Tag Archives: Pieter Gultom

Review: Hijab (2015)

hijab-posterKemampuan untuk mengemas kritik maupun sindiran sosial dengan bahasa penyampaian yang renyah jelas adalah salah satu hal yang menjadi kelebihan tersendiri bagi setiap film yang diarahkan oleh Hanung Bramantyo. Lihat saja bagaimana Doa Yang Mengancam (2008) yang menyajikan sebuah satir tentang hubungan seorang umat manusia dengan Tuhan-nya atau Perempuan Berkalung Sorban (2009) yang memberikan sudut pandang lain tentang kehidupan di dalam sebuah pesantren atau Tanda Tanya (2011) yang mengangkat isu toleransi antar umat beragama yang memang sedang menghangat dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Dengan tutur bahasa yang lembut dan bersahaja, film-film Hanung seringkali mampu menyelam lebih dalam pada setiap isu sosial yang mungkin jarang berani diangkat oleh para pembuat film Indonesia lainnya.

Film terbaru arahan Hanung Bramantyo, Hijab, juga memberikan sebuah satir mengenai bagaimana hijab yang sejatinya merupakan sebuah identitas keteguhan hati kaum wanita Muslim dalam menganut kepercayaannya kini (seringkali) telah beranjak hanya menjadi (sekedar) fashion statement dalam keseharian banyak wanita Muslim di Indonesia. Terdengar sebagai sebuah isu yang berat dan serius? Jangan khawatir. Hanung tidak mengemas Hijab dengan nada penceritaan yang terlalu serius a la ketiga film arahannya yang telah disebutkan sebelumnya. Hanung justru mengemas Hijab dalam jalinan kisah persahabatan yang hangat seperti Catatan Akhir Sekolah (2004) dan Jomblo (2006) namun, tentu saja, tetap berisi deretan dialog dan plot penceritaan yang cukup tajam dalam mengupas tema cerita yang dibawakannya.

Dengan naskah cerita yang ditulis Hanung Bramantyo bersama dengan Rahabi Mandra (Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar, 2014), Hijab secara lantang mampu berbicara mengenai posisi hijab yang kini tidak lagi menjadi komoditas monopoli umat muslimah taat beragama di Indonesia serta beberapa isu sosial lain mulai dari dilema pernikahan, posisi wanita bekerja dalam sebuah rumah tangga atau tentang para “suami Arab” yang menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka hingga sentilan-sentilan kecil mengenai beberapa kelompok yang begitu mudahnya untuk melakukan demonstrasi terhadap beberapa hal yang tidak sesuai dengan kepercayaan mereka hingga kehidupan dunia selebritas di industri hiburan Indonesia. Disajikan dalam kumpulan dialog dan plot penceritaan yang cukup tajam namun mampu tampil manis dengan balutan komedi (yang benar-benar) segar dalam kisah persahabatan dan kehidupan keseharian karakter-karakternya. Cerdas!

Namun, Hijab tidak selalu berjalan mulus. Untuk kelantangan dalam mengupas berbagai isu sosial yang dihadirkan Hanung Bramantyo dan Rahabi Mandra pada dua bagian awal cerita film, Hijab kemudian terasa begitu mudahnya berkompromi untuk menemukan penyelesaian masalah di paruh akhir penceritaan. Kedua penulis naskah terasa kebingungan untuk memberikan solusi masalah yang tepat bagi masing-masing karakter dan akhirnya justru melawan kembali berbagai satir yang sejak awal mereka sajikan dengan memilih akhir cerita yang tergolong aman melalui sebuah senjata pamungkas: dialog khotbah yang secara otomatis kemudian membawa kembali karakter-karakter dalam cerita film ini ke jalan kehidupan yang benar. Tidak benar-benar buruk namun berbanding begitu jauh dengan apa yang sedari awal telah ditanamkan oleh Hijab kepada para penontonnya.

Layaknya sebuah kisah persahabatan yang mampu tampil hangat dan meresap kepada setiap penonton film, Hanung Bramantyo sukses mengumpulkan deretan pengisi departemen akting yang berhasil menghadirkan penampilan akting dan chemistry satu sama lain yang benar-benar meyakinkan. Carissa Puteri, Zaskia Adya Mecca, Tika Bravani, Natasha Rizky, Nino Fernandez, Mike Lucock, Ananda Omesh dan Dion Wiyoko hadir dengan penampilan akting yang benar-benar santai – sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan setiap karakter yang mereka perankan – dan saling melengkapi satu sama lain. Kehangatan hubungan antara setiap karakter dalam Hijab akan memberikan kesan yang lebih mendalam jauh setelah penonton selesai menyaksikan film ini. Kehadiran banyak wajah-wajah familiar yang tampil sebagai “bintang tamu” dalam jalan penceritaan Hijab juga mampu memberikan tambahan hiburan tersendiri – dan dimanfaatkan dengan efektif oleh Hanung Bramantyo dengan tanpa mencuri perhatian dari para bintang utama film.

Meskipun tidak sempurna, Hijab kembali membuktikan posisi Hanung Bramantyo sebagai salah satu dari sedikit sutradara film Indonesia yang begitu lihai dalam mengemas cerita yang ingin ia sampaikan. Hijab adalah sebuah drama komedi persahabatan yang segar dan mampu bekerja dengan baik untuk menghibur maupun menampar jalan pemikiran para penontonnya. [B-]

Hijab (2015)

Directed by Hanung Bramantyo Produced by Hanung Bramantyo, Zaskia Adya Mecca, Haykal Kamil Written by Hanung Bramantyo, Rahabi Mandra Starring Carissa Puteri, Zaskia Adya Mecca, Tika Bravani, Natasha Rizky, Nino Fernandez, Mike Lucock, Ananda Omesh, Dion Wiyoko, Marini Soerjosoemarno, Jajang C Noer, Rina Hassim, Meriam Bellina, Mathias Muchus, Sophia Latjuba, Slamet Rahardjo Djarot, Bobby Tince, Mayang Faluthamia, Sogi Indra Dhuaja, Delano Daniel, Rifqa Amalsyita, Andi Keefe Bazli Ardiansyah, Kana Sybilla Bramantyo, Kala Madali Bramantyo, Ingrid Widjanarko, Epy Kusnandar, Lily SP, Pieter Gultom, Ida Zein, Steven Sakari, Sri Hartini, Otiq Pakis, Rofida, Adi Bambang Irawan, Barmastya Bhumi Brawijaya, Mpok Atiek, Cici Tegal, Vito Januarto, Marsha Natika, Tasya Nur Medina, Thalita Vitrianne, Azizah Mouri, Deby Kusuma Arum, Jelita Ramlan, Anggia Jelita, Senandung Nacita, Urip Arphan, Muhammad Assad, Hany Sabrina, Elly Sugigi, Nurul Jamilah, Luddy S, Andi Bersama, Lulung Mumtaza, Alhabsyi, Sita Nursanti, Joseph Ginting, Boy Idrus, Lasuardi Sudirman, Alfie Alfandy, Fauzan Smith, Fitri Arifin, Haykal Kamil, Rizky Harisnanda, Randy Tanaya, Martua H Aritonang, Elkie Kwee, Marcella Zalianty, Indra Bekti Music by Hariopati Rinanto Cinematography Faozan Rizal Edited by Wawan I. Wibowo Production company Dapur Film/Ampuh Entertainment/MVP Pictures Running time 102 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Garuda: The New Indonesian Superhero (2015)

Garuda-Superhero-posterDalam industri yang dipenuhi dengan adaptasi novel, biopik tokoh-tokoh yang (dianggap mampu) menginspirasi, deretan drama romansa hingga komedi (yang seringkali dijual dengan menambahkan bumbu-bumbu adegan panas), pilihan untuk membuat dan merilis sebuah film Indonesia yang bertemakan superhero jelas adalah sebuah pilihan usaha yang (teramat) berani. Tidak hanya harus berhadapan dengan pertanyaan apakah film tersebut memiliki pangsa pasar yang mencukupi di kalangan penonton film Indonesia namun juga harus berhadapan langsung dengan ekspektasi bahwa film-film pahlawan super haruslah mampu setara (atau mendekati) kualitas film-film pahlawan super yang diadaptasi dari seri komik rilisan Marvel maupun DC. Singkatnya, membuat sebuah film Indonesia bertemakan pahlawan super adalah sebuah tantangan sangat besar yang sepertinya akan sulit (tidak mungkin?) ditaklukkan dalam industri film yang harus diakui kini dalam kondisi yang begitu lemah.

Terlepas dari berbagai tantangan tersebut, beberapa sineas Indonesia telah mendeklarasikan bahwa mereka sedang menggarap film-film bertemakan pahlawan super modern Indonesia dan siap untuk merilisnya tahun ini. Film bertemakan superhero pertama yang dirilis tahun ini adalah Garuda: The New Indonesian Superhero. Film karya sutradara debutan yang menyebut namanya x.Jo ini sebenarnya telah direncanakan rilis pada akhir tahun 2014 lalu. Namun, entah dengan alasan apa, perilisan film ini kemudian diundur menjadi awal tahun 2015. Berkaca dari apa yang dihasilkannya untuk Garuda: The New Indonesian Superhero, x.Jo sebenarnya telah memiliki visi dan usaha yang kuat untuk dapat membentuk sebuah film yang bertemakan pahlawan super yang layak diharapkan kehadirannya oleh para penonton film Indonesia. Sayangnya, visi dan usaha yang kuat tidak lantas menjadikan sebuah film memiliki kualitas unggul. Sebuah film yang layak tonton harusnya mampu digarap dengan kemampuan yang layak juga. Disinilah letak kelemahan terbesar dari Garuda: The New Indonesian Superhero.

Sejujurnya, film-film bertemakan pahlawan super bukanlah sebuah film yang menuntut adanya naskah cerita yang benar-benar cerdas maupun kompleks – meskipun dua film superhero teranyar karya Marvel Studio, The Avengers (2011) dan Guardians of the Galaxy (2014), mampu membuktikan hal yang sebaliknya. Tetap saja, naskah cerita, merupakan tulang punggung paling esensial dalam sebuah film. Anda dapat melupakan fakta bahwa Indonesia masih memiliki sumber daya manusia dan teknologi animasi yang lemah dengan mudah untuk dapat memaafkan bahwa Garuda: The New Indonesian Superhero hadir dengan tampilan visual yang seringkali tampil… well… buruk. Namun ketika naskah cerita juga dihadirkan sama buruknya, berbagai kelemahan yang terdapat dalam Garuda: The New Indonesian Superhero benar-benar tidak dapat lagi diindahkan begitu saja. Naskah Garuda: The New Indonesian Superhero, yang juga ditulis oleh x.Jo hadir dengan tatanan cerita dan plot yang benar-benar kacau. Karakter-karakter dalam film ini seringkali muncul dan hilang begitu saja. Begitu pula dengan plot penceritaannya yang sama menyedihkan kondisinya.

Arahan x.Jo juga harus diakui terasa lemah dalam penceritaan film ini. Penonton, yang mungkin telah sering menyaksikan film-film superhero sejenis, dapat dengan mudah menangkap apa yang sebenarnya ingin disampaikan film ini. Sayangnya, kombinasi antara tata produksi, naskah cerita dan pengarahan x.Jo yang lemah membuat Garuda: The New Indonesian Superhero tampil begitu menyiksa untuk diikuti. Hal ini masih ditambah dengan penampilan aktor utama Rizal Al-Idrus yang berperan sebagai sang pahlawan yang tampil dengan kemampuan akting berkapasitas nol. Terlihat kaku dan awkward di banyak adegan plus daya tarik yang sama sekali tidak dapat diandalkan. Nama-nama besar seperti Agus Kuncoro, Slamet Rahardjo, Robby Sugara dan Rudy Salam yang melengkapi departemen akting film ini juga tersia-siakan kehadirannya.

Menyaksikan film ini secara keseluruhan adalah seperti melihat pemandangan seseorang yang begitu bertekad untuk maju ke medan perang dengan semangat menggebu-gebu namun dengan keahlian dan perlengkapan yang benar-benar minim. Sebuah usaha yang patut dihargai? Tentu saja. Namun tetap tidak akan mengubah fakta bahwa orang tersebut akan mati dengan sia-sia di medan perang dalam waktu yang tidak begitu lama. Itulah, sayangnya, yang terjadi pada Garuda: The New Indonesian Superhero. [D-]

Garuda: The New Indonesian Superhero (2015)

Directed by x.Jo Produced by H.R. Dhoni Al-Maliki Ramadhan Written by x.Jo Starring Rizal Al-Idrus, Slamet Rahardjo, Agus Kuncoro, Robby Sugara, Rudy Salam, Alexa Key, Kia Poetri, Inzalna Balqis, Jacob Maugeri, Roy Chunonk, Tya Arifin, Diaz Ardiawan, Panca Prakoso, Wiwing Dirgantara, Elkie Kwie, Pieter Gultom, Ivanka Suwandi, Linda Nirmala, Jefan Nathanio, Denny Baskar, Yusuf Mansur Music by Aghi Narottama Cinematography Yoyok Budi Santoso Edited by x.Jo, Aristo Pontoh, Yoga Krispratama Studio Putaar Films, Sultan Sinergi Indonesia, Garuda Sinergi Putaar Sinema Running time 85 minutes Country Indonesia Language Indonesian, English