Lima tahun setelah Thanos (Josh Brolin) menjentikkan jarinya dan menghapus separuh peradaban manusia dari atas permukaan Bumi – seperti yang dikisahkan pada Avengers: Inifinity War (Anthony Russo, Joe Russo, 2018), para anggota Avengers yang tersisa, Tony Stark/Iron Man (Robert Downey, Jr.), Steve Rogers/Captain America (Chris Evans), Bruce Banner/Hulk (Mark Ruffalo), Thor (Chris Hemsworth), Natasha Romanoff/Black Widow (Scarlett Johansson), Clint Barton/Hawkeye (Jeremy Renner), dan James Rhodes/War Machine (Don Cheadle), masih berupaya melupakan kepedihan hati mereka atas kekalahan di medan peperangan sekaligus hilangnya orang-orang yang mereka cintai. Di saat yang bersamaan, para anggota Avengers yang tersisa tersebut juga masih terus mencari cara untuk menemukan keberadaan Thanos dan membuatnya memperbaiki segala kerusakan yang telah ia sebabkan ketika menggunakan Infinity Stones. Harapan muncul ketika Scott Lang/Ant-Man (Paul Rudd) yang ternyata selamat dari tragedi yang disebabkan jentikan jari Thanos dan kemudian mendatangi markas Avengers dengan sebuah ide yang dapat menghadapkan kembali para Avengers dengan musuh besar mereka. Continue reading Review: Avengers: Endgame (2019)
Tag Archives: James D’Arcy
Review: Jupiter Ascending (2015)
Ambisius mungkin adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan setiap film yang dihasilkan oleh duo sutradara Lana dan Andy Wachowski. Bagaimana tidak. Dalam setiap film yang mereka hasilkan, The Wachowskis terlihat berusaha kuat untuk menembus berbagai batasan mengenai hal-hal apa yang dapat mereka lakukan dalam menghasilkan cerita yang dipenuhi kritikan sosial maupun filosofi hidup melalui tampilan efek khusus akan visual yang begitu megah. Tidak terkecuali dalam film terbaru mereka, Jupiter Ascending. Terlihat seperti paduan antara Star Wars (1977 – 2005) dan The Matrix (1999 – 2003), Jupiter Ascending sayangnya gagal untuk didukung dengan naskah cerita yang kuat. Lebih buruk, naskah cerita Jupiter Ascending bahkan terasa seperti hasil olahan kerja yang begitu terburu-buru dan terkesan amatir sehingga meninggalkan banyak kejanggalan serta kelemahan di berbagai bagian ceritanya. Berantakan.
Jupiter Ascending sebenarnya dimulai dengan cukup meyakinkan. Layaknya Cloud Atlas (2012), film yang naskah ceritanya juga dikerjakan oleh The Wachowskis ini juga memiliki paduan kisah yang berlatar belakang di Bumi dan angkasa luar. The Wachowskis mampu memulai kisahnya dengan memperkenalkan masing-masing karakter yang berasal dari Bumi maupun angkasa luar dengan cukup baik. Masalah dimulai ketika kedua dunia tersebut bertabrakan dan masing-masing karakter mulai membentuk jalinan hubungan dan konflik bersama. The Wachowskis seringkali terasa meninggalkan begitu banyak detil pada jalan cerita yang mereka ajukan. Detil-detil yang sebenarnya dapat dianggap kecil namun secara perlahan mulai menggunung dan mengakibatkan banyak bagian penceritaan Jupiter Ascending akhirnya gagal untuk memberikan sajian cerita yang lebih kuat.
Jupiter Ascending juga dihadirkan dengan deretan karakter yang begitu melimpah – yang kemudian juga menjadi salah satu sumber permasalahan dalam jalan cerita film ini. Adalah sangat mengecewakan untuk melihat duo sutradara sekaliber The Wachowskis menyajikan begitu banyak karakter dalam jalan cerita yang mereka hasilkan namun sama sekali tidak pernah mampu untuk mengendalikan fungsi maupun porsi penceritaan karakter-karakter tersebut. Dalam Jupiter Ascending, banyak karakter yang datang dan hilang begitu saja tanpa adanya penceritaan yang proporsional. Hal inilah yang menyebabkan setiap bagian cerita dari masing-masing karakter tidak pernah terasa benar-benar mampu tampil elegan dalam menarik perhatian penonton. Semua kisah berlalu dengan begitu saja. Tanpa kesan apapun.
Sebagai sebuah film yang dihasilkan oleh The Wachowskis, tentu saja, Jupiter Ascending telah diperkuat dengan tampilan efek visual yang benar-benar megah. Mengingat lemahnya jalan penceritaan film ini, The Wachowskis jelas terasa menghabiskan lebih banyak waktu mereka dalam menggarap berbagai detil visual film daripada berusaha menggali lebih dalam berbagai potensial yang terdapat dalam jalan cerita mereka. Tata musik arahan Michael Giacchino juga berhasil menemani berbagai tampilan visual The Wachowskis untuk menjadikannya terasa lebih megah.
Dari departemen akting, beruntung, The Wachowskis mendapatkan barisan pemeran yang cukup handal dalam memerankan karakter mereka – meskipun karakter yang mereka perankan harus tersaji dalam tata kostum yang cukup menggelikan. Nama-nama seperti Mila Kunis, Eddie Redmayne, Douglas Booth hingga Sean Bean dan James D’Arcy tampil meyakinkan dalam porsi penceritaan yang jelas tidak memuaskan. Channing Tatum juga semakin menunjukkan tajinya sebagai aktor. Penampilannya sebagai aktor utama dalam Jupiter Ascending mampu ia eksekusi dengan baik dan seringkali menjadi penampilan yang memberikan kehidupan bagi film yang terasa hadir tanpa sentuhan emosional ini. [C-]
Jupiter Ascending (2015)
Directed by The Wachowskis Produced by Grant Hill, The Wachowskis Written by The Wachowskis Starring Mila Kunis, Channing Tatum, Sean Bean, Eddie Redmayne, Douglas Booth, Tuppence Middleton, Gugu Mbatha-Raw, Terry Gilliam, David Ajala, James D’Arcy, Kick Gurry, Bae Doona, Charlotte Beaumont, Tim Pigott-Smith, Edward Hogg, Nikki Amuka-Bird, Vanessa Kirby, Maria Doyle Kennedy, Christina Cole Music by Michael Giacchino Cinematography John Toll Edited by Alexander Berner Production company Village Roadshow Pictures/Anarchos Productions Running time 127 minutes Country United States Language English
Review: Cloud Atlas (2012)
Diangkat dari novel berjudul sama karya David Mitchell, Cloud Atlas mengisahkan enam cerita yang berjalan pada enam era yang berbeda – tepatnya terjadi sepanjang hampir 500 tahun masa kehidupan karakter-karakternya, dimulai dari tahun 1849 hingga tahun 2321. Terdengar seperti premis film-film yang menawarkan banyak cerita kebanyakan? Mungkin saja. Namun oleh tiga sutradaranya, duo Lana dan Andy Wachowski (trilogi The Matrix, 1999 – 2003) serta Tom Tykwer (The International, 2009), premis tersebut mampu dikembangkan menjadi salah satu presentasi film paling ambisius selama beberapa tahun terakhir: digerakkan dengan gaya penceritaan interwoven, diperankan oleh deretan pengisi departemen akting yang sama serta dihadirkan dengan kualitas tata produksi yang begitu memukau. Dan yang lebih mengagumkan lagi, terlepas dari berbagai tampilan audio visualnya yang megah, Cloud Atlas tetap mampu menghadirkan sentuhan emosional yang kuat dari setiap sisi ceritanya.
Review: Hitchcock (2012)
Walaupun menggunakan nama Hitchcock sebagai judul film, Hitchcock sayangnya bukanlah sebuah sarana yang tepat untuk mereka yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kehidupan pribadi sutradara yang dijuluki sebagai The Master of Suspense tersebut. Diangkat dari buku berjudul Alfred Hitchcock and the Making of Psycho (1990) karya Stephen Robello, Hitchcock adalah sebuah film drama komedi yang menggali mengenai kehidupan sutradara Alfred Hitchcock selama proses pembuatan film tersukses di sepanjang karirnya, Psycho (1960). Pun begitu, lewat penyutradaraan Sacha Gervasi (Anvil!: The Story of Anvil, 2008) yang apik, Hitchcock akan menjadi sebuah undangan yang sangat menarik untuk melihat langsung bagaimana proses pembuatan Psycho dan bagaimana film tersebut mempengaruhi kehidupan pernikahan Hitchcock dan istrinya, Alma Reville.
Review: Age of Heroes (2011)
Didasarkan pada kisah nyata dari kehidupan penulis novel fiksi James Bond, Ian Fleming, selama menjadi tentara Inggris di masa Perang Dunia II, Age of Heroes adalah seri pertama dari trilogi yang mengisahkan mengenai pembentukan dan pergerakan sebuah unit tentara Inggris yang disebut 30 Commando. Dengan penggarapan sekelas deretan film dalam franchise James Bond, Age of Heroes dapat saja menjadi sebuah awal yang menjanjikan dari sebuah trilogi yang memiliki premis cukup menarik. Sayangnya, Age of Heroes yang diproduksi secara independen membuat film ini memiliki keterbatasan yang cukup mendalam dalam menggarap special effect yang dibutuhkan pada beberapa adegan untuk dapat terlihat lebih megah. Ditambah dengan naskah cerita yang terasa terlalu familiar dengan film-film dari genre yang sama, Age of Heroes terlihat bagaikan awal yang buruk untuk hadirnya sebuah franchise.