Apa yang akan Anda lakukan jika Anda sedang berada dalam sebuah perjalanan wisata mewah dimana Anda dikelilingi oleh pemandangan alam yang begitu mengesankan, kumpulan orang-orang dengan penampilan fisik yang tidak kalah atraktif, dan kemudian salah satu detektif paling ternama di dunia, Hercule Poirot, turut serta dalam perjalanan tersebut? Well… sebaiknya Anda berhati-hati karena malaikat maut berada dekat dan mungkin sedang mengincar nyawa Anda. Atau, lebih buruk lagi, rencana pembunuhan yang telah lama Anda susun akan segera diketahui dan diungkap ke khalayak ramai. Continue reading Review: Death on the Nile (2022)
Tag Archives: Gal Gadot
Review: Red Notice (2021)
Dengan biaya produksi yang dilaporkan mencapai US$200 juta, film terbaru arahan sutradara Rawson Marshall Thurber yang kembali mempertemukannya dengan aktor Dwayne Johnson setelah Central Intelligence (2016) dan Skyscraper (2018), Red Notice, menjadi film blockbuster pertama sekaligus termahal yang dirilis oleh Netflix. Tidak begitu mengherankan. Selain Johnson, Red Notice juga menghadirkan penampilan akting dari Ryan Reynolds dan Gal Gadot – dua pemeran yang namanya jelas sedang berada di puncak popularitas saat ini. Tidak lupa, layaknya sebuah blockbuster yang mengedepankan adegan aksi, Red Notice juga dieksekusi sebagai sajian dengan tatanan audio dan visual berskala besar yang tentunya digunakan untuk semakin meningkatkan daya pikatnya kepada penonton. Namun, tentu saja, tanpa naskah cerita yang benar-benar mumpuni, paduan kehadiran barisan pemeran popular dengan tampilan presentasi yang berkelas tidak begitu saja dapat menyokong kualitas penceritaan sebuah film. Hal tersebut, sayangnya, terjadi pada film ini. Continue reading Review: Red Notice (2021)
Review: Zack Snyder’s Justice League (2021)
Para penikmat film dunia, khususnya mereka yang menggemari film-film bertemakan pahlawan super yang berada dalam semesta pengisahan DC Extended Universe, jelas telah familiar dengan sejumlah drama yang terjadi di balik layar proses produksi hingga perilisan Justice League (Zack Snyder, 2017). Dihinggapi berbagai permasalahan selama proses produksinya, mulai dari naskah cerita yang terus mengalami penulisan ulang hingga isu bahwa Warner Bros. Pictures tidak menyukai produk final yang dihasilkan, Snyder kemudian memilih untuk melepaskan tugasnya sebagai sutradara ketika Justice League sedang berada dalam tahap pascaproduksi setelah dirinya harus berhadapan dengan sebuah tragedi yang menimpa keluarganya. Warner Bros. Pictures lantas menunjuk Joss Whedon (The Avengers, 2012) untuk mengisi posisi serta melanjutkan proses pembuatan film yang ditinggalkan Snyder. Continue reading Review: Zack Snyder’s Justice League (2021)
Review: Wonder Woman 1984 (2020)
Jika Wonder Woman (Patty Jenkins, 2017) bercerita tentang asal-usul serta latar belakang kehidupan dari karakter Diana Prince/Wonder Woman (Gal Gadot) maka Wonder Woman 1984 membawa pengisahan sang karakter utama ke satu periode dalam kehidupannya pada tahun 1984. Dikisahkan, Diana Prince bekerja sebagai seorang antropolog di kota Washington, D.C. sembari, tentu saja, meneruskan tugasnya untuk memerangi tindak kejahatan dengan menggunakan identitasnya sebagai Wonder Woman. Satu hari, ketika ia sedang mengobrol dengan rekan kerjanya yang merupakan seorang arkeolog, Barbara Minerva (Kristen Wiig), keduanya membahas tentang penemuan sebuah batu kuno misterius yang dikenal dengan nama Dreamstone karena disebut-sebut dapat mewujudkan tiap keinginan dari orang yang memegangnya. Tanpa disengaja, Diana Prince dan Barbara Minerva lantas mengungkapkan harapannya – yang nantinya akan terwujud dan memberikan konflik tersendiri bagi keduanya. Kehadiran Dreamstone ternyata juga memikat perhatian seorang pengusaha bernama Maxwell Lord (Pedro Pascal) yang berusaha untuk mendapatkan batu tersebut untuk mewujudkan berbagai ambisinya. Continue reading Review: Wonder Woman 1984 (2020)
Review: Ralph Breaks the Internet (2018)
Merupakan kali pertama Walt Disney Animation Studios memproduksi sebuah sekuel bagi film animasinya setelah sebelumnya merilis Fantasia 2000 (Don Hahn, Pixote Hunt, Hendel Butoy, Eric Goldberg, James Algar, Francis Glebas, Paul Brizzi, Gaëtan Brizzi, 1999) yang merupakan sekuel dari Fantasia (Samuel Armstrong, James Algar, Bill Roberts, Paul Satterfield, Ben Sharpsteen, David D. Hand, Hamilton Luske, Jim Handley, Ford Beebe, T. Hee, Norman Ferguson, Wilfred Jackson, 1940), Ralph Breaks the Internet kembali menempatkan sutradara Wreck-It Ralph (2012), Richard Moore untuk duduk di kursi penyutradaraan dengan bantuan dari Phil Johnston yang juga bertugas sebagai penulis naskah film ini bersama dengan Pamela Ribon (Smurfs: The Lost Village, 2017). Layaknya sebuah sekuel, Ralph Breaks the Internet memberikan sebuah semesta pengisahan yang lebih luas bagi karakter-karakternya namun tetap mempertahankan elemen cerita tentang persahabatan yang telah menjadi fokus utama semenjak film pendahulunya. Tidak mengherankan bila Ralph Breaks the Internet mampu hadir dengan tata pengisahan dan karakterisasi yang lebih berwarna sekaligus dengan ikatan emosional kepada penonton yang lebih kuat. Continue reading Review: Ralph Breaks the Internet (2018)
Review: Wonder Woman (2017)
Cukup mengherankan untuk melihat baik DC Films maupun Marvel Studios (atau rumah produksi Hollywood lainnya) membutuhkan waktu yang cukup lama untuk akhirnya menggarap sebuah film pahlawan super dengan sosok karakter wanita berada di barisan terdepan. Terlebih, film-film bertema pahlawan super tersebut saat ini sedang begitu digemari oleh banyak penikmat film sehingga mampu mendatangkan jutaan penonton – khususnya para penonton wanita. Marvel Studios sebenarnya memiliki kesempatan tersebut ketika mereka memperkenalkan karakter Black Widow yang diperankan Scarlett Johansson pada Iron Man 2 (Jon Favreau, 2010) dan The Avengers (Joss Whedon, 2012) yang akhirnya kemudian begitu mencuri perhatian. Entah karena masih kurang percaya diri atau merasa karakter Black Widow belum terlalu menjual, ide pembuatan film solo untuk Black Widow akhirnya terkubur dalam hingga saat ini. Johansson sendiri kemudian mampu membuktikan nilai jualnya ketika ia membintangi Lucy (Luc Besson, 2014), Under the Skin (Jonathan Glazer, 2014), dan Ghost in the Shell (Rupert Sanders, 2017) yang menempatkannya sebagai semacam sosok pahlawan super wanita sekaligus berhasil meraih kesuksesan secara komersial ketika masa perilisannya. Continue reading Review: Wonder Woman (2017)
Review: Fast & Furious 6 (2013)
Terakhir kali penonton menyaksikan petualangan duo karakter Dominic Toretto dan Brian O’Conner dalam Fast Five (2011), keduanya, bersama dengan segerombolan rekan-rekannya, sedang berada di Rio de Janeiro, Brazil dan sedang berada di bawah pengejaran seorang agen rahasia bernama Luke Hobbs (Dwayne Johnson), akibat kejahatan pencurian mobil-mobil mewah yang mereka lakukan. Terdengar seperti… errr… Ocean’s Eleven (2001)? Well… jika Fast Five adalah Ocean’s Eleven dari franchise The Fast and the Furious, maka Fast and Furious 6, atau yang juga dikenal dengan judul Furious 6, adalah Ocean’s Twelve (2004) dengan menggunakan lini penceritaan yang sama dimana karakter Hobbs kini berbalik kepada pasangan Dominic Toretto dan Brian O’Conner untuk membantunya dalam menyelesaikan sebuah kejahatan. Yep. Hollywood is definitely in the danger of running out their original ideas.
Review: Fast Five (2011)
Mungkin tidak akan ada seorangpun yang akan menyangka bahwa franchise The Fast and the Furious yang pertama kali dimulai pada tahun 2001, akan mampu menarik cukup banyak penggemaar setia dan bertahan hingga masa satu dekade. Padahal, semenjak dirilis pertama kali, setiap seri dari franchise ini terus menerus mendapatkan kritikan tajam dari kritikus film dunia – kebanyakan mengungkapkan rasa keberatan mereka atas plot cerita yang kurang masuk akal serta akting para jajaran pemerannya yang terlalu ‘terbatas.’ Pun begitu, setiap seri The Fast and the Furious menjadi bukti nyata bahwa kadang para penonton melihat film yang mereka saksikan dengan sudut pandang yang berbeda dari para kritikus film. Setiap seri menghasilkan cukup banyak keuntungan komersial bagi para produsernya yang, tentu saja, tidak berkeberatan untuk melanjutkan perolehan keuntungan mereka hingga saat ini.
Review: Date Night (2010)
Dengan tiga anak diantara mereka, Phil (Steve Carrell) dan Claire Foster (Tina Fey) memiliki tipe pernikahan yang dipastikan akan menjadi mimpi buruk bagi seorang Carrie Bradshaw: berjalan lambat dan sangat membosankan. Phil dan Claire sendiri telah menyadari hal ini, yang membuat mereka selalu berusaha untuk meluangkan satu malam di setiap minggunya untuk keluar bersama berdua dan melupakan segala rutinitas harian mereka. Namun, tradisi keluar bersama berdua ini sendiri lama-kelamaan mulai menjadi sebuah rutinitas yang membosankan pula bagi pasangan ini. Phil dan Claire membutuhkan sesuatu yang baru dan menyegarkan dalam kehidupan mereka!