Jika saja kualitas sebuah film hanya dinilai dari penampilan fisik para jajaran pengisi departemen aktingnya, maka Honeymoon mungkin akan menjadi salah satu film terbaik yang pernah diproduksi… sepanjang masa. Layaknya film produksi Starvision Plus lainnya, Operation Wedding, yang dirilis beberapa bulan lalu, Honeymoon jelas terlihat merupakan sebuah film yang berusaha untuk menarik perhatian para penonton muda dengan mengedepankan jajaran pemeran berwajah atraktif yang memang cukup dikenal bagi demografi sasaran film ini. Well… here comes the bad news: atraktifnya wajah para pemeran sebuah film sama sekali tidak akan membantu meringankan beban penderitaan (beberapa) penonton dalam mengikuti eksekusi dari sebuah naskah cerita yang benar-benar dangkal… khususnya bila, seperti yang terjadi pada kasus film arahan Findo Purnomo HW (Fallin’ in Love, 2012) ini, jajaran pemeran berwajah atraktif tersebut juga sama sekali tidak mau berusaha untuk berakting dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan.
Tag Archives: Fathir Muchtar
Review: My Blackberry Girlfriend (2011)
Walau telah dikenal atas novelnya yang berjudul Gaby dan Lagunya yang kemudian sempat difilmkan pada tahun 2010, nama Agnes Danovar benar-benar menjadi pusat perhatian para penggemar film Indonesia setelah novelnya, Surat Kecil Untuk Tuhan, difilmkan dan kemudian meraih sukses luar biasa – dan hingga saat ini masih tercatat sebagai film Indonesia dengan raihan jumlah penonton terbesar sepanjang tahun 2011. Tidak mengherankan bila novel-novel karyanya yang lain, yang sebenarnya telah meraih sukses dan ribuan pembaca, kemudian dilirik oleh produser film untuk diterjemahkan ke dalam bentuk cerita audio visual. Setelah Ayah, Mengapa Aku Berbeda?, kini giliran My Blackberry Girlfriend yang diperkenalkan kepada para pecinta film Indonesia.
Review: Hafalan Shalat Delisa (2011)
Bertepatan dengan peringatan tujuh tahun terjadinya bencana tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 yang lalu, sebuah film drama keluarga berlatar belakang salah satu tragedi alam terbesar yang pernah dialami umat manusia tersebut dirilis di banyak layar bioskop Indonesia. Berjudul Hafalan Shalat Delisa, yang diangkat dari sebuah novel berjudul sama karya Tere Liye, film ini sekaligus menandai kali kedua Sony Gaokasak untuk duduk di kursi penyutradaraan sebuah film layar lebar setelah sebelumnya mengarahkan Tentang Cinta (2007). Berkisah mengenai usaha seorang anak yang selamat dari hantaman tsunami untuk terus melanjutkan kehidupannya, Hafalan Shalat Delisa harus diakui memiliki beberapa momen yang dapat membuat penontonnya terhenyak dan bersimpati atas segala cobaan yang dilalui karakter-karakter yang hadir di dalam jalan cerita film ini. Pun begitu, seringnya naskah cerita Hafalan Shalat Delisa berusaha terlalu keras untuk menjadikan film ini sebagai sebuah tearjerker yang inspiratif membuat banyak adegan di film ini terasa berjalan tidak alami dan kurang mengesankan.
Review: The Tarix Jabrix 3 (2011)
Petualangan geng motor yang penuh sopan santun dan patuh terhadap perintah orangtua, The Tarix Jabrix, yang berasal dari Bandung ini akhirnya mencapai seri ketiganya! Ketika seri pertamanya dirilis pada tahun 2008 silam, mungkin sebagian orang memandang The Tarix Jabrix tak lebih dari sekedar sebuah usaha sebuah perusahaan rekaman untuk mempopulerkan salah satu kelompok musik yang berada di bawah naungannya. Namun, dengan jalan cerita drama komedi yang pas serta pengarahan Iqbal Rais (Senggol Bacok, 2010) yang cukup mumpuni, The Tarix Jabrix ternyata mampu tampil memikat hati banyak penonton film Indonesia sekaligus menempatkan nama The Changcuters ke jajaran kelompok musik populer di negeri ini.
Review: Oh Tidak..! (2011)
Dengan film-film semacam Otomatis Romantis (2008), Pintu Terlarang (2008) dan Khalifah (2011) berada di dalam daftar filmografinya, tentu banyak yang akan bertanya mengapa Marsha Timothy mau menerima tawaran untuk bermain dalam film yang kualitasnya mungkin telah tercermin dengan jelas dari buruknya pemilihan judul film itu sendiri, Oh Tidak..!. Marsha sendiri tidak bermain buruk. Ia dan aktor yang menjadi lawan mainnya di film ini, Fathir Muchtar, tampil dalam kapasitas yang tidak mengecewakan. Namun, naskah cerita yang benar-benar tidak dapat diandalkan – yang hanya mengusung deretan adegan drama klise, karakterisasi yang dangkal serta guyonan-guyonan yang cenderung telah kadaluarsa – membuat Oh Tidak…! hadir lebih dari sekedar mengecewakan.
Review: Senggol Bacok (2010)
Dengan secara konsisten merilis dua film di setiap tahunnya, tidaklah begitu sulit bagi sutradara muda, Iqbal Rais, untuk menambah panjang jajaran filmografinya yang dimulai dengan catatan sukses perilisan Tarix Jabrix pada tahun 2008 yang lalu. Setia di jalur drama komedi, setelah merilis Sehidup (Tak) Semati yang kurang mendapatkan begitu banyak perhatian publik pada awal tahun ini, Iqbal kini merilis Senggol Bacok dengan mengedepankan nama Fathir Muchtar, Ringgo Agus Rahman dan Kinaryosih.
Review: Ratu Kostmopolitan (2010)
Dalam promosinya, jajaran pemeran Ratu Kostmopolitan mengungkapkan bahwa membuat film ini adalah sebuah pengalaman yang menyenangkan. Hal ini tidak lain disebabkan karena mereka merasa bahwa naskah cerita dari Ratu Kostmopolitan menawarkan sesuatu yang berbeda dari film-film lainnya. Selain membahas mengenai kehidupan para anak perantauan bertahan di kota besar seperti Jakarta, film ini diceritakan juga dijanjikan untuk menghadirkan nuansa komedi yang dipadupadankan dengan aksi laga, drama dan disempali dengan saratnya pesan-pesan sosial. Tentu saja, menyenangkan bagi jajaran pemerannya bukan berarti bahwa film ini akan sebegitu menyenangkannya bagi penonton.