Tag Archives: Mark Strong

Review: Cruella (2021)

Masih ingat dengan karakter perancang busana bernama Cruella de Vil yang begitu terobsesi untuk membuat berbagai jenis pakaian dengan menggunakan corak yang terdapat pada kulit hewan dalam 101 Dalmatians (Stephen Herek, 1996)? Seperti halnya karakter Maleficent dari film Sleeping Beauty (Clyde Geronimi, Eric Larson, Wolfgang Reitherman, Les Clark, 1959), Walt Disney Pictures kini menghadirkan Cruella yang tidak hanya akan memberikan fokus utama pengisahan pada karakter antagonis tersebut namun juga galian lebih mendalam terhadap asal-usul hingga berbagai konflik di masa lalu sang karakter yang kemudian membentuknya menjadi sosok karakter yang banyak dikenal oleh para penikmat film hingga saat ini. Diarahkan oleh Craig Gillespie (I, Tonya, 2017) yang menempatkan Emma Stone untuk memerankan karakter yang dahulu diperankan secara ikonik oleh Glenn Close, Cruella mampu dihadirkan sebagai sajian drama komedi dengan berbagai warna intrik dari glamornya dunia mode yang menghibur. Continue reading Review: Cruella (2021)

Review: 1917 (2019)

Selepas mengarahkan Skyfall (2012) dan Spectre (2015) – yang menjadi dua film dari seri James Bond dengan raihan kesuksesan komersial terbesar sepanjang masa – Sam Mendes kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk 1917. Dengan naskah cerita yang digarap oleh Mendes bersama dengan Krysty Wilson-Cairns berdasarkan penuturan sang kakek, Alfred Mendes, yang merupakan seorang novelis sekaligus veteran perang, 1917 digarap Mendes sebagai sebuah pengalaman sinematis dimana para penontonnya akan menyaksikan perjalanan sang karakter utama dalam sebuah kesatuan linimasa cerita yang utuh – tanpa adanya interupsi dari konflik maupun karakter pendukung lain. Premis kisahnya sendiri terdengar sederhana: Berlatarbelakang masa Perang Dunia I di April 1917, dua orang prajurit Inggris, Lance Corporal Tom Blake (Dean-Charles Chapman) dan Lance Corporal William Schofield (George MacKay), ditugaskan oleh pimpinan mereka, General Erinmore (Colin Firth), untuk menyampaikan pesan ke sebuah batalyon di Resimen Devonshire bahwa pasukan Jerman telah menyiapkan sebuah serangan jebakan yang dapat membunuh seisi batalyon tersebut. Mendes, hebatnya, memberikan garapan yang berhasil membuat setiap menit perjalanan cerita film ini tampil begitu memukau. Continue reading Review: 1917 (2019)

Review: Shazam! (2019)

Setelah Man of Steel (2013), Batman v Superman: Dawn of Justice (2016), dan Justice League (2017) garapan Zack Snyder yang tampil dengan nada pengisahan yang cenderung kelam, DC Films sepertinya berusaha untuk tampil dengan atmosfer cerita tentang pahlawan super yang lebih ringan dan menghibur pada film-film garapan mereka lainnya seperti Suicide Squad (David Ayer, 2016), Wonder Woman (Patty Jenkins, 2017), dan Aquaman (James Wan, 2018). Sebuah keputusan cerdas yang ternyata mendapatkan reaksi positif – baik dari para kritikus film maupun para penikmat film. Kesuksesan “arah baru” penceritaan DC Films yang lebih berwarna tersebut kini diteruskan melalui Shazam! yang di banyak bagian linimasa pengisahannya bahkan layak disebut sebagai komedi. Merupakan kali kedua karakter yang bernama asli Captain Marvel ini dibuatkan film layar lebarnya setelah Adventures of Captain Marvel (William Witney, John English, 1941), Shazam! yang diarahkan oleh David F. Sandberg (Annabelle: Creation, 2017) berhasil menunjukkan kehandalan DC Films untuk menghadirkan sajian cerita bertemakan pahlawan super yang lebih segar – dan bahkan lebih menyenangkan dari beberapa film bertema sama garapan Marvel Studios – ketika mereka benar-benar berusaha untuk melakukannya. Continue reading Review: Shazam! (2019)

Review: Kingsman: The Golden Circle (2017)

Can you believe there are actually five Academy Awards winnersWell yes of course that includes Sir Elton John – appear to support this sequel to 2015’s Matthew Vaughn-directed hit, Kingsman: The Secret Service? Bukan hal yang cukup mengejutkan sebenarnya. Dengan pendapatan komersial sebesar lebih dari US$414 juta dari bujet produksi yang “hanya” mencapai US$94 juta, Vaughn jelas memiliki kebebasan yang lebih besar untuk menarik nama-nama berkelas untuk mengisi departemen akting film kedua dari seri film Kingsman, Kingsman: The Golden Circle. Namun, tentu saja, penampilan akting terbaik sekalipun tidak akan cukup jika sebuah film tidak didukung oleh kualitas penulisan naskah cerita yang sama kuatnya. Hal itulah yang, sayangnya, terjadi pada Kingsman: The Golden Circle. Menampilkan penampilan apik dari nama-nama seperti Colin Firth, Julianne Moore, Jeff Bridges dan Halle Berry, Kingsman: The Golden Circle tidak mampu untuk tampil semenyenangkan film pendahulunya akibat kurangnya sentuhan maupun kejutan baru pada formula pengisahan film mata-mata yang digarap oleh Vaughn. Continue reading Review: Kingsman: The Golden Circle (2017)

Review: Kingsman: The Secret Service (2015)

kingsman-the-secret-service-posterDo you like spy movies?”

Nowadays they’re all a little serious for my taste.”

Yep. Dialog yang terjadi antara karakter Richmond Valentine (Samuel L. Jackson) dan Harry Hart (Colin Firth) dalam salah satu adegan Kingsman: The Secret Service dengan jelas menggambarkan apa yang ingin ditunjukkan oleh sutradara Matthew Vaughn (X-Men: First Class, 2011) dalam film mata-mata garapannya. Dan benar, lewat satir sekaligus tribut tentang film mata-mata yang disajikannya dengan deretan adegan yang dipenuhi dengan aksi sekaligus darah dalam ritme penceritaan yang cepat, Vaughn berhasil menghadirkan sebuah film mata-mata yang tidak hanya mampu tergarap dengan baik namun juga sangat, sangat menyenangkan untuk diikuti petualangannya.

Dengan naskah cerita yang diadaptasi oleh Vaughn dan Jane Goldman – yang sebelumnya sempat bekerjasama lewat Stardust (2007) – dari seri buku komik berjudul The Secret Service karya Mark Millar dan Dave Gibbons, Kingsman: The Secret Service memiliki seluruh elemen yang selalu hadir dalam seri film James Bond: seorang agen rahasia yang berpenampilan stylish, tempat persembunyian yang berada di lokasi yang sama sekali tidak terduga, perangkat senjata yang canggih dan sangat mematikan hingga karakter antagonis maniak yang berniat untuk menguasai dunia. Namun, tidak seperti halnya seri James Bond, Vaughn menghadirkannya dalam nada penceritaan layaknya Kick-Ass (2010) yang muda, penuh gairah, humor kelam yang menghibur, ritme penceritaan yang berjalan dengan cepat plus dipenuhi dengan genangan darah dan potongan tubuh manusia.

Juga berbeda dengan kebanyakan film yang berkisah tentang para mata-mata, Vaughn dan Goldman mampu mengemas setiap karakter dalam Kingsman: The Secret Service dengan begitu baik. Setiap karakter, termasuk karakter-karakter pendukung, dihadirkan secara humanis, memiliki perasaan dan motivasi yang akan membuat para penonton dengan mudah terhubung dengan mereka. Di sisi lain, fokus yang diberikan pada beberapa karakter pendukung dengan latar penceritaan yang kurang menarik justru menghambat ritme penceritaan film di beberapa bagian. Walau sama sekali tidak mengurangi kesolidan kualitas penceritaan secara keseluruhan, namun harus diakui bahwa banyaknya karakter pendukung dalam jalan cerita membuang cukup banyak durasi penceritaan. Dari sisi teknikal, Vaughn menghadirkan Kingsman: The Secret Service dalam kualitas yang berkelas. Setiap adegan aksi dalam film mampu tergarap dengan tata koreografi aksi yang kuat dan akan mampu menarik penuh perhatian para penonton.

Tentu saja, dengan deretan karakter yang telah tergambarkan dengan baik, Vaughn juga berhasil menghadirkan deretan pengisi departemen akting yang mampu menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan dengan meyakinkan. Berada di barisan terdepan adalah duo Colin Firth dan aktor muda Taron Egerton. Berperan sebagai seorang agen rahasia senior yang mampu melakukan apa saja demi menyelesaikan misi yang telah ditugaskan padanya – termasuk deretan adegan aksi yang jelas jauh dari imej Firth sebagai seorang aktor selama ini – Firth tampak begitu nyaman dalam perannya. Pesona Firth sebagai seorang aktor memang tampil memukau dan Vaughn mampu memanfaatkan pesona tersebut untuk menjadikan karakter Harry Hart yang diperankan Firth menjadi karakter yang begitu mudah disukai (sekaligus sangat mematikan).

Meskipun tergolong wajah baru, Taron Egerton mampu hadir dengan kapabilitas akting yang dapat hadir setimpal dengan penampilan Firth. Adalah dapat diprediksi dengan mudah, dengan penampilan fisiknya yang tampan serta kemampuan aktingnya yang cukup berkualitas, Egerton adalah wajah baru yang akan segera diincar oleh banyak produser film Hollywood. Samuel L. Jackson tampil kuat sebagai karakter antagonis utama namun pemeran karakter asistennya-lah, Sofia Boutella, yang berhasil mencuri perhatian sebagai sosok wanita yang sangat mematikan. Penampilan lain dalam departemen akting Kingsman: The Secret Service juga hadir dari paduan nama-nama populer dan segar di dunia perfilman seperti Mark Strong, Michael Caine, Mark Hamill, Sophie Cookson hingga Jack Davenport. [B-]

Kingsman: The Secret Service (2015)

Directed by Matthew Vaughn Produced by Adam Bohling, David Reid, Matthew Vaughn Written by Mathew Vaughn, Jane Goldman (screenplay), Mark Millar, Dave Gibbons (comic book, The Secret Service) Starring Colin Firth, Taron Egerton, Samuel L. Jackson, Mark Strong, Michael Caine, Sophie Cookson, Sofia Boutella, Mark Hamill, Jack Davenport, Samantha Womack, Geoff Bell, Edward Holcroft, Nicholas Banks, Jack Cutmore-Scott, Tom Prior, Fiona Hampton, Hanna Alström, Bjørn Floberg, Richard Brake, Alex Nikolov Music by Henry Jackman, Matthew Margeson Cinematography George Richmond Edited by Eddie Hamilton, Jon Harris, Conrad Buff IV Production company Marv Films Running time 129 minutes Country United Kingdom, United States Language English

Review: The Imitation Game (2014)

the-imitation-game-posterThe Imitation Game jelas akan terdengar sebagai sebuah presentasi yang cukup membosankan jika hanya digambarkan sebagai sebuah film biopik yang berkisah tentang kehidupan seorang ahli Matematika bernama Alan Turing. But it’s true. Ditulis oleh Graham Moore, naskah cerita The Imitation Game diadaptasi dari biografi berjudul Alan Turing: The Enigma yang memang memaparkan kehidupan ilmuwan asal Inggris yang berhasil merakit mesin yang menjadi cikal bakal mesin komputer yang kita kenal saat ini. Namun, kehidupan Turing sendiri jelas jauh dari kesan sederhana maupun biasa saja. Turing adalah ilmuwan yang berhasil memecahkan kode Enigma milik pasukan Jerman di kala Perang Dunia II dan membantu Pasukan Sekutu untuk meraih kemenangan mereka. Di saat yang bersamaan, kehidupan pribadi Turing juga begitu kompleks ketika Turing, yang merupakan seorang homoseksual, hidup di kala pilihan orientasi seksual tersebut masih dianggap sebagai sebuah kejahatan oleh negara kelahiran Turing.

Dengan mengambil potongan kisah kehidupan Turing dari masa sekolahnya di tahun 1927 hingga saat ia menjalani pemeriksaan dan menjalani hukuman atas kesalahan perbuatan yang kurang pantas untuk pilihan orientasi seksualnya di tahun 1950an, Moore mampu menggarap naskah cerita The Imitation Game dengan baik. Moore mampu menyusun setiap tahap kehidupan Turing secara seksama untuk membawakan tema-tema cerita yang secara tidak langsung masih terasa relevan di era sekarang. Moore bahkan tidak berusaha mengeksploitasi jalan cerita film untuk menyajikan kehidupan pribadi Turing secara mendalam dan memilih untuk menghadirkan Turing sebagai sosok cerdas yang memiliki begitu banyak ide brilian di dalam kepalanya.

Pengarahan Morten Tyldum (Headhunters, 2011) yang apik juga mendukung The Imitation Game untuk menjadi sebuah presentasi yang emosional tanpa pernah berusaha memaksa penonton untuk bersimpati pada Turing. Tyldum berhasil menyajikan penceritaan film dengan ritme yang begitu terjaga di sepanjang 114 menit durasi penceritaan The Imitation Game. Jalan cerita yang dipenuhi dengan adegan kilas balik juga mampu tergarap baik dengan dukungan tata produksi yang apik, termasuk tata musik arahan Alexandre Desplat yang mampu mendukung atmosfer penceritaan dengan penuh serta tata sinematografi arahan Óscar Faura yang menyajikan pilihan gambar-gambar indah untuk film ini.

Jika ada bagian yang terasa lemah dalam presentasi The Imitation Game, hal tersebut jelas akan terasa datang dari kurangnya eksplorasi yang dilakukan Moore dan Tyldum pada karakter-karakter pendukung yang berada di sekitar karakter Turing. Padahal, karakter-karakter tersebut juga memiliki peranan yang cukup krusial untuk mempengaruhi kehidupan Turing dalam jalan cerita film. Karena hal itulah, karakter-karakter pendukung yang diperankan oleh nama-nama seperti Keira Knightley, Matthew Goode, Mark Strong hingga Rory Kinnear tidak pernah tampil dengan porsi penceritaan yang memuaskan meskipun hadir dalam penampilan yang kuat dari setiap pemerannya.

The Imitation Game sendiri menjadi ajang pembuktian bagi kemampuan berakting Benedict Cumberbatch yang begitu berkelas. Lewat kemampuan aktingnya, karakter Alan Turing mampu dihadirkan dengan begitu hidup dan hadir dengan pesona yang kuat – meskipun karakteristik yang dihadirkan naskah cerita Graham Moore bagi karakter Turing adalah sosok yang anti-sosial dan sukar untuk disukai. Cumberbatch berhasil menterjemahkan dengan sempurna sesosok karakter yang begitu kompleks secara emosional untuk kemudian tampil sebagai karakter yang dengan mudah dapat terhubung dengan setiap penonton. Penampilan Cumberbatch serta deretan pengisi departemen akting The Imitation Game yang begitu kuat inilah yang menjadi kunci utama mengapa film ini mampu mengalir dengan baik dalam penceritaannya dan menjadi lebih dari sekedar film biopik biasa. [B]

The Imitation Game (2014)

Directed by Morten Tyldum Produced by Nora Grossman, Ido Ostrowsky, Teddy Schwarzman Written by Graham Moore (screenplay), Andrew Hodges (book, Alan Turing: The Enigma) Starring Benedict Cumberbatch, Keira Knightley, Matthew Goode, Mark Strong, Charles Dance, Allen Leech, Matthew Beard, Rory Kinnear, Alex Lawther, Jack Bannon, Victoria Wicks, David Charkham, Tuppence Middleton, James Northcote, Steven Waddington Music by Alexandre Desplat Cinematography Óscar Faura Edited by William Goldenberg Production company Black Bear Pictures/FilmNation Entertainment/Bristol Automotive Running time 114 minutes Country United Kingdom, United States Language English

Review: John Carter (2012)

Ekspektasi jelas akan menjulang begitu tinggi bagi John Carter. Bukan hanya karena naskah cerita film aksi bernuansa science fiction ini diangkat dari bagian awal dari sebelas seri novel legendaris Barsoom karya Edgar Rice Burroughs, John Carter juga menjadi debut penyutradaraan film live action bagi pemenang dua Academy Awards, Andrew Stanton, yang mungkin lebih dikenal luas sebagai salah satu punggawa studio animasi Pixar Animation Studios dan otak dibalik kesuksesan luar biasa Finding Nemo (2003) dan WALL•E (2008). Dalam beberapa kesempatan, Stanton sempat mengungkapkan bahwa John Carter adalah proyek ambisius personalnya yang semenjak lama ingin ia wujudkan – sebuah hasrat yang akan dapat dirasakan penonton secara jelas dalam ritme penceritaan John Carter yang berjalan sepanjang 132 menit.

Continue reading Review: John Carter (2012)

Review: Green Lantern (2011)

Bahkan dengan keberadaan empat orang penulis naskah yang mencoba untuk mengadaptasi kisah dari sebuah seri komik yang telah diterbitkan semenjak tahun 1940, Green Lantern terasa bagaikan sebuah film yang hadir dengan naskah cerita yang begitu dangkal. Masalah utama dari naskah cerita yang disusun oleh Greg Berlanti, Michael Green, Marc Guggenheim dan Michael Goldenberg ini adalah mereka seperti mencoba untuk memadukan seluruh formula yang biasanya ditemukan dalam film-film bertema superhero ke dalam satu susunan naskah cerita. Sayangnya, hal itu kemudian berjalan dengan buruk ketika mereka seperti lupa untuk membangun karakterisasi setiap tokoh dengan baik, plot cerita yang menarik serta alur cerita yang memikat. Ketika permasalahan itu semakin diperburuk oleh sutradara Martin Campbell (Edge of Darkness, 2010) yang sepertinya lebih tertarik untuk menampilkan kekuatan special effect daripada jalan cerita, jadilah Green Lantern terasa bagaikan sebuah perjalanan panjang yang datar dan cenderung membosankan untuk diikuti.

Continue reading Review: Green Lantern (2011)

Review: The Eagle (2011)

Karir sutradara asal Skotlandia, Kevin Macdonald, sama sekali jauh dari kata mengecewakan. Memulai karirnya sebagai seorang sutradara film dokumenter pada tahun 1995, ia kemudian berhasil memperoleh sebuah Academy Awards untuk film dokumenternya, One Day in September (1999), yang berkisah mengenai pembunuhan atlit Israel di Olimpiade Munich pada tahun 1972. Setelah beberapa film dokumenter setelahnya, Macdonald melakukan debut penyutradaraan pada film layar lebar dengan mengarahkan The Last King of Scotland (2006), yang berhasil memenangkan sebuah Academy Awards untuk aktor Forest Whitaker, yang diikuti dengan adaptasi miniseri State of Play (2009) yang kemudian berhasil meraih banyak pujian dari kritikus film dunia.

Continue reading Review: The Eagle (2011)

Review: The Way Back (2010)

Peter Weir bukanlah Woody Allen, yang sepertinya selalu merasa bahwa ia wajib memenuhi kuota untuk merilis satu film di setiap tahunnya. Weir, yang berhasil mengoleksi enam nominasi Academy Awards, sepertinya senang untuk membuat para peminat filmnya untuk menunggu. Namun, penantian tersebut jelas karena Weir adalah seorang sutradara yang menginginkan setiap karyanya untuk dapat tampil sesempurna mungkin. Ini dapat dibuktikan melalui The Way Back, film pertama Weir setelah merilis Master and Commander: The Far Side of the World pada tujuh tahun silam. Dengan dukungan jajaran pemeran yang solid serta tata teknis yang apik, The Way Back menjelma menjadi sebuah film yang megah, terlepas dari kurangnya faktor emosional yang mengikat di dalam jalan cerita film ini.

Continue reading Review: The Way Back (2010)

Review: Kick-Ass (2010)

How come nobody’s ever tried to be a superhero? Begitulah pemikiran yang berada di kepala Dave Lizewski (Aaron Johnson) sebelum ia akhirnya memilih untuk mengenakan sebuah kostum dan merubah dirinya menjadi seorang pahlawan super dengan nama Kick-Ass, walaupun ia sebenarnya tidak memiliki kekuatan apa-apa. Seorang penggemar komik sejati, Dave merasa penasaran mengapa dari sekian banyak penggemar kisah-kisah bertema pahlawan super di dunia, tidak ada satupun yang ingin mencoba menjadi salah satu diantara pahlawan super tersebut dan melakukan perbuatan terpuji dengan membantu umat manusia.

Continue reading Review: Kick-Ass (2010)

Review: Robin Hood (2010)

Legenda mengenai sang pahlawan rakyat kecil, Robin Hood, kembali diangkat ke layar lebar. Kali ini, kisah legendaris tersebut diarahkan oleh sutradara peraih nominasi Academy Award, Ridley Scott, dengan bintang peraih Academy Award, Russel Crowe, berperan sebagai sang tokoh utama. Seiring dengan perubahan fokus cerita, film yang tadinya akan diberi judul Nottingham ini kemudian diubah oleh Scott menjadi Robin Hood.

Continue reading Review: Robin Hood (2010)

Review: The Young Victoria (2009)

The Young Victoria adalah sebuah drama period yang mengisahkan mengenai masa awal pemerintahan Ratu Victoria dari kerajaan Inggris serta mengenai kisah percintaannya dengan Pangeran Albert dari Jerman. Dibintangi oleh Emily Blunt sebagai Ratu Victoria, film ini diproduseri oleh Martin Scorcese bersama Graham King (The Departed) dan Sarah, Duchess of York.

Continue reading Review: The Young Victoria (2009)