan mencintai satu sama lain.

Continue reading Review: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013)

Review: Kisah 3 Titik (2013)

kisah-3-titik-header

Lola Amaria sepertinya memiliki rasa ketertarikan yang sangat mendalam untuk mengangkat karakter-karakter yang seringkali terasa terpinggirkan dalam kehidupan keseharian masyarakat. Setelah sebelumnya mengangkat seluk-beluk kehidupan para buruh migran Indonesia di Hong Kong lewat Minggu Pagi di Victoria Park (2010) dan berbagai sisi penceritaan kaum homoseksual lewat omnibus Sanubari Jakarta (2012), film terbaru yang ia produseri, Kisah 3 Titik, berusaha untuk memberikan gambaran mengenai kehidupan para kaum pekerja dan buruh di Indonesia. Sebuah tema penceritaan yang jelas cukup rumit sekaligus sulit untuk dijabarkan secara menyeluruh hanya dalam 104 menit durasi penceritaan, namun Kisah 3 Titik setidaknya mampu menghadirkan sisi nyata kehidupan para buruh yang tidak dapat dipungkiri akan memberikan rasa miris di hati banyak penontonnya.

Continue reading Review: Kisah 3 Titik (2013)

Review: Rectoverso (2013)

rectoverso-header

Disajikan dengan gaya interwoven, dimana setiap cerita dihadirkan dalam satu lini masa yang sama walaupun tidak pernah benar-benar saling bersinggungan antara satu dengan yang lain, Rectoverso mencoba untuk menghadirkan lima buah cerita berbeda dengan satu tema cerita yang sama: cinta yang tak terucap, yang kisahnya diangkat dari novel berjudul sama karya Dewi Lestari (Perahu Kertas, 2012). Rectoverso sendiri digarap oleh lima nama sutradara wanita pemula namun merupakan nama-nama yang cukup popular di kalangan dunia seni peran Indonesia: Olga Lydia, Rachel Maryam, Cathy Sharon, Happy Salma dan Marcella Zalianty.

Continue reading Review: Rectoverso (2013)

Review: Sanubari Jakarta (2012)

Berapa banyak cerita yang dapat Anda cerna dalam durasi 106 menit? Berbeda dari kebanyakan omnibus yang saat ini sedang menjamur di layar bioskop Indonesia, Sanubari Jakarta menghadirkan sepuluh cerita sekaligus kepada penontonnya dalam benang merah tema cerita yang berkisah mengenai persoalan yang dihadapi oleh kaum Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender di kota Jakarta, Indonesia. Kehadiran sepuluh cerita dalam durasi 106 menit jelas saja tidak akan memberikan ruang yang cukup bagi setiap cerita untuk bergerak bebas dalam mengembangkan dirinya. Ditambah dengan fakta bahwa tidak seluruh cerita yang hadir mampu memberikan kesan yang kuat dan cenderung datar pada kebanyakan bagian ceritanya, mengakibatkan Sanubari Jakarta justru terkesan bertele-tele dalam penyampaiannya.

Continue reading Review: Sanubari Jakarta (2012)

Review: Negeri 5 Menara (2012)

Tidak salah jika Negeri 5 Menara kemudian mendapatkan perbandingan dalam skala berat terhadap film Laskar Pelangi (2008) yang legendaris itu. Sama-sama merupakan film dengan naskah cerita yang mengadaptasi sebuah novel popular, sama-sama mengisahkan mengenai perjuangan beberapa anak dari keluarga dari strata sosial menengah ke bawah yang mencoba untuk mencapai mimpi besar mereka serta, tentunya, sama-sama mengisahkan mengenai persahabatan erat yang kemudian terjalin antara mereka terlepas dari berbagai perbedaan yang terdapat dalam diri masing-masing, Negeri 5 Menara, sayangnya tidak memiliki kedalaman cerita seperti yang dimiliki Laskar Pelangi. Affandi Abdul Rachman (The Perfect House, 2011) kembali membuktikan kehandalannya dalam mengarahkan cerita dan para pengisi departemen akting filmnya. Namun jalan cerita yang minim konflik yang berarti membuat Negeri 5 Menara terasa tidak memiliki esensi cerita yang kuat untuk disampaikan.

Continue reading Review: Negeri 5 Menara (2012)

Review: Dilema (2012)

Empat orang sutradara muda film Indonesia menulis dan menyutradarai lima film pendek yang mencoba untuk menggambarkan kelamnya sisi-sisi kehidupan di kota Jakarta. Tidak seperti kebanyakan film-film omnibus lain yang akhir-akhir ini banyak diproduksi di Indonesia – yang semoga hanya merupakan menjadi sebuah alternatif bentuk kreativitas lain dari para insan film Indonesia dan bukan karena terlalu malas atau ketidakmampuan untuk memproduksi sebuah film panjang – lima kisah pendek yang dihantarkan dalam Dilema tidak diceritakan secara bergantian. Kelima kisah pendek tersebut berjalan beriringan satu sama lain hingga membentuk satu benang merah yang akhirnya mampu menghubungkan kelima cerita tersebut.

Continue reading Review: Dilema (2012)