Di tahun 2016, sutradara Paul Feig (Last Christmas, 2019) memiliki keberanian untuk membuat ulang Ghostbusters (Ivan Reitman, 1984) – film komedi yang kesuksesan besar saat masa rilisnya berkembang menjadi waralaba media seperti seri film dan televisi, buku komik, permainan video, hingga taman hiburan yang mampu memikat banyak penggemar setia dan menjadi sebuah fenomena kultur populer. Daripada menghadirkan presentasi yang menuturkan ulang pengisahan film pendahulunya secara utuh, Ghostbusters (2016) garapan Feig memberikan sejumlah perubahan krusial, seperti memilih barisan aktor perempuan untuk memerankan barisan karakter utamanya. Continue reading Review: Ghostbusters: Afterlife (2021)
Tag Archives: Olivia Wilde
Review: The Lazarus Effect (2015)
The Lazarus Effect adalah sejenis film yang mungkin tidak pernah dibayangkan seorangpun datang dari orang-orang yang akhirnya bekerjasama untuk memproduksi film ini. Tentu, film horor ini diproduksi oleh Blumhouse Production yang menghasilkan film-film semacam Paranormal Activity (2009), Insidious (2011), Sinister (2012) hingga Jessabelle (2014) dan The Boy Next Door (2015). Dengan kata lain adalah mudah untuk memprediksi bahwa naskah cerita The Lazarus Effect hanya akan menawarkan sebuah sentuhan (yang tidak terlalu) baru bagi premis cerita yang telah terdengar usang. Namun, di sisi lain, film ini didukung oleh deretan talenta dengan kualitas yang begitu berkelas, mulai dari pemerannya yang diisi nama-nama seperti Mark Duplass, Olivia Wilde dan Donald Glover yang biasanya membintangi film-film berbujet kecil namun selalu menjadi perhatian banyak festival film hingga sutradara David Gelb yang sebelumnya mengarahkan film dokumenter Jiro Dreams of Sushi (2011) yang banyak mendapatkan pujian luas dari kritikus film dunia. Mungkin The Lazarus Effect menyimpan beberapa kejutan yang mampu menarik perhatian nama-nama tersebut untuk akhirnya terlibat dalam film ini?
Sayangnya tidak. Film yang naskah ceritanya digarap oleh Luke Dawson dan Jeremy Slater ini sekali lagi hanya merangkum berbagai formula horor yang telah diproduksi oleh Hollywood berulang kali – mulai dari atmosfer kelam yang diciptakan oleh minimalisnya kehadiran cahaya di sepanjang presentasi film ini, kehadiran sosok anak misterius yang cukup menakutkan hingga momen-momen kejutan lengkap dengan tata suara yang menggelegar. Tahapan perjalanan sebuah film horor yang bahkan akan cukup mudah dikenali oleh mereka yang bukan penggemar film-film sejenis The Lazarus Effect. Untungnya segala hal-hal standar film horor yang disajikan dalam film ini cukup mampu dikemas dan dieksekusi dengan baik. Bukan sebuah karya yang istimewa atau bahkan akan diingat banyak penontonnya lama seusai menyaksikannya namun The Lazarus Effect tetap mampu memberikan beberapa momen horor solid yang cukup menyenangkan untuk disimak.
Perjalanan cerita The Lazarus Effect sendiri berfokus pada empat peneliti medis, Frank Walton (Duplass) dan tunangannya, Zoe McConnell (Wilde), serta dua orang temannya, Niko (Glover) dan Clay (Evan Peters), yang sedang melakukan eksperimen guna menghasilkan serum yang diniatkan untuk menjaga stabilitas jiwa para pasien yang sedang menghadapi koma namun kemudian berkembang menjadi sebuah formula yang dapat membangkitkan sesuatu maupun seseorang dari kematian. Ketika sebuah kecelakaan terjadi di laboratorium tempat mereka melakukan penelitian dan merenggut nyawa Zoe, Frank lantas nekat menyuntikkan serum tersebut ke tubuh Zoe. Berhasil! Zoe berhasil dibawa kembali dari kematiannya. Namun, secara perlahan, berbagai hal aneh mulai dialami Zoe dan rekan-rekannya. Berbagai hal aneh yang dapat saja mengambil nyawa siapa saja yang sedang menghadapinya.
Terdengar sederhana – dan jelas telah berulangkali disajikan Hollywood dalam berbagai versi penceritaan, namun premis mengenai berbagai hal buruk yang dapat terjadi ketika Anda mencoba menjadi Tuhan yang dibawakan oleh The Lazarus Effect baru dapat terasa benar-benar bekerja dengan baik pada paruh kedua penceritaannya. David Gelb mampu menyajikan film ini dengan ritme penceritaan yang cukup tepat, mengalir pelan dalam menghantarkan setiap perkenalan konflik lalu mengisinya dengan eksekusi horor yang cukup efektif meskipun akhirnya terjebak dalam pilihan akhir cerita yang terasa cukup klise dan jauh dari kesan memuaskan. Naskah cerita garapan Luke Dawson dan Jeremy Slater sendiri mencoba membawakan tema-tema agama, moral serta etika dunia medis dalam pengisahan film ini namun tidak pernah mampu menyajikannya secara lebih mendalam.
Satu masalah dalam naskah penceritaan The Lazarus Effect yang membuatnya kehilangan kesempatan untuk tampil lebih mengesankan adalah tidak adanya kejelasan karakter protagonis maupun antagonis dalam film ini. Awalnya, The Lazarus Effect memberikan perhatian penuh pada karakter Zoe. Namun, seusai karakternya dikisahkan dihidupkan kembali dan mengalami beberapa perubahan sikap, fokus kemudian beralih pada karakter Frank – dalam waktu yang cukup singkat – sebelum akhirnya berpindah ke karakter Eva (Sarah Bolger). Ketiadaan fokus ini membuat perhatian penonton pada setiap karakter tidak pernah benar-benar tertanam dengan kuat maupun penuh.
Selain berhasil disajikan dengan tata teknis yang cukup mengesankan untuk sebuah film horor dengan naskah cerita yang generik, bagian terbaik dari film ini adalah penampilan serta chemistry yang diciptakan oleh para pengisi departemen akting film ini. Duplass, Wilde, Glover maupun Peters mungkin tidak terlalu meyakinkan sebagai sosok peneliti medis yang bekerja di sebuah laboratorium. Sama halnya dengan Bolger yang sosoknya masih terlihat meragukan untuk dapat ditempatkan sebagai pemeran pembuat sebuah film dokumenter. Meskipun begitu, kelimanya hadir dengan penampilan yang begitu mengikat sehingga penonton akan dapat dengan mudah menyukai karakter-karakter yang mereka perankan sekaligus turut merasakan berbagai konflik yang sedang mereka hadapi. Sebuah pencapaian prima yang jelas cukup sukar didapatkan dari film-film sejenis saat ini. Secara keseluruhan, The Lazarus Effect bukanlah sebuah film horor yang benar-benar buruk. Namun melihat berbagai potensi dari talenta yang dilibatkan dari film ini jelas terasa cukup mengecewakan untuk merasakan hasil akhir film yang hanya mampu tampil sebagai sebuah karya yang medioker. [C]
The Lazarus Effect (2015)
Directed by David Gelb Produced by Jason Blum, Luke Dawson, Matt Kaplan, Jimmy Miller, Cody Zwieg Written by Luke Dawson, Jeremy Slater Starring Mark Duplass, Olivia Wilde, Sarah Bolger, Evan Peters, Donald Glover, Ray Wise, Amy Aquino Music by Sarah Schachner Cinematography Michael Fimognari Editing by Michael N. Knue Studio Belumhouse Productions Running time 83 minutes Country United States Language English
Review: Her (2013)
Spike Jonze, pemilik otak yang juga menghasilkan film-film brilian seperti Being John Malkovich (1999), Adaptation (2002) dan Where the Wild Things Are (2009), kembali dengan film terbarunya yang secara cerdas, kreatif, indah dan sangat menyentuh membicarakan mengenai bagaimana umat manusia yang hidup di era modern lebih tertarik untuk berkomunikasi dengan layar telepon mereka daripada dengan sesama umat manusia yang seringkali sedang berada di sebelah mereka. Jangan salah! Dibalik kerumitan atau keanehan atau keeksentrikan atau kesegaran alur cerita yang ia bawakan, Her pada dasarnya tetap adalah sebuah sajian kisah cinta. Namun adalah kejeniusan Jonze yang mampu meramu kisah cinta tersebut dengan balutan fiksi ilmiah dan satir sosial modern sehingga mampu membuatnya tampil begitu hangat sekaligus emosional dalam bercerita.
Review: Rush (2013)
James Hunt and Niki Lauda could not be more different to each other. James Hunt (Chris Hemsworth) adalah seorang pria tampan asal Inggris dengan daya tarik yang begitu luar biasa – khususnya bagi wanita – dan sikap yang selalu mampu untuk menikmati setiap momen yang berlangsung dalam perjalanan hidupnya. Sementara itu, meskipun tampan bukan akan menjadi kata pertama yang akan digunakan banyak orang ketika mendeskripsikan Niki Lauda (Daniel Brühl), namun pemuda asal Austria tersebut adalah sosok yang begitu serius dalam mencapai setiap obsesinya dan penuh perhitungan dalam setiap tindakan yang diambilnya. Satu-satunya persamaan antara Hunt dan Lauda adalah kecintaan mereka terhadap dunia balap mobil – sesuatu yang membuat mereka rela untuk mempertaruhkan nyawa dan kehidupan dalam setiap arena balap mobil yang mereka ikuti.
Review: In Time (2011)
Setelah kesuksesannya dalam memerankan karakter Sean Parker dalam The Social Network (2010), Justin Timberlake muncul sebagai salah satu aktor yang paling banyak dibicarakan di Hollywood. The Social Network memang bukanlah film pertama dari aktor yang juga seorang penyanyi ini. Namun, baru lewat The Social Network kemampuan akting Timberlake mampu dilirik dan dianggap serius oleh banyak kritikus film dunia. Pertanyaan berikutnya jelas, apakah kemampuan akting Timberlake dalam The Social Network adalah murni merupakan bakat akting Timberlake yang semakin terasah atau hanya karena Timberlake sedang beruntung berada di bawah arahan seorang sutradara bertangan dingin seperti David Fincher. Dua film komedi, Bad Teacher dan Friends with Benefits, yang dirilis lebih awal jelas tidak akan mampu dijadikan tolak ukur mendalam dari kemampuan akting Timberlake. Pembuktian tersebut datang dari In Time, film science fiction yang dibintangi Timberlake bersama Amanda Seyfried dengan arahan sutradara Andrew Niccol (Lord of War, 2005).
Review: Tron: Legacy (2010)
Ketika Walt Disney merilis Tron untuk pertama kalinya pada tahun 1982, film tersebut mendapatkan sambutan yang luar biasa dari para kritikus film dunia. Walau kebanyakan pendapat yang muncul turut menggarisbawahi kekurangan Tron dalam memberikan jalan cerita yang kuat, namun penggunaan teknologi yang jauh lebih maju dari masanya di dalam jalan cerita Tron mampu menjadikan film ini meraih banyak penggemar yang terus memujanya hingga saat ini. Wajar jika hampir 30 tahun kemudian, Walt Disney memutuskan untuk membangkitkan kembali memori banyak penggemar film dunia akan Tron dengan membuatkan film tersebut sebuah sekuel, Tron: Legacy, dengan tentu saja menggunakan teknologi perfilman yang telah amat jauh berkembang (baca: eksploitasi teknologi 3D).
Review: The Next Three Days (2010)
Setelah In the Valley of Elah (2007) yang sangat menyentuh namun sepertinya kurang berhasil mendapatkan perhatian yang lebih besar, pemenang dua Academy Awards, Paul Haggis, kini kembali ke kursi sutradara untuk mengarahkan Russell Crowe dan Elizabeth Banks dalam The Next Three Days. Film ini sendiri merupakan remake dari film Perancis yang menjadi debut penyutradaraan bagi sutradara Fred Cavayé, Pour Elle, yang sempat meraih kesuksesan besar ketika dirilis pada tahun 2008 silam.