Setelah Black Widow (Cate Shortland, 2021) dan Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (Destin Daniel Cretton, 2021), laju fase keempat dari Marvel Cinematic Universe berlanjut dengan Eternals. Seperti halnya Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings, film arahan Chloé Zhao (Nomadland, 2020) yang naskah ceritanya diadaptasi dari seri komik garapan Jack Kirby berjudul sama ini adalah sebuah origin story yang akan memperkenalkan sejumlah karakter baru dalam linimasa pengisahan Marvel Cinematic Universe. Berbeda dengan Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings maupun barisan origin story lain yang telah dirilis oleh seri film ini sebelumnya, Eternals disajikan dengan penuturan yang cukup berbeda. Tema cerita akan krisis eksistensial serta keberadaan Zhao, yang lebih dikenal sebagai seorang sutradara film-film dengan warna pengisahan cerita yang berkesan intim, memberikan sentuhan berbeda yang sebenarnya cukup menyegarkan. Apakah sentuhan yang berbeda cukup untuk menghasilkan kualitas penceritaan yang kuat? Well… that’s another story. Continue reading Review: Eternals (2021)
Tag Archives: Kit Harington
Review: How to Train Your Dragon: The Hidden World (2019)
Masih ingat dengan Hiccup dan Toothless? Setelah How to Train Your Dragon (Chris Sanders, Dean DeBlois, 2010) yang berhasil mendapatkan nominasi Best Animated Feature di ajang The 83rd Annual Academy Awards dan How to Train Your Dragon 2 (DeBlois, 2014) yang mampu mengumpulkan pendapatan komersial sebesar lebih dari US$600 juta yang mengungguli pendapatan komersial seri pendahulunya, DreamWorks Animation kini merilis film teranyar dari seri How to Train Your Dragon – yang juga digadang menjadi seri terakhir, How to Train Your Dragon: The Hidden World. Layaknya dua film pendahulunya, film yang masih diarahkan oleh DeBlois ini terus mengeksplorasi hubungan antara sang ketua suku Viking dari kelompok Berk, Hiccup (Jay Baruchel), dengan naga yang dipeliharanya semenjak kecil, Toothless, dengan kini membawa eksplorasi hubungan tersebut pada kemampuan Hiccup untuk menggantikan sang ayah, Stoick the Vast (Gerard Butler), menjadi pemimpin bagi suku mereka. Mampukah How to Train Your Dragon: The Hidden World menghasilkan daya tarik yang setara dengan daya tari yang dihasilkan oleh dua film terdahulu? Continue reading Review: How to Train Your Dragon: The Hidden World (2019)
Review: Testament of Youth (2015)
Sejujurnya, adalah cukup sulit untuk tidak memberikan perbandingan langsung antara Atonement (Joe Wright, 2007) dengan Testament of Youth. Tidak hanya karena keduanya merupakan period movie yang diadaptasi dari dua karya sastra popular, baik Atonement dan Testament of Youth juga sama-sama berkisah tentang perang yang mempengaruhi kehidupan asmara pasangan yang menjadi karakter utama kedua film. Meskipun dirilis jauh setelah perilisan Atonement, Testament of Youth sendiri merupakan sebuah film drama yang mendasarkan kisahnya pada buku berjudul sama karya Vera Brittain yang dirilis pertama kali pada tahun 1933 dan berisi tentang kisah nyata perjalanan kehidupan penulis wanita legendaris asal Inggris tersebut ketika Perang Dunia I sedang berlangsung. Sayangnya, kembali pada perbandingan terhadap Atonement, Testament of Youth gagal untuk mendapatkan perlakuan yang lebih baik. Hasilnya, meskipun hadir dengan material yang memiliki begitu banyak peluang untuk menghasilkan pengisahan yang emosional, Testament of Youth cenderung tampil datar pada kebanyakan bagian penceritaannya.
Memulai kisahnya dengan latar belakang masa pengisahan pada tahun 1914 – masa ketika para gadis remaja hanya diharapkan tumbuh dewasa untuk menjalani kehidupan sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anak mereka, Vera Brittain (Alicia Vikander) muncul sebagai sosok gadis cerdas yang memberontak pada ayah dan ibunya (Dominic West dan Emily Watson) dan meminta agar dirinya diizinkan untuk turut berkuliah di Somerville College, Oxford bersama dengan kakak lelakinya, Edward (Taron Egerton). Meski awalnya menilai hal tersebut akan menjadi suatu perbuatan yang sia-sia belaka, Vera akhirnya diperbolehkan untuk meneruskan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Di sana, Vera mengasah kemampuannya dalam menulis. Tidak hanya itu, gadis cantik tersebut juga berkenalan dengan seorang pemuda bernama Roland Leighton (Kit Harrington) dan bahkan kemudian menjalin hubungan asmara dengannya. Sayang, ketika Perang Dunia I memulai pergerakannya, hubungan asmara antara Vera dan Roland mulai menemui berbagai ujian terbesarnya.
Testament of Youth sesungguhnya bukanlah sebuah film yang buruk. Bahkan, tidak seperti Atonement yang murni berkisah sebagai sebuah drama romansa, Testament of Youth memilih untuk turut tampil tegas sebagai sebuah film yang mengisahkan mengenai usaha dan kekuatan dari seorang wanita untuk menunjukkan ketangguhan dirinya pada era dimana para wanita hanya dipandang sebelah mata dalam lingkungan tempat keberadaan mereka. Pengarahan dari James Kent yang sayangnya membuat berbagai potensi dalam penceritaan Testament of Youth terasa menguap begitu saja. Arahan Kent tampil begitu datar, tanpa pernah sekalipun mampu menggali berbagai sudut konflik yang dialami oleh karakter-karakternya secara mendalam atau bahkan membuat karakter-karakternya tampil sebagai sosok yang layak untuk diikuti jalan hidupnya. Pengarahan Kent, yang melakukan debut pengarahan film layar lebarnya melalui film ini, berjalan terlalu aman dalam mengikuti berbagai formula drama romansa yang telah berulangkali dieksplorasi oleh film-film sejenis sehingga tidak mampu membuat Testament of Youth terasa lebih istimewa kehadirannya.
Pengarahan Kent juga bukanlah satu-satunya hal yang cukup mengecewakan dalam presentasi film ini. Sebagai sebuah jalan cerita yang diadaptasi dari sebuah buku legendaris yang terus diterbitkan dan menjadi salah satu buku bacaan wajib bagi para penduduk Inggris hingga saat ini, naskah cerita buatan Juliette Towhidi juga terasa memiliki lingkup pengisahan yang terlalu terbatas. Towhidi seringkali terlihat berusaha untuk menyajikan tema-tema yang lebih luas dari sekedar kisah romansa dalam jalan ceritanya seperti rasa persahabatan yang kental, efek perang terhadap mereka yang terlibat di dalamnya hingga feminisme. Namun, di saat yang bersamaan, Towhidi gagal untuk mengeksplorasi tema-tema “berat” tersebut secara lebih mendalam sehingga berlalu begitu saja tanpa kesan yang kuat. Karakter-karakter pendukung yang berada di sekitar karakter Vera Brittain juga gagal dihadirkan dengan lebih berwarna sehingga seringkali tidak mampu memberikan kontribusi yang lebih berarti pada kualitas penceritaan secara keseluruhan.
Beruntung, Testament of Youth dianugerahi jajaran pengisi departemen akting yang mampu hadir dengan kualitas penampilan yang maksimal. Well… mungkin Anda tidak akan mendapatkan kualitas chemistry yang begitu mengikat seperti halnya pada penampilan Keira Knightley dan James McAvoy pada Atonement namun baik Alicia Vikander dan Kit Harrington mampu hadir dengan penampilan yang prima. Satu hal yang cukup mengherankan adalah ketika menyaksikan chemistry antara Vikander dan Taron Egerton yang berperan sebagai kakak lelakinya terasa lebih erat dan meyakinkan daripada chemistry yang dihasilkan Vikander bersama Harrington. Pemeran pendukung lain seperti Dominic West, Emily Watson, Miranda Richardson, Colin Morgan hingga Hayley Atwell tampil mengesankan meskipun dengan porsi penceritaan yang terbatas. Kent juga mampu menyajikan Testament of Youth dengan kualitas produksi yang berkelas yang setidaknya akan membuat film ini tampil tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan film-film period lain yang berada dalam kelasnya. [C]
Testament of Youth (2015)
Directed by James Kent Produced by Rosie Alison, David Heyman Written by Juliette Towhidi (screenplay), Vera Brittain (book, Testament of Youth) Starring Alicia Vikander, Kit Harington, Colin Morgan, Taron Egerton, Dominic West, Emily Watson, Joanna Scanlan, Hayley Atwell, Jonathan Bailey, Alexandra Roach, Anna Chancellor, Miranda Richardson, Charlotte Hope Music by Max Richter Cinematography Rob Hardy Editing by Lucia Zucchetti Studio BBC Films/Heyday Films Running time 129 minutes Country United Kingdom Language English
Review: Seventh Son (2015)
Ada beberapa alasan mengapa Seventh Son telah mengalami beberapa kali penundaan rilis. Awalnya dijadwalkan rilis pada awal tahun 2013, Seventh Son kemudian sempat mengalami beberapa kali pergantian pemain utama – dengan Jennifer Lawrence, Alex Pettyfer dan Sam Claflin sempat dikabarkan memiliki peran dalam film ini. Tidak hanya dari departemen akting, komposer musik A. R. Rahman dan Tuomas Kantelinen juga kemudian memilih untuk tidak lagi terlibat dalam film arahan Sergei Bodrov ini setelah mengalami beberapa kali penundaan jadwal proses produksi. Yang teranyar, jadwal rilis Seventh Son kembali mengalami penundaan rilis hingga awal tahun 2015 akibat kepemilikan rumah produksinya, Legendary Pictures, yang berpindah dari Warner Bros. ke Universal Pictures.
Terlepas dari berbagai alasan teknikal tersebut, Seventh Son sebenarnya memiliki satu penyebab kuat mengapa film yang kembali mempertemukan Jeff Bridges dan Julianne Moore setelah The Big Lebowski (1998) tersebut lama tersimpan jauh setelah melewati masa proses produksinya: Seventh Son adalah sebuah hasil produksi yang sangat lemah. Suatu hal yang sangat mengejutkan memang mengingat film ini berhasil menarik minat beberapa talenta terbaik Hollywood untuk terlibat di dalamnya. Selain Bridges dan Moore, Seventh Son juga menghadirkan penampilan akting dari Ben Barnes, Alicia Vikander, Olivia Williams, Kit Harrington dan Djimon Hounsou. Nama-nama tersebut harus diakui menjadi aset utama dari Seventh Son dengan usaha terbaik mereka dalam memberikan penampilan akting yang memuaskan. Sayang, tak satupun dari karakter yang mereka perankan mampu dituliskan dengan baik untuk jalan cerita film ini.
Karakter antagonis utama yang diperankan oleh Moore sebenarnya memiliki peluang untuk tampil kuat dan mencuri perhatian penonton. Namun, dengan porsi penulisan karakter yang miskin, karakter Moore tampil hanya sebagai karakter yang melakukan berbagai hal familiar yang dilakukan karakter antagonis dalam film-film sejenis. Tidak lebih. Sama halnya dengan karakter yang diperankan Bridges. Kembali berperan sebagai seorang mentor bagi karakter yang diperankan Ben Barnes, Bridges terlihat malas-malasan dalam berusaha untuk menghidupkan karakternya. Hasilnya? Karakter Bridges terlihat seperti karakter serupa yang ia tampilkan dalam film R.I.P.D. (2013) – dengan kostum yang berbeda, tentu saja.
Hal yang sama juga terjadi pada pemeran lain: Olivia Williams dan Djimon Hounsou mendapatkan porsi penceritaan yang terlalu minimalis, peran Alicia Vikander terasa hanyalah sebagai karakter “kekasih” yang tidak terlalu berguna di banyak bagian film dan Kit Harrington kini mungkin merasa begitu beruntung mengingat dirinya tidak terlibat terlalu banyak dalam film ini. Sebagai pemeran sang karakter utama, Ben Barnes adalah satu-satunya aktor yang memiliki porsi penggalian cerita yang maksimal dan Barnes juga mampu memberikan penampilan yang tidak mengecewakan. Namun, tetap saja, di tengah berbagai kekacauan yang terjadi dalam film ini, penampilan Barnes terasa teredam dan gagal untuk tampil bersinar.
Dan penulisan karakter hanyalah kakurangan minor dalam kualitas naskah cerita Seventh Son yang memang terasa begitu medioker. Diadaptasi dari bagian awal seri buku cerita The Wardstone Chronicles yang berjudul The Last Apprentice: Revenge of the Witch karya Joseph Delaney oleh Charles Leavitt dan Steven Knight, naskah cerita Seventh Son sama sekali tidak memberikan sebuah petualangan baru bagi penontonnya. Terlebih lagi, kisahnya yang terasa begitu familiar bagi para penikmat genre fantasy Hollywood mendapatkan eksekusi yang begitu lemah dari sutradara Sergei Bodrov. Bodrov terasa tidak memiliki visi yang jelas mengenai apa yang ingin ia sampaikan pada film ini. Dan hal tersebut diikuti dengan kualitas tata produksi yang juga hadir seadanya – jika tidak ingin disebut benar-benar mengecewakan. 103 menit durasi film ini terasa berjalan tanpa adanya detak kehidupan sama sekali. Tidak ada aliran emosi yang mengikat penonton untuk terus merasa tertarik mengikuti kisahnya. Tidak ada ketegangan yang hadir ketika menyaksikan menit-menit petualangan dalam film ini berjalan. Datar. [D]
Seventh Son (2015)
Directed by Sergei Bodrov Produced by Basil Iwanyk, Thomas Tull,Lionel Wigram Written by Charles Leavitt, Steven Knight (screenplay), Matt Greenberg (story), Joseph Delaney (book, The Last Apprentice: Revenge of the Witch) Starring Jeff Bridges, Ben Barnes, Alicia Vikander, Kit Harington, Olivia Williams, Antje Traue, Djimon Hounsou, Julianne Moore Music by Marco Beltrami Cinematography Newton Thomas Sigel Edited by Paul Rubell Production company Legendary Pictures/Thunder Road Film Running time 103 minutes Country United States Language English
Review: Pompeii (2014)

Berbeda dengan James Cameron yang sepertinya akan selalu berhasil menarik pujian kritikus film dunia untuk setiap film yang ia arahkan, nama Paul W. S. Anderson lebih dikenal sebagai seorang sutradara yang selalu mengandalkan tampilan efek visual bombastis dalam setiap film-filmnya namun dengan bangunan naskah cerita yang begitu lemah. Well… mencoba mengikuti jejak Cameron melalui Titanic (1997), Anderson hadir dengan film terbarunya, Pompeii, yang turut menyajikan paduan drama romansa yang menghanyutkan dengan latar belakang tragedi berdasarkan sebuah kejadian nyata. Sejujurnya, dari kemampuannya bercerita, Anderson jelas berada jauh dibawah Cameron – dan Pompeii masih membuktikan hal tersebut. Meskipun begitu, Pompeii bukanlah sebuah karya yang benar-benar buruk. Terlepas dari jalan penceritaan yang standar dan jauh dari kesan emosional, Anderson mampu mengemas film ini dengan baik dan menjadikannya sebagai sebuah sajian yang cukup menghibur.
Review: Silent Hill: Revelation (2012)
Layaknya kebanyakan film yang diadaptasi dari permainan video lainnya, Silent Hill memenuhi takdirnya ketika dirilis pada tahun 2006: film tersebut mendapatkan begitu banyak cercaan dari para kritikus film dunia. Pun begitu, seperti kebanyakan film yang diadaptasi dari permainan video lainnya, Silent Hill mampu mengumpulkan total pendapatan sebesar US$90 juta dari bujet produksi sebesar US$50 juta selama masa edarnya. Seperti biasa, Hollywood lantas merencanakan sebuah sekuel untuk Silent Hill. Direncanakan semenjak akhir 2006, proses pembuatan sekuel tersebut mendapatkan begitu banyak hambatan sebelum akhirnya proses pengambilan gambar akhirnya benar-benar dapat dimulai pada Maret 2011 dengan Michael J. Bassett (Solomon Kane, 2009) menggantikan posisi Christophe Gans sebagai sutradara.