Tag Archives: Linda Cardellini

Review: Avengers: Endgame (2019)

Lima tahun setelah Thanos (Josh Brolin) menjentikkan jarinya dan menghapus separuh peradaban manusia dari atas permukaan Bumi – seperti yang dikisahkan pada Avengers: Inifinity War (Anthony Russo, Joe Russo, 2018), para anggota Avengers yang tersisa, Tony Stark/Iron Man (Robert Downey, Jr.), Steve Rogers/Captain America (Chris Evans), Bruce Banner/Hulk (Mark Ruffalo), Thor (Chris Hemsworth), Natasha Romanoff/Black Widow (Scarlett Johansson), Clint Barton/Hawkeye (Jeremy Renner), dan James Rhodes/War Machine (Don Cheadle), masih berupaya melupakan kepedihan hati mereka atas kekalahan di medan peperangan sekaligus hilangnya orang-orang yang mereka cintai. Di saat yang bersamaan, para anggota Avengers yang tersisa tersebut juga masih terus mencari cara untuk menemukan keberadaan Thanos dan membuatnya memperbaiki segala kerusakan yang telah ia sebabkan ketika menggunakan Infinity Stones. Harapan muncul ketika Scott Lang/Ant-Man (Paul Rudd) yang ternyata selamat dari tragedi yang disebabkan jentikan jari Thanos dan kemudian mendatangi markas Avengers dengan sebuah ide yang dapat menghadapkan kembali para Avengers dengan  musuh besar mereka. Continue reading Review: Avengers: Endgame (2019)

Review: The Curse of the Weeping Woman (2019)

Well… jika Anda belum jenuh dengan eksplorasi akan semesta pengisahan The Conjuring, James Wan kembali menghadirkan sebuah bangunan kisah horor baru yang diikutsertakan dalam semesta pengisahan tersebut. Dengan mengambil inspirasi dari salah satu dongeng asal Meksiko yang berkisah tentang sosok supranatural yang dikenal dengan sebutan La Llorona, The Curse of the Weeping Woman memiliki latar belakang waktu penceritaan pada tahun 1970an dengan cerita yang berfokus pada kehidupan seorang ibu yang bekerja sebagai seorang pekerja sosial, Anna Tate-Garcia (Linda Cardellini), serta kedua anaknya, Chris (Roman Christou) dan Samantha Garcia (Jaynee-Lynne Kinchen). Ketika sedang menangani sebuah kasus kematian dua orang anak, Anna Tate-Garcia baru menyadari bahwa ada sesuatu hal yang mengganggu kehidupan kedua anaknya. Tidak tinggal diam, Anna Tate-Garcia lantas meminta bantuan pihak gereja untuk membantunya mengusir sosok yang semenjak lama dikenal dengan sebutan La Llorona dan memang gemar menculik para anak-anak manusia untuk dijadikannya sebagai anaknya sendiri. Continue reading Review: The Curse of the Weeping Woman (2019)

Review: Green Book (2018)

Berlatar belakang di tahun 1960an ketika perlakuan diskriminasi dan segregasi terhadap orang-orang kulit berwarna di Amerika Serikat masih berlangsung, film terbaru arahan Peter Farrelly (The Three Stooges, 2012), Green Book, memulai pengisahannya ketika mantan penjaga klub malam yang merupakan seorang Italia-Amerika, Frank “Tony Lip” Vallelonga (Viggo Mortensen), dipekerjakan oleh seorang musisi jazz berdarah Afrika-Amerika, Don Shirley (Mahershala Ali), untuk menjadi supir sekaligus penjaga keamanannya ketika sedang melakukan tur keliling Amerika Serikat yang akan berjalan selama delapan minggu. Jelas bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Selain keduanya harus bersiap menghadapi berbagai kendala yang akan muncul akibat identitas ras yang dimiliki Don Shirley, Frank “Tony Lip” Vallelonga dan Don Shirley sendiri seringkali merasa bahwa mereka bukanlah rekan kerja yang tepat akibat berbagai perbedaan yang ada dalam kepribadian mereka. Namun, menghabiskan masa selama delapan minggu bersama, keduanya mulai saling mengenal, membuka diri, dan bahkan melindungi satu sama lain. Continue reading Review: Green Book (2018)

Review: A Simple Favor (2018)

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Jessica Sharzer (Nerve, 2016) berdasarkan novel berjudul sama karangan Darcey Bell, A Simple Favor berkisah mengenai persahabatan antara dua orang wanita yang berasal dari latar belakang kehidupan yang berbeda: Stephanie Smothers (Anna Kendrick) yang merupakan seorang ibu rumah tangga beranak satu yang mengisi kesehariannya dengan menjadi seorang video blogger dan Emily Nelson (Blake Lively), seorang wanita dengan karir mapan serta kehidupan yang berkecukupan bersama suami tampan, Sean Townsend (Henry Golding), dan putera tunggal mereka. Suatu hari, Emily Nelson menghubungi sahabatnya untuk meminta bantuan dalam menjemput puteranya dikarenakan dirinya mendapatkan tugas ke luar kota sementara suaminya sedang berada di luar negeri untuk mengurus ibunya yang sedang sakit. Sebuah permintaan yang mudah. Namun, keanehan mulai muncul setelah Emily Nelson mendadak menghilang dan tidak dapat dihubungi. Panik, Stephanie Smothers mulai mengumpulkan berbagai petunjuk untuk dapat menemukan kembali keberadaan sahabatnya. Continue reading Review: A Simple Favor (2018)

Review: Daddy’s Home Two (2017)

Daddy’s Home, film komedi arahan Sean Anders yang mempertemukan kembali Mark Wahlberg dengan Will Ferrell setelah kesuksesan mereka lewat The Other Guys (Adam McKay, 2010), adalah sebuah kejutan yang cukup menyenangkan ketika dirilis menjelang liburan Natal pada tahun 2015. Meskipun tidak begitu disenangi oleh para kritikus film dunia namun dengan kekuatan humornya yang kental film tersebut mampu mendapatkan raihan komersial sebesar lebih dari US$242 juta dari biaya produksi sebesar US$69 juta. Dua tahun setelah perilisan film pertamanya, Anders, Wahlberg, dan Ferrell kembali bekerjasama untuk memproduksi sekuel Daddy’s Home yang kini juga menghadirkan penampilan akting dari John Lithgow dan Mel Gibson – bahkan dengan bujet produksi yang tidak berubah dari seri sebelumnya. Wellmaybe lightning never strikes the same place twice. Dengan formula pengisahan yang relatif tidak berubah namun disajikan dengan kerangka cerita yang semakin minimalis, Daddy’s Home Two kini tampil melelahkan dan berubah menjadi sebuah sajian komedi yang kehilangan seluruh daya tariknya. Continue reading Review: Daddy’s Home Two (2017)

Review: Avengers: Age of Ultron (2015)

avengers-age-of-ultron-posterSetelah kesuksesan luar biasa dari The Avengers (2012) – yang tidak hanya berhasil meraih pujian luas dari banyak kritikus film dunia namun juga mampu menarik perhatian penonton dan menjadikannya sebagai film dengan kesuksesan komersial terbesar ketiga di dunia setelah Avatar (2009) dan Titanic (1997) – kumpulan pahlawan dari Marvel Comics kembali hadir lewat Avengers: Age of Ultron. Masih disutradarai oleh Joss Whedon, Avengers: Age of Ultron memberikan sedikit perubahan radikal dalam warna penceritaannya. Berbeda dengan The Avengers yang menghadirkan banyak sentuhan komedi melalui deretan dialognya, film yang juga menjadi film kesebelas dalam rangkaian film dari Marvel Cinematic Universe ini tampil dengan deretan konflik yang lebih kompleks sekaligus kelam dari pendahulunya – atau bahkan dari seluruh film-film produksi Marvel Studios sebelumnya. Sebuah pilihan yang cukup beresiko dan, sayangnya, gagal untuk dieksekusi secara lebih dinamis oleh Whedon.

Dalam Avengers: Age of Ultron, Tony Stark (Robert Downey, Jr.) bekerjasama dengan Bruce Banner (Mark Ruffalo) untuk menghasilkan sebuah teknologi kecerdasan buatan yang awalnya ditujukan untuk membantu The Avengers dalam melaksanakan setiap tugas mereka. Sial, program yang diberi nama Ultron (James Spader) tersebut justru berbalik arah. Dengan tingkat kecerdasan tinggi yang diberikan kepadanya, Ultron justru merasa bahwa The Avengers adalah ancaman bagi kedamaian dunia dan akhirnya memilih untuk memerangi mereka. Dibantu dengan pasangan kembar Pietro (Aaron Taylor-Johnson) yang memiliki kecepatan super dan Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen) yang memiliki kemampuan untuk memanipulasi jalan pemikiran orang lain, Ultron memberikan sebuah tantangan berat yang tidak hanya mengancam keberadaan The Avengers namun juga keberadaan seluruh umat manusia yang ada di atas pemukaan Bumi.

Pilihan untuk tampil “lebih dewasa” lewat jalan penceritaan lebih kompleks dan kelam yang dituliskan oleh Joss Whedon sendiri sebenarnya bukanlah sebuah pilihan yang buruk untuk Avengers: Age of Ultron. Namun, dengan banyaknya karakter serta beberapa konflik personal lain yang masih tetap ingin diberikan ruang penceritaan khusus oleh Whedon, Avengers: Age of Ultron akhirnya justru terasa dibebani terlalu banyak permasalahan dengan ruang yang lebih sempit bagi konflik-konflik tersebut untuk berkembang dan hadir dengan porsi cerita yang memuaskan. Ketiadaan fokus yang kuat bagi setiap masalah yang dihadirkan inilah yang membuat Avengers: Age of Ultron terasa bertele-tele dalam mengisahkan penceritaannya dan akhirnya turut mempengaruhi pengembangan kisah personal beberapa karakter yang sebelumnya justru menjadi salah satu poin terbaik dari pengisahan The Avengers.

Berbicara mengenai Ultron, karakter antagonis yang satu ini harus diakui gagal tersaji secara lebih menarik jika dibandingkan dengan karakter antagonis dari seri sebelumnya, Loki. Terlepas dari kecerdasan luar biasa yang ia miliki, Ultron terasa hanyalah sebagai sebuah variasi karakter antagonis standar dalam film-film bertema sejenis yang berniat untuk memberikan ujian fisik dan mental bagi para karakter utama hingga akhirnya dapat menemukan jalan untuk mencapai tujuan hidup mereka: menjadi penguasa dunia. Vokal James Spader sendiri mampu memberikan warna karakteristik dingin yang sangat sesuai bagi Ultron namun hal tersebut tetap saja tidak mampu membuat Ultron tampil lebih menarik lagi.

Terlepas dari beberapa kelemahan tersebut, Avengers: Age of Ultron sendiri masih mampu dengan beberapa sentuhan humanis dalam penceritaannya. Beberapa plot pendukung seperti hubungan romansa yang sepertinya mulai terbangun antara karakter Bruce Banner dan Natasha Romanoff serta latar belakang keluarga yang dimiliki oleh karakter Clint Barton membuat sisi drama dari film ini tampil dengan kualitas yang cukup istimewa. Whedon, sayangnya, gagal memberikan porsi pengisahan yang sesuai untuk dua karakter baru, Pietro dan Wanda Maximoff, sehingga kehadiran keduanya seringkali terasa tidak lebih dari sekedar karakter tambahan tanpa esensi cerita yang cukup kuat untuk tampil lebih menarik.

Layaknya seri pendahulunya, Whedon masih mampu merangkai Avengers: Age of Ultron dengan kualitas departemen produksi yang sangat memikat. Jajaran pengisi departemen akting film ini juga hadir dengan penampilan akting yang semakin dinamis dengan chemistry yang semakin menguat antara satu dengan yang lain. Seandainya Whedon mau menghilangkan beberapa plot pendukung yang kurang esensial dan memilih untuk mengembangkan konflik utama film dengan lebih tajam, Avengers: Age of Ultron mungkin mampu hadir menyaingi kualitas penceritaan The Avengers – meskipun dengan nada penceritaan yang tetap hadir lebih kelam dan serius. Avengers: Age of Ultron tetap mampu memberikan beberapa momen khas film-film karya Marvel Studios yang akan dapat dinikmati penggemarnya. Namun lebih dari itu, film ini terasa dibebani terlalu banyak konflik yang akhirnya justru membuatnya gagal untuk berkembang dengan penceritaan yang lebih baik. [C]

Avengers: Age of Ultron (2015)

Directed by Joss Whedon Produced by Kevin Feige Written by Joss Whedon (screenplay), Zak Penn, Joss Whedon (story), Stan Lee, Jack Kirby (comics, The AvengersStarring Robert Downey Jr., Chris Hemsworth, Mark Ruffalo, Chris Evans, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Don Cheadle, Aaron Taylor-Johnson, Elizabeth Olsen, Paul Bettany, Cobie Smulders, Anthony Mackie, Hayley Atwell, Idris Elba, Stellan Skarsgård, James Spader, Samuel L. Jackson,  Linda Cardellini, Thomas Kretschmann, Claudia Kim, Andy Serkis, Julie Delpy, Stan Lee Music by Brian Tyler, Danny Elfman Cinematography Ben Davis Editing by Jeffrey Ford, Lisa Lassek Studio Marvel Studios Running time 141 minutes Country United States Language English

Review: Super (2010)

Mengikuti formula yang sebelumnya telah digunakan oleh Defendor (2009) dan Kick-Ass (2010), Super berkisah mengenai Frank D’Arbo (Rainn Wilson), seorang juru masak di sebuah restoran kecil, yang berusaha untuk menjadi seorang superhero dengan tujuan agar dapat merebut kembali istrinya, Sarah Helgeland (Liv Tyler), yang kabur dengan seorang pemilik klub malam sekaligus merupakan seorang bandar narkotika dan obat-obatan terlarang, Jacques (Kevin Bacon). Sarah sendiri, sebelum berkenalan dan menikah dengan Frank, merupakan seorang mantan pecandu narkoba yang sedang berada dalam masa rehabilitasinya. Awal pernikahannya dengan Frank berjalan lancar, hingga akhirnya Sarah berkenalan dengan Jacques yang akhirnya membawanya kembali untuk menggunakan barang-barang haram tersebut.

Continue reading Review: Super (2010)