Membutuhkan cukup banyak kesabaran untuk dapat benar-benar mengikuti perjalanan Satria Dewa: Gatotkaca – cita rasa pertama bagi semesta pengisahan Jagad Satria Dewa yang berisi barisan cerita pahlawan super yang kisahnya diadaptasi dari kisah pewayangan Indonesia. Layaknya sebuah origin story, Satria Dewa: Gatotkaca berusaha untuk memperkenalkan asal usul maupun awal mula cerita dari sang karakter utama dengan beberapa plot penyerta yang memberikan akses kepada penonton untuk melihat kilasan gambaran akan semesta pengisahan lebih besar yang akan melibatkan sang karakter utama di masa yang akan datang. Penuturan yang cukup mendasar. Sial, naskah cerita yang ditulis oleh sutradara film ini, Hanung Bramantyo (Tersanjung the Movie, 2020), bersama dengan Rahabi Mandra (Guru-guru Gokil, 2020) tidak pernah mampu untuk bertutur secara lugas. Berusaha untuk menjabarkan tatanan cerita yang kompleks namun dengan runutan kisah yang seringkali kelewat dangkal. Continue reading Review: Satria Dewa: Gatotkaca (2022)
Tag Archives: Elkie Kwee
Review: Ghost Writer (2019)
Setelah menuliskan naskah cerita untuk beberapa film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang masa seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! – Part 1 (Anggy Umbara, 2016) dan Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (Rocky Soraya, Umbara, 2018), Bene Dion Rajagukguk kini mengarahkan film layar lebar perdananya lewat Ghost Writer. Memadukan unsur horor dengan komedi, film yang naskah ceritanya digarap oleh Rajagukguk bersama dengan Nonny Boenawan ini bercerita mengenai seorang penulis novel, Naya (Tatjana Saphira), yang menemukan sebuah buku harian yang lantas dijadikannya inspirasi cerita bagi novel terbaru yang sedang digarapnya. Sial, buku harian tersebut ternyata pernah dimiliki oleh seorang pemuda bernama Galih (Ge Pamungkas) yang telah meninggal dunia akibat bunuh diri dan kini menghantui Naya karena tidak setuju isi buku hariannya dijadikan konsumsi publik. Ketakutan dengan teror yang dilakukan oleh Galih, Naya akhirnya mencoba berbicara dengan arwah penasaran tersebut yang kemudian ternyata menghasilkan sebuah kerjasama beda dunia antara mereka berdua. Continue reading Review: Ghost Writer (2019)
Review: Anak Hoki (2019)
It’s quite hard not to feel sorry for Anak Hoki. Pertama kali diumumkan pada awal tahun lalu sebagai film yang akan mengadaptasi kisah kehidupan masa remaja dari mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, keberadaannya kemudian mulai tersaingi oleh A Man Called Ahok (Putrama Tuta, 2018) yang diangkat dari buku berjudul sama dan juga mengulik seputar kehidupan sang mantan Gubernur. A Man Called Ahok lantas mendapatkan masa rilis terlebih dahulu dan, bagaikan menabur garam di atas luka, berhasil meraih perhatian besar dan jumlah penonton yang signifikan – lebih dari 1.4 juta penonton hingga akhirnya film tersebut turun layar. Jelas sebuah pencapaian yang akan membayangi Anak Hoki pada masa tayangnya. Kini, tiga bulan setelah A Man Called Ahok dirilis, Anak Hoki akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bercerita. Dan… well… mungkin ada baiknya membiarkan A Man Called Ahok menjadi satu-satunya film yang berkisah tentang Basuki Tjahaja Purnama untuk saat ini. Continue reading Review: Anak Hoki (2019)
Review: Belok Kanan Barcelona (2018)
Diadaptasi dari novel berjudul Travelers’ Tale – Belok Kanan: Barcelona! yang ditulis oleh Adhitya Mulya, Alaya Setya, Iman Hidajat, dan Ninit Yunita – dengan Mulya bertugas untuk menggarap naskah cerita film ini, Belok Kanan Barcelona berkisah mengenai persahabatan antara Francis (Morgan Oey), Retno (Mikha Tambayong), Ucup (Deva Mahenra), dan Farah (Anggika Bolsterli) yang telah terjalin semenjak masa SMA. Meski kini mereka telah tinggal di empat negara berbeda dalam menjalani karir mereka, Francis, Retno, Ucup, dan Farah masih menjaga hubungan dan komunikasi mereka dengan baik. Suatu hari, ketika keempatnya sedang berkomunikasi melalui perantaraan video conference, Francis mengumumkan bahwa dirinya akan segera menikahi kekasihnya, Inez (Millane Fernandez), dan menggelar pesta pernikahan mereka di Barcelona, Spanyol. Sebuah pernyataan yang tidak hanya terkesan tiba-tiba bagi teman-teman Francis namun juga memicu munculnya kembali perasaan dan memori dari masa lampau yang kemudian menghantui hubungan persahabatan keempatnya. Continue reading Review: Belok Kanan Barcelona (2018)
Review: Dimsum Martabak (2018)
Dalam film terbaru arahan Andreas Sullivan (Revan & Reina, 2018), Dimsum Martabak, penonton diperkenalkan kepada dua karakter utama, Mona (Ayu Ting Ting) dan Soga (Boy William). Walau keduanya berasal dari dua lingkungan ekonomi yang berbeda namun baik Mona maupun Soga sedang berada dalam usaha mereka masing-masing untuk membuktikan kemampuan diri mereka: Mona berusaha menunjukkan pada sang ibu (Meriam Bellina) bahwa dirinya dapat menjadi sosok tulang punggung keluarga yang bertanggungjawab semenjak meninggalnya sang ayah sementara Soga sedang membangun usahanya sendiri untuk keluar dari bayang-bayang sang ayah, Eric Guntara (Ferry Salim), yang merupakan salah seorang pengusaha sukses di Indonesia. Keduanya kemudian bertemu ketika Mona baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai seorang pramusaji di restoran milik Koh Ah Yong (Chew Kin Wah) dan lantas mendapatkan pekerjaan di foodtruck martabak yang dikelola Soga bersama sahabatnya, Dudi (Muhadkly Acho) – yang, dapat dengan mudah ditebak, lantas turut menebar benih romansa antara keduanya. Continue reading Review: Dimsum Martabak (2018)
Review: Moon Cake Story (2017)
Setelah Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (Guntur Soeharjanto, 2016), Morgan Oey dan Bunga Citra Lestari kembali tampil berpasangan dalam film terbaru arahan Garin Nugroho (Guru Bangsa Tjokroaminoto, 2015) yang diproduseri oleh Tahir Foundation, Moon Cake Story. Filmnya sendiri berkisah mengenai pertemuan yang tidak disengaja antara seorang pengusaha bernama David (Oey) dengan seorang joki 3-in-1 bernama Asih (Lestari). Sama-sama memendam duka akibat ditinggal oleh sosok yang mereka cintai, pertemuan tersebut kemudian membawa David ke masa lalunya ketika ia dan ibunya masih tinggal di daerah kumuh dan berjuang untuk bertahan hidup dengan membuat kue bulan di keseharian mereka. Mengetahui bahwa Asih memiliki bakat memasak, David lantas menawarkan Asih cetakan dan resep kue bulan milik ibunya agar Asih dapat memulai usahanya sendiri. Walau awalnya merasa janggal dengan pemberian David, Asih akhirnya menerima dan mulai membuat kue bulannya sendiri. Continue reading Review: Moon Cake Story (2017)
Review: Pertaruhan (2017)
Setelah sebelumnya menjadi produser bagi film-film Indonesia seperti Coklat Stroberi (2007) dan Tarzan ke Kota (2008), Krishto Damar Alam melakukan debut pengarahannya melalui Pertaruhan yang naskah ceritanya ditulis oleh Upi – yang baru saja meraih sukses besar lewat My Stupid Boss (2016), Sebagai sebuah debutan, Alam harus diakui mampu menampilkan filmnya dengan ritme pengisahan yang tepat, kualitas produksi yang meyakinkan sekaligus berhasil menghadirkan penampilan prima dari jajaran pengisi departemen aktingnya yang diisi nama-nama seperti Tio Pakusadewo, Adipati Dolken, Aliando Syarief, Jefri Nichol dan Giulio Parengkuan. Film ini, sayangnya, kemudian harus takluk terhadap lemahnya penulisan naskah cerita yang akhirnya membuat Pertaruhan gagal untuk tampil untuk menjadi sebuah drama yang lebih mengesankan. Continue reading Review: Pertaruhan (2017)
Review: Cinta Laki-Laki Biasa (2016)
Setelah sebelumnya bekerjasama dalam Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (2016), sutradara Guntur Soeharjanto kembali bekerjasama dengan penulis Asma Nadia dan Alim Sudio untuk Cinta Laki-Laki Biasa. Well… Judul film ini mungkin akan membuat beberapa orang lantas memandang sebelah mata. Atau malah premis yang dijual tentang kisah cinta segitiga dalam balutan nuansa reliji yang, harus diakui, telah terlalu sering “dieksploitasi” oleh banyak pembuat film Indonesia. Namun, jika Anda mampu melepas segala prasangka dan memberikan film ini sebuah kesempatan, Cinta Laki-Laki Biasa adalah sebuah drama romansa yang tergarap dengan cukup baik, mulai dari penataan naskah dan ritme penceritaan hingga chemistry yang terasa begitu hangat dan meyakinkan antara dua bintang utamanya, Deva Mahenra dan Velove Vexia. Continue reading Review: Cinta Laki-Laki Biasa (2016)
Review: Hijab (2015)
Kemampuan untuk mengemas kritik maupun sindiran sosial dengan bahasa penyampaian yang renyah jelas adalah salah satu hal yang menjadi kelebihan tersendiri bagi setiap film yang diarahkan oleh Hanung Bramantyo. Lihat saja bagaimana Doa Yang Mengancam (2008) yang menyajikan sebuah satir tentang hubungan seorang umat manusia dengan Tuhan-nya atau Perempuan Berkalung Sorban (2009) yang memberikan sudut pandang lain tentang kehidupan di dalam sebuah pesantren atau Tanda Tanya (2011) yang mengangkat isu toleransi antar umat beragama yang memang sedang menghangat dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Dengan tutur bahasa yang lembut dan bersahaja, film-film Hanung seringkali mampu menyelam lebih dalam pada setiap isu sosial yang mungkin jarang berani diangkat oleh para pembuat film Indonesia lainnya.
Film terbaru arahan Hanung Bramantyo, Hijab, juga memberikan sebuah satir mengenai bagaimana hijab yang sejatinya merupakan sebuah identitas keteguhan hati kaum wanita Muslim dalam menganut kepercayaannya kini (seringkali) telah beranjak hanya menjadi (sekedar) fashion statement dalam keseharian banyak wanita Muslim di Indonesia. Terdengar sebagai sebuah isu yang berat dan serius? Jangan khawatir. Hanung tidak mengemas Hijab dengan nada penceritaan yang terlalu serius a la ketiga film arahannya yang telah disebutkan sebelumnya. Hanung justru mengemas Hijab dalam jalinan kisah persahabatan yang hangat seperti Catatan Akhir Sekolah (2004) dan Jomblo (2006) namun, tentu saja, tetap berisi deretan dialog dan plot penceritaan yang cukup tajam dalam mengupas tema cerita yang dibawakannya.
Dengan naskah cerita yang ditulis Hanung Bramantyo bersama dengan Rahabi Mandra (Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar, 2014), Hijab secara lantang mampu berbicara mengenai posisi hijab yang kini tidak lagi menjadi komoditas monopoli umat muslimah taat beragama di Indonesia serta beberapa isu sosial lain mulai dari dilema pernikahan, posisi wanita bekerja dalam sebuah rumah tangga atau tentang para “suami Arab” yang menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka hingga sentilan-sentilan kecil mengenai beberapa kelompok yang begitu mudahnya untuk melakukan demonstrasi terhadap beberapa hal yang tidak sesuai dengan kepercayaan mereka hingga kehidupan dunia selebritas di industri hiburan Indonesia. Disajikan dalam kumpulan dialog dan plot penceritaan yang cukup tajam namun mampu tampil manis dengan balutan komedi (yang benar-benar) segar dalam kisah persahabatan dan kehidupan keseharian karakter-karakternya. Cerdas!
Namun, Hijab tidak selalu berjalan mulus. Untuk kelantangan dalam mengupas berbagai isu sosial yang dihadirkan Hanung Bramantyo dan Rahabi Mandra pada dua bagian awal cerita film, Hijab kemudian terasa begitu mudahnya berkompromi untuk menemukan penyelesaian masalah di paruh akhir penceritaan. Kedua penulis naskah terasa kebingungan untuk memberikan solusi masalah yang tepat bagi masing-masing karakter dan akhirnya justru melawan kembali berbagai satir yang sejak awal mereka sajikan dengan memilih akhir cerita yang tergolong aman melalui sebuah senjata pamungkas: dialog khotbah yang secara otomatis kemudian membawa kembali karakter-karakter dalam cerita film ini ke jalan kehidupan yang benar. Tidak benar-benar buruk namun berbanding begitu jauh dengan apa yang sedari awal telah ditanamkan oleh Hijab kepada para penontonnya.
Layaknya sebuah kisah persahabatan yang mampu tampil hangat dan meresap kepada setiap penonton film, Hanung Bramantyo sukses mengumpulkan deretan pengisi departemen akting yang berhasil menghadirkan penampilan akting dan chemistry satu sama lain yang benar-benar meyakinkan. Carissa Puteri, Zaskia Adya Mecca, Tika Bravani, Natasha Rizky, Nino Fernandez, Mike Lucock, Ananda Omesh dan Dion Wiyoko hadir dengan penampilan akting yang benar-benar santai – sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan setiap karakter yang mereka perankan – dan saling melengkapi satu sama lain. Kehangatan hubungan antara setiap karakter dalam Hijab akan memberikan kesan yang lebih mendalam jauh setelah penonton selesai menyaksikan film ini. Kehadiran banyak wajah-wajah familiar yang tampil sebagai “bintang tamu” dalam jalan penceritaan Hijab juga mampu memberikan tambahan hiburan tersendiri – dan dimanfaatkan dengan efektif oleh Hanung Bramantyo dengan tanpa mencuri perhatian dari para bintang utama film.
Meskipun tidak sempurna, Hijab kembali membuktikan posisi Hanung Bramantyo sebagai salah satu dari sedikit sutradara film Indonesia yang begitu lihai dalam mengemas cerita yang ingin ia sampaikan. Hijab adalah sebuah drama komedi persahabatan yang segar dan mampu bekerja dengan baik untuk menghibur maupun menampar jalan pemikiran para penontonnya. [B-]
Hijab (2015)
Directed by Hanung Bramantyo Produced by Hanung Bramantyo, Zaskia Adya Mecca, Haykal Kamil Written by Hanung Bramantyo, Rahabi Mandra Starring Carissa Puteri, Zaskia Adya Mecca, Tika Bravani, Natasha Rizky, Nino Fernandez, Mike Lucock, Ananda Omesh, Dion Wiyoko, Marini Soerjosoemarno, Jajang C Noer, Rina Hassim, Meriam Bellina, Mathias Muchus, Sophia Latjuba, Slamet Rahardjo Djarot, Bobby Tince, Mayang Faluthamia, Sogi Indra Dhuaja, Delano Daniel, Rifqa Amalsyita, Andi Keefe Bazli Ardiansyah, Kana Sybilla Bramantyo, Kala Madali Bramantyo, Ingrid Widjanarko, Epy Kusnandar, Lily SP, Pieter Gultom, Ida Zein, Steven Sakari, Sri Hartini, Otiq Pakis, Rofida, Adi Bambang Irawan, Barmastya Bhumi Brawijaya, Mpok Atiek, Cici Tegal, Vito Januarto, Marsha Natika, Tasya Nur Medina, Thalita Vitrianne, Azizah Mouri, Deby Kusuma Arum, Jelita Ramlan, Anggia Jelita, Senandung Nacita, Urip Arphan, Muhammad Assad, Hany Sabrina, Elly Sugigi, Nurul Jamilah, Luddy S, Andi Bersama, Lulung Mumtaza, Alhabsyi, Sita Nursanti, Joseph Ginting, Boy Idrus, Lasuardi Sudirman, Alfie Alfandy, Fauzan Smith, Fitri Arifin, Haykal Kamil, Rizky Harisnanda, Randy Tanaya, Martua H Aritonang, Elkie Kwee, Marcella Zalianty, Indra Bekti Music by Hariopati Rinanto Cinematography Faozan Rizal Edited by Wawan I. Wibowo Production company Dapur Film/Ampuh Entertainment/MVP Pictures Running time 102 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Di Balik 98 (2015)
Dengan judul sebombastis Di Balik 98, jelas tidak salah jika banyak orang mengharapkan bahwa film yang menjadi debut penyutradaraan film layar lebar aktor watak Lukman Sardi ini akan memberikan sesuatu yang baru atau bahkan mengungkap fakta tersembunyi mengenai Kerusuhan Mei 1998. Sayangnya, hal tersebut sepertinya bukan menjadi tujuan utama dari dibuatnya film yang naskah ceritanya ditulis oleh Samsul Hadi dan Ifan Ismail ini. Tragedi yang menjadi catatan kelam masyarakat Indonesia di bidang keamanan/sosial/politik/budaya/hukum tersebut hanyalah menjadi latar belakang dari kisah perjuangan cinta dan pengorbanan cinta dari film ini. Atau itu justru yang menjadi arti dari judul Di Balik 98?
Sebenarnya tidak juga. Selain mengisi 106 menit durasi perjalanan filmnya dengan kisah dan karakter-karakter fiktif seperti Diana (Chelsea Islan), Daniel (Boy William), Bagus (Donny Alamsyah), Salma (Ririn Ekawati), Rachmat (Teuku Rifnu Wikana) dan Gandung (Bima Azriel), Di Balik 98 juga berisi karakter-karakter nyata seperti B.J. Habibie (Agus Kuncoro), Susilo Bambang Yudhoyono (Panji Pragiwaksono), Amien Rais (Eduwart Soritua) hingga Soeharto (Amoroso Katamsi) serta sekelumit kisah keberadaan mereka dalam tragedi tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah utama bagi film ini. Lukman sepertinya terlalu berusaha untuk menyeimbangkan kehadiran “kisah drama fiktif” dengan “intrik politik” dalam jalan cerita Di Balik 98. Akibatnya, tidak satupun dari kedua bagian kisah tersebut mampu tampil dengan eksplorasi yang mendalam.
Lihat saja bagaimana indikasi hubungan romansa antara karakter Diana dan Daniel yang terasa hambar karena karakter dan kisah mereka tersaji dalam kapasitas apa adanya. Atau bagaimana tidak pentingnya kehadiran kisah karakter ayah dan anak, Rachmat dan Gandung, dalam keseluruhan pengisahan Di Balik 98. Begitu pula dengan sekelumit kisah para mahasiswa aktivis maupun berbagai kegiatan yang terjadi di Istana Negara. Kesemuanya tampil setengah matang akibat penceritaan yang kurang mendalam. Datar tanpa meninggalkan kesan yang berarti.
Bukan berarti Di Balik 98 adalah sebuah film yang buruk. Sebagai seorang rookie, Di Balik 98 justru telah memperlihatkan bahwa Lukman memiliki mata yang jeli dalam materi cerita yang menarik, tata produksi yang apik – meskipun Di Balik 98 seringkali terasa terlalu bergantung pada footage–footage pemberitaan ataupun rekaman video usang mengenai tragedi tersebut di masa lampau, serta pengarahan atas para pengisi departemen aktingnya. Namun Di Balik 98 jelas akan lebih mampu tampil lebih kuat seandainya film ini mau memilih apa yang paling ingin dihantarkannya kepada penonton: menjadi sebuah film drama keluarga yang mengharu biru dengan latar Kerusuhan Mei 1998 atau tampil tegas sebagai drama politik yang mampu menyingkap berbagai kisah yang terjadi di masa itu.
Tugas pengarahan Lukman jelas sangat terbantu dengan kehandalan aktor dan aktris yang mengisi departemen akting filmnya. Nama-nama seperti Donny Alamsyah, Teuku Rifnu Wikana, Ririn Ekawati, Chelsea Islan – dan tata rias yang menghitamkan kulitnya guna meyakinkan setiap penonton bahwa ia adalah seorang aktivis kampus – hingga Alya Rohali, Amoroso Katamsi, Agus Kuncoro – meskipun akan lebih terasa sebagai tiruan Reza Rahadian yang berperan sebagai B.J. Habibie dalam Habibie & Ainun (2012) daripada sebagai sosok B.J. Habibie sendiri – dan Asrul Dahlan tampil dengan lugas terlepas dari karakter-karakter mereka yang begitu terbatas pengisahannya. Beberapa cameo yang hadir dalam memerankan tokoh-tokoh politik Indonesia juga hadir dalam film ini meskipun seringkali hanya menjadi distraksi terhadap jalan cerita daripada sebagai pelengkap kualitas penceritaan akibat peran mereka yang tampil selintas kedipan mata belaka.
Bukan sebuah debut yang buruk namun jelas akan mampu lebih berkesan jika Lukman Sardi mau memberikan kualitas penceritaan dan pengarahan yang jauh lebih tegas lagi. [C]
Di Balik 98 (2015)
Directed by Lukman Sardi Produced by Affandi Abdul Rachman Written by Samsul Hadi, Ifan Ismail Starring Chelsea Islan, Boy William, Donny Alamsyah, Ririn Ekawati, Teuku Rifnu Wikana, Bima Azriel, Verdi Solaiman, Alya Rohali, Fauzi Baadilla, Agus Kuncoro, Amoroso Katamsi, Marissa Puspitasasri, Elkie Kwee, Iang Darmawan, Zulkifli Nasution, Asrul Dahlan, Eduwart Soritua, Agus Cholid, Guntoro Slamet, Nursalim Mas, Rudie Purwana, Meulela Meurah, Gito Juwono, Panji Pragiwaksono, Nugraha Music by Thoersi Argeswara Cinematography Yadi Sugandi, Muhammad Firdaus Edited by Yoga Krispratama Studio MNC Pictures Running time 106 minutes Country Indonesia Language Indonesian