Tag Archives: Gandhi Fernando

Review: Petak Umpet Minako (2017)

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Billy Christian berdasarkan novel berjudul sama karya @manhalfgod – No, seriously. – Petak Umpet Minako berkisah mengenai pertemuan kembali seorang gadis bernama Vindha (Regina Rengganis) dengan teman-temannya di masa sekolah pada hari reuni mereka. Vindha sendiri bukanlah sosok yang populer diantara teman-temannya. Semasa sekolah dahulu, ia bahkan seringkali menjadi korban perundungan yang dilakukan oleh beberapa pelajar lain. Berbekal penampilannya yang telah berubah semenjak berkuliah di Jepang, Vindha kini mampu melepas imejnya terdahulu sebagai seorang gadis penyendiri yang lugu. Gadis itu bahkan berhasil meyakinkan teman-temannya untuk turut bermain dalam sebuah permainan petak umpet a la Jepang yang dikenal dengan sebutan Hitori Kakurenbo ketika mereka mengunjungi gedung sekolah mereka. Sial, permainan yang melibatkan ritual pemanggilan arwah tersebut kemudian berakhir sebagai bencana ketika mereka yang terlibat dalam permainan tersebut satu demi satu ditemukan tak bernyawa lagi. Continue reading Review: Petak Umpet Minako (2017)

Review: Mantan (2017)

Mantan, sebuah drama romansa yang menjadi debut pengarahan bagi Svetlana Dea, memiliki premis yang sebenarnya sangat sederhana namun cukup menarik perhatian. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Gandhi Fernando, yang juga bertanggungjawab sebagai produser serta berperan sebagai karakter utama dalam film ini, Mantan berkisah mengenai Adi (Fernando), seorang penulis yang kini sedang dilanda rasa keraguan menjelang pernikahannya dengan sang tunangan. Meskipun sangat mencintai sang tunangan, Adi masih merasa bahwa ia butuh untuk bertemu dengan beberapa mantan kekasihnya untuk memastikan ia akan menikahi orang yang tepat dan tidak meninggalkan sosok yang harusnya menjadi pendamping hidupnya. Guna menjawab keraguannya tersebut, Adi lantas melakukan perjalanan ke lima kota di Indonesia untuk mengunjungi lima orang mantan kekasihnya: Daniella (Ayudia Bing Slamet) di Bandung, Frida (Karina Nadila) di Yogyakarta, Juliana (Kymberly Ryder) di Bali, Tara (Luna Maya) di Medan dan kemudian kembali ke Jakarta untuk menemui Deedee (Citra Scholastika). Continue reading Review: Mantan (2017)

Review: Pizza Man (2015)

pizza-man-posterDalam Pizza Man, tiga orang gadis yang saling bersahabat baru saja melalui salah satu hari terburuk dalam kehidupan mereka: Olivia (Joanna Alexandra) dipecat dari pekerjaannya karena ia tidak mau melayani godaan pimpinan tempat ia bekerja, Nina (Karina Nadila) menerima kabar buruk bahwa kekasihnya lebih memilih untuk kembali ke istrinya daripada berusaha mempertahankan hubungan mereka sementara Merry (Yuki Kato) dijodohkan oleh ibunya dengan seorang pemuda yang sama sekali tidak ia sukai. Untuk melupakan segala permasalahan mereka, ketiganya lantas memilih untuk bersenang-senang dengan mengkonsumsi alkohol dan narkotika. Dalam keadaan setengah sadar akibat bahan makanan yang mereka konsumis, ketiga gadis tersebut kemudian menyusun rencana untuk membalaskan rasa frustasi mereka terhadap kaum pria yang sering dianggap mengecewakan mereka: mereka akan menculik seorang pria secara acak dan lantas memperkosanya. Ide brilian… hingga akhirnya mereka tersadar keesokan harinya dan menemukan sesosok pria dalam keadaan tidak bernyawa lagi di rumah yang mereka tempati.

Harus diakui, naskah cerita Pizza Man yang digarap oleh Gandhi Fernando dan R. Danny Jaka Sembada menawarkan sebuah jalinan kisah komedi yang cukup berani dan berbeda jika ingin dibandingkan dengan kebanyakan film-film komedi Indonesia lainnya. Kedua penulis naskah tersebut sepertinya mencoba untuk mengaplikasikan kegilaan plot cerita yang dahulu pernah disajikan The Hangover (Todd Phillips, 2009) dengan karakter-karakter wanita yang mampu berbuat maupun berkata-kata kotor seperti yang pernah dikreasikan Paul Feig pada karakter-karakternya dalam film Bridesmaids (2011) – dengan, tentu saja, sentuhan kearifan lokal di berbagai bagian penceritaannya. Namun, di saat yang bersamaan, naskah cerita Pizza Man garapan Gandhi Fernando dan R. Danny Jaka Sembada juga memberikan sebuah pertanyaan baru bagi banyak penontonnya: sejauh apakah sebuah guyonan masih dapat disebut sebagai guyonan maupun komedi yang layak?

Guyonan tentang perbuatan perkosaan jelas bukanlah sebuah hal yang layak untuk dipandang sebelah mata. Pernah mendengar anekdot bahwa, berbeda dengan wanita, kaum pria justru akan menikmati jika dirinya diperkosa oleh seorang wanita? Well… penulis naskah cerita Pizza Man sepertinya menggunakan anekdot tersebut dalam jalan cerita filmnya dan menganggap bahwa well… ide mengenai sebuah tindakan seksual yang dipaksakan pada seseorang adalah suatu hal yang lumrah terjadi – jika korbannya adalah seorang pria. Guess what? It’s not! Tindakan perkosaan, baik jika terjadi pada seorang wanita ataupun seorang pria, tetap adalah sebuah tindakan perkosaan. Yang lebih ironis lagi, kedua penulis naskah film ini dengan “cerdasnya” justru memberikan latar belakang pada salah satu karakter wanitanya sebagai karakter yang menderita trauma dan tekanan mental akibat pernah menjadi korban pelecehan seksual. DAN SANG WANITA TERSEBUT KEMUDIAN JUSTRU TURUT SERTA DALAM PERCOBAAN PERKOSAAN PADA SEORANG PRIA ASING YANG TIDAK DIKENALNYA. Come on! Jalan cerita sebuah film komedi (mungkin harusnya) tidak perlu dianggap serius. Namun guyonan dalam sebuah komedi jelas masih memiliki batas. Pernah mendengar guyonan tentang perkosaan dalam The Hangover atau Bridesmaids? Nope. Sekasar atau sevulgar apapun guyonan yang disajikan dalam kedua film tersebut, ataupun banyak komedi berating dewasa buatan Hollywood lainnya, perkosaan jelas adalah satu hal yang tidak akan pernah dianggap sebagai sebuah guyonan yang layak untuk disajikan.

Jika ingin melupakan kesalahan fatal tentang guyonan tidak berkelas yang tersaji dalam beberapa bagian film ini, Pizza Man sebenarnya merupakan sebuah film yang tergarap dengan cukup baik. Naskah cerita film ini memang masih memiliki kelemahan di beberapa eksekusi plot penceritaannya namun sutradara Ceppy Gober mampu mengarahkan cerita filmnya dengan ritme yang berjalan cepat – cukup sesuai dengan nada penceritaan yang dibutuhkan oleh film-film komedi sejenis. Ceppy Gober juga berhasil mengarahkan ketiga pemeran utama filmnya untuk menghasilkan chemistry yang cukup erat dan meyakinkan antara ketiga karakter yang mereka perankan. Harus diakui, pada beberapa bagian – khususnya pada pengisahan drama, ketiga pemeran utama film memang masih hadir dengan penampilan yang goyah. Namun secara keseluruhan, ketiganya mampu tampil baik dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan.

Pizza Man juga menghadirkan sederetan aktor, aktris maupun selebritis untuk tampil dalam porsi penceritaan yang terbatas dalam jalan ceritanya. Beberapa penampilan tersebut hadir dalam kesan yang cukup dipaksakan – we’re looking at you, Bran Vargas and Derby Romero – namun kebanyakan diantaranya justru mampu tampil mencuri perhatian dan menjadi bagian yang cukup menghibur dari film ini. Lihat saja penampilan Babe Cabiita atau duo Chika Waode dan Kemal Palevi yang sangat prima dan bahkan layak untuk diberikan porsi penceritaan yang seharusnya lebih besar lagi. Tidak ada permasalahan yang cukup berarti dalam sisi teknikal film ini – seluruhnya mampu dieksekusi dengan cukup baik. Seandainya Pizza Man dapat dihadirkan dengan naskah cerita yang lebih cerdas lagi dalam mengolah guyonannya mungkin film ini akan mampu tampil sebagai sebuah film komedi yang istimewa. [C-]

Pizza Man (2015)

Directed by Ceppy Gober Produced by Laura Karina, Gandhi Fernando Written by Gandhi Fernando, R. Danny Jaka Sembada Starring Joanna Alexandra, Yuki Kato, Karina Nadila, Gandhi Fernando, Chika Waode, Kemal Palevi, Babe Cabiita, Dhea Ananda, Rangga Djoned, Bran Vargas, Hengky Solaiman, Zerny Rusmalia, Dennis Adhiswara, Meisya Siregar, Novita Angie, Dicky Adam, Reza Headline, Wandahara, Fitri Ayu Maresa, Bubah Alfian, Allan Wangsa, Johan Morgan Purba, Mike Ethan, Erick Estrada, Derby Romero Music by Andhika Triyadi Cinematography Laura Karina Editing by Heytuta Masjhur Studio Renee Pictures/Flicker Production Running time 83 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Tuyul – Part 1 (2015)

tuyul-part-1-posterMungkin karena perwujudannya yang berupa manusia bertubuh kerdil dengan kepala plontos dan bersifat kekanak-kanakan, film-film horor Indonesia yang menampilkan karakter tuyul seringkali dibumbui dengan nuansa komedi, seperti yang disajikan Tuyul (T. Bonawi, 1978). Dua film Indonesia tentang tuyul lainnya, Tuyul Eee Ketemu Lagi (Suhardja Widirga, 1979) dan Tuyul Perempuan (Bay Isbahi, 1979), serta sebuah serial televisi berjudul Tuyul dan Mbak Yul (1997 – 2002) bahkan lebih menggali unsur komedi dari karakter mitos Indonesia tersebut daripada sisi horornya. Jangan khawatir! Keadilan horor telah ditegakkan dengan hadirnya Tuyul – Part 1 arahan Billy Christian (Kampung Zombie, 2015) yang kembali menyajikan karakter mistis yang juga digambarkan suka mencuri tersebut sebagai sosok karakter horor – lengkap dengan visualisasi akan sosok tuyul yang errr… lebih modern, kelam dan mencekam.

Dikonsepkan sebagai sebuah trilogi, bagian pertama dari kisah Tuyul dimulai ketika pasangan Daniel (Gandhi Fernando) dan istrinya yang sedang hamil, Mia (Dinda Kanya Dewi), pindah ke rumah lama yang pernah ditempati Mia dan ibunya semasa kecil. Mia sendiri tidak begitu senang akan pilihan tersebut karena berbagai kenangan buruk yang ia miliki selama berada di rumah itu. Tuntutan pekerjaan Daniel yang kemudian memaksanya untuk menerima fakta bahwa ia harus kembali menjalani kehidupannya disana. Awal kepindahan Daniel dan Mia sendiri berjalan lancar. Namun, seiring dengan kesibukan Daniel yang semakin padat, kehidupan pernikahan mereka mulai menghadapi banyak rintangan. Parahnya, Mia kini harus menghadapi teror mistis yang sepertinya tidak hanya berniat untuk mengganggu dirinya namun juga mengganggu bayi yang sedang dikandungnya.

Harus diakui, seperti halnya Kampung Zombie yang juga digarap Billy Christian dan dirilis pada pertengahan bulan lalu, Tuyul – Part 1 merupakan salah satu dari segelintir film horor Indonesia yang mampu tergarap dengan cukup baik. Terlepas dari adanya gangguan dari tata musik arahan Andhika Triyadi yang hadir dengan kualitas standar film horor Indonesia – tampil dengan volume dan frekuensi tinggi guna memberikan efek kejutan bagi para penonton film – pada paruh awal penceritaan, departemen produksi Tuyul – Part 1 tersaji dengan kualitas yang cukup memuaskan. Mulai dari desain ulang penampilan karakter tuyul, desain produksi latar belakang lokasi hingga tata sinematografi benar-benar dihadirkan guna mendukung atmosfer penceritaan film yang berkesan gloomy. Jelas berada di kelas yang masih sulit untuk dijangkau banyak film horor Indonesia lainnya.

Sayangnya, Tuyul – Part 1 masih menghadapi masalah yang sama dengan kebanyakan film-film horor Indonesia lainnya: naskah cerita yang cenderung lemah. Naskah cerita garapan Luvie Melati, Billy Christian dan Gandhi Fernando seperti mencoba untuk mencakup (terlalu) banyak hal dalam pengisahannya, mulai dari kisah personal dari hubungan dua karakter utamanya, kisah masa lalu kelam dari karakter Mia dan ibunya, permasalahan yang dihadapi karakter Daniel di bidang pekerjaannya hingga kisah tentang tetangga baru karakter Daniel dan Mia yang mencurigakan kehadirannya. Memang, masing-masing plot tersebut saling terhubung dan memicu kehadiran satu sama lain. Namun, penggarapan yang kurang mendalam membuat kehadiran beberapa plot tersebut menjadi datar dan jauh dari kesan menarik untuk diikuti kisahnya. Tuyul – Part 1 mungkin akan bekerja jauh lebih baik jika film ini hadir dengan pendekatan lebih personal – menggali kembali masa lalu karakter Mia dan keluarganya – dan membuang jauh karakter-karakter pendukung yang kurang berarti fungsinya dalam jalan cerita. Lebih banyak kisah tentang para tuyul, mungkin?

Arahan Billy Christian terhadap jalan cerita Tuyul – Part 1 sendiri juga bukannya hadir tanpa masalah. Semenjak awal penceritaan, Billy terasa seperti kesulitan untuk menetapkan ritme penceritaan yang tepat bagi film ini – apakah harus berjalan lamban dan membiarkan penonton menyerap sendiri atmosfer kelam dari jalan cerita film atau hadir dengan irama cepat guna memberikan beberapa kejutan khas film horor Indonesia di beberapa bagian penceritaan. Inkonsistensi ini baru terasa menemui akhir di paruh ketiga penceritaan ketika Billy sepertinya benar-benar membiarkan Tuyul – Part 1 bercerita lepas dengan ritme yang cukup cepat. Bukan sebuah gangguan yang benar-benar besar namun jelas memberikan kontribusi tersendiri bagi beberapa momen hambar yang hadir dalam penceritaan film.

Tidak banyak hal yang menonjol dari departemen akting film ini, kecuali penampilan Dinda Kanya Dewi sebagai Mia yang benar-benar mencuri penuh perhatian penonton pada setiap kehadirannya dalam jalan cerita. Dinda secara meyakinkan benar-benar mampu menghidupkan sosok karakter Mia yang depresif dengan segala tantangan yang ia hadapi. Sayangnya, penampilan Dinda gagal untuk diimbangi dengan baik oleh jajaran pengisi departemen akting lainnya. Gandhi Fernando seringkali terlihat kaku pada banyak penampilannya. Chemistry yang ia jalin dengan Dinda Kanya Dewi juga terlihat datar. Penampilan Ingrid Widjanarko juga seperti dibuat-buat sebagai sosok pelayan misterius. Terkesan tertahan dan jauh dari meyakinkan. Entah bagaimana konsep penceritaan trilogi yang ada di benak para produser film ini. Namun, berdasarkan kualitas yang ditunjukkan oleh bagian pertama film, Tuyul jelas masih menyisakan ruang kualitas yang cukup besar untuk ditingkatkan lagi pada seri berikutnya. [C]

Tuyul – Part 1 (2015)

Directed by Billy Christian Produced by Gandhi Fernando, Laura Karina Written by Luvie Melati, Billy Christian, Gandhi Fernando Starring Dinda Kanya Dewi, Gandhi Fernando, Citra Prima, Karina Nadila, Ingrid Widjanarko, Allan Wangsa, Dicky Topan, Dini Vitri, Neni Anggraeni, Bubah Alfian, Dimas Harry, Frans Nicholas Music by Andhika Triyadi Cinematography Gunung Nusa Pelita Editing by Heytuta Masjhur Studio Renee Pictures Running time 97 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: The Right One (2014)

The Right One (Renee Pictures, 2014)
The Right One (Renee Pictures, 2014)

Dengan konsep pengisahan yang akan segera mengingatkan banyak orang pada Before Sunrise (1995) dan Before Sunset (2004), The Right One memulai kisahnya dengan pertemuan secara tidak sengaja antara Jack (Gandhi Fernando) dan Alice (Tara Basro) di sebuah bar pada suatu pagi di kota Bali. Meskipun awalnya terlihat saling tidak menyukai satu sama lain dalam perkenalan mereka, namun Jack dan Alice segera menemukan persamaan dalam diri mereka: keduanya sama-sama merasa kalau kehidupan yang mereka jalani sekarang begitu monoton dan membosankan. Setelah saling bertukar cerita, Jack yang seorang pegawai bank kemudian mengetahui kalau Alice – yang seorang ahli biolologi laut namun lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor daripada di lapangan – baru saja dirumahkan dari pekerjaannya. Untuk menghibur Alice, Jack akhirnya memutuskan untuk mengajak Alice berkeliling kota Bali dengan skuter merahnya.

Continue reading Review: The Right One (2014)