Tag Archives: Léa Seydoux

Review: No Time to Die (2021)

15 tahun semenjak dirinya menggantikan posisi Pierce Brosnan dengan membintangi film ke-21 dari seri James Bond, Casino Royale (Martin Campbell, 2006), serta, dalam perjalanannya, kemudian membintangi tiga film lanjutan, termasuk Skyfall (Sam Mendes, 2012) yang menjadi film pertama dalam seri petualangan sang agen rahasia yang berhasil mengumpulkan pendapatan komersial sebesar lebih dari US$1 milyar selama masa perilisannya di seluruh dunia, Daniel Craig menyudahi tugasnya dalam memerankan karakter James Bond  melalui film teranyar dari seri film tersebut, No Time to Die. Diarahkan oleh Cary Joji Fukunaga (Jane Eyre, 2011) berdasarkan naskah cerita yang ditulisnya bersama dengan Neal Purvis dan Robert Wade – yang telah menjadi penulis naskah bagi seluruh seri film James Bond semenjak The World is Not Enough (Michael Apted, 1999) – serta Phoebe Waller-Bridge, No Time to Die terasa melengkapi perjalanan karakterisasi dari karakter James Bond yang semenjak diperankan oleh Craig dihadirkan sebagai sosok yang lebih serius dan lebih kelam jika dibandingkan dengan karakter James Bond ketika diperankan oleh barisan pemeran sebelum Craig. Continue reading Review: No Time to Die (2021)

Review: Beauty and the Beast (2014)

beauty-and-the-beast-posterSeperti halnya Cinderella (2015), kisah si cantik Belle yang jatuh cinta dengan seorang pangeran penyendiri buruk rupa dalam Beauty and the Beast juga telah berulangkali diadaptasi pengisahannya, baik dalam bentuk film, serial televisi hingga drama panggung. Yang paling populer? Tentu saja film animasi berjudul sama rilisan Walt Disney Pictures pada tahun 1991 yang berhasil meraih kesuksesan besar baik secara komersial maupun kritikal hingga akhirnya menjadi film animasi pertama yang berhasil mendapatkan nominasi Best Picture di ajang Academy Awards. Versi teranyar dari Beauty and the Beast kali ini sendiri datang dari sutradara Christophe Gans (Silent Hill, 2006). Bersama dengan penulis naskah Sandra Vo-Anh, Gans mencoba untuk memberikan interpretasinya atas kisah romansa klasik dari penulis asal Perancis Gabrielle-Suzanne Barbot de Villeneuve tersebut dengan memasangkan Léa Seydoux dan Vincent Cassell sebagai dua bintang utamanya.

Kisahnya jelas telah familiar. Belle (Seydoux) yang merupakan anak termuda dari seorang pedagang yang baru saja mengalami kebangkrutan (André Dussollier) memilih untuk menggantikan posisi ayahnya yang hendak dibunuh oleh sosok misterius penguasa sebuah kastil mewah (Cassell) akibat sebuah kesalahan yang dilakukan sang ayah. Setibanya di kastil, Belle justru menjadi tawanan bagi sosok misterius yang hanya dikenal dengan sebutan Beast tersebut. Setelah sekian malam tinggal di kastil, Belle mulai mempelajari siapa sosok Beast yang sesungguhnya. Sosok yang jelas jauh dari kesan menakutkan seperti yang tergambar dari wujud fisik Beast. Secara perlahan, Belle jatuh hati pada Beast.

Dengan jalinan kisah yang telah familiar bagi banyak orang, Gans tentu saja membutuhkan usaha lebih untuk membuat Beauty and the Beast miliknya mampu tampil menonjol. Jelas adalah sebuah pilihan cerdas untuk kemudian merangkai kisah familiar Beauty and the Beast dengan tampilan visual yang mewah dan megah. Seperti ingin menjadi cerminan jalan cerita film, Gans kemudian banyak bermain dengan warna – memadukan kontrasnya warna-warna terang dan kelam – sehingga mampu menjadikan Beauty and the Beast begitu mengagumkan untuk disaksikan. Tata musik arahan Pierre Adenot juga banyak membantu mengangkat sentuhan emosional dalam jalan cerita. Komposisi musik Adenot mungkin akan mengingatkan pada komposisi musik Danny Elfman dalam film-film arahan Tim Burton. Tetap saja, Adenot berhasil menyajikan tatanan musik yang begitu sesuai dengan atmosfer penceritaan film ini.

Kuatnya penampilan departemen teknikal jelas memberikan andil besar untuk menutupi kelemahan penceritaan Beauty and the Beast. Bukannya buruk, namun Gans jelas terasa kebingungan untuk memilihkan ritme penceritaan film yang tepat bagi filmnya. Banyaknya adegan kilas balik dalam jalan cerita seringkali membuat Beauty and the Beast sukar untuk dinikmati dengan seksama – khususnya pada dua paruh pertama pengisahannya. Banyaknya karakter pendukung yang kurang mendapatkan ruang penceritaan yang luas juga memberikan pengaruh tersendiri. Membingungkan, khususnya ketika beberapa karakter pendukung tersebut beberapa kali hadir dan menghilang begitu saja dari dalam jalan cerita.

Meskipun jauh dari kesan istimewa, departemen akting Beauty and the Beast hadir dalam kualitas yang tidak mengecewakan. Belle mungkin bukanlah sosok dengan karakterisasi yang cukup berwarna namun penampilan Seydoux jelas memberikan kesan keanggunan tersendiri bagi sosok karakter tersebut. Chemistry yang dibangun Seydoux dengan Cassell sendiri sempat terasa hambar di beberapa bagian. Meskipun begitu, Seydoux dan Cassell berhasil memberikan kekuatan penampilan yang cukup khas bagi dua karakter ikonik yang mereka perankan. Begitu pula dengan jajaran pemeran pendukung yang meskipun hadir dengan kapasitas cerita yang minimalis namun tetap mampu memberikan kesan kualitas penampilan yang maksimal. [C]

Beauty and the Beast (La Belle et la Bête) (2014)

Directed by Christophe Gans Produced by Richard Grandpierre Written by Christophe Gans, Sandra Vo-Anh (screenplay), Gabrielle-Suzanne Barbot de Villeneuve (story, Beauty and the Beast) Starring Vincent Cassel, Léa Seydoux, André Dussollier, Eduardo Noriega, Myriam Charleins, Sara Giraudeau, Audrey Lamy, Jonathan Demurge, Nicolas Gob, Louka Meliava, Yvonne Catterfeld, Dejan Bucin Music by Pierre Adenot Cinematography Christophe Beaucarne Editing by Sébastien Prangère Studio Eskwad/Pathé/Studio Babelsberg Running time 112 minutes Country France, Germany Language French

The 17th Annual Online Film Critics Society Awards Nominations List

OFCS-2Kolaborasi ketiga antara sutradara Steve McQueen dan aktor Michael Fassbender, 12 Years a Slave, berhasil memimpin daftar perolehan nominasi di ajang The 17th Annual Online Film Critics Society Awards. 12 Years a Slave berhasil meraih delapan nominasi, termasuki nominasi Best Picture, Best Director untuk McQueen, Best Actor untuk Chiwetel Ejiofor, Best Supporting Actor untuk Fassbender serta Best Supporting Actress untuk Lupita Nyong’o. Berbeda dengan pelaksanaannya tahun lalu, terdapat sepuluh film yang dinominasikan untuk merebut gelar Best Picture. Film-film yang akan bersaing bersama 12 Years a Slave tersebut adalah American Hustle, Before Midnight, Blue is the Warmest Colour, Drug War, Gravity, Her, Inside Llewyn Davies, Short Term 12 dan The Wind Rises.

Continue reading The 17th Annual Online Film Critics Society Awards Nominations List

Review: Midnight in Paris (2011)

Akan sangat mudah untuk jatuh cinta kepada Midnight in Paris – sebuah film yang menandai kali pertama perjalanan sinema seorang Woody Allen di kota romantis tersebut. Semenjak pertama film ini dimulai, yang ditandai dengan sebuah adegan pembuka sepanjang tiga menit yang berisi banyak pemandangan indah kota Paris yang diiringi dengan musik jazz yang sangat menghipnotis, penonton telah dapat merasakan bahwa Midnight in Paris akan menjadi sebuah persembahan cinta Allen kepada kota terbesar di negara Perancis tersebut. Namun, Midnight in Paris tidak hanya melulu berkisah seputar kesuksesan Allen dalam menangkap esensi keindahan kota tersebut. Allen – yang dalam beberapa film terakhirnya gagal mempersembahkan sebuah presentasi cerita yang segar kepada para penggemarnya – kali ini berhasil memberikan jalan cerita yang begitu ringan namun begitu imaginatif serta, layaknya kota Paris, begitu indah dan romantis untuk disimak.

Continue reading Review: Midnight in Paris (2011)

Review: Mission: Impossible – Ghost Protocol (2011)

Berbeda dengan tiga seri dalam franchise Mission: Impossible (1996 – 2006) sebelumnya, Mission: Impossible – Ghost Protocol berhasil meningkatkan performa deretan aksi yang disajikan. Tidak hanya disajikan dalam porsi yang lebih banyak, adegan-adegan aksi tersebut juga mampu ditampilkan dengan tingkat intensitas yang lebih tinggi dan akan mampu memacu adrenalin setiap penontonnya. Walaupun begitu, Mission: Impossible – Ghost Protocol juga bukanlah seri yang paling serius diantara seri lain dari franchise yang diangkat dari sebuah serial televisi ini. Berbekal pengalamannya dalam mengarahkan dua film animasi, The Incredibles (2004) dan Ratatouille (2006), yang tetap mampu tampil komikal di tengah-tengah keseriusan jalan cerita yang disampaikan, Brad Bird berhasil mengarahkan sisi komedi dari Mission: Impossible – Ghost Protocol untuk dapat tampil sama maksimalnya dengan sisi aksi film ini dan membuat Mission: Impossible – Ghost Protocol menjadi sebuah sajian aksi yang tidak hanya menegangkan, namun juga berhasil tampil sangat menghibur.

Continue reading Review: Mission: Impossible – Ghost Protocol (2011)