Tag Archives: Damien Chazelle

Review: First Man (2018)

That’s one small step for [a] man, one giant leap for mankind.”

Sebagai sebuah film yang berkisah tentang kehidupan Neil Armstrong – seorang astronot asal Amerika Serikat yang dikenal sebagai manusia pertama yang menjejakkan kakinya di Bulan, tentu mudah untuk membayangkan jika First Man digarap layaknya Apollo 13 (Ron Howard, 1995) atau film-film bertema angkasa luar lainnya atau malah film-film lain yang bercerita tentang pasang surut kehidupan seorang karakter nyata sebelum ia mencapai kesuksesannya. Namun, hal yang berkesan biasa jelas bukanlah presentasi yang diinginkan oleh sutradara berusia 33 tahun, Damien Chazelle, yang pada usianya ke 32 tahun berhasil memenangkan sebuah Academy Award untuk kategori Best Director lewat film musikal arahannya, La La Land (2016), dan menjadikannya sebagai sutradara termuda di sepanjang catatan sejarah yang berhasil meraih gelar tersebut. Alih-alih mengemas biopik yang diadaptasi dari buku karya James R. Hansen berjudul First Man: The Life of Neil A. Armstrong ini menjadi sebuah biopik dengan standar pengisahan familiar a la Hollywood, Chazelle memilih untuk menjadikan First Man sebagai sebuah ajang bermain bagi kecerdasan visual dan teknikalnya sekaligus, di saat yang bersamaan, tempatnya bermeditasi mengenai arti sebuah perjalanan hidup. Sounds a bit too deep eh? Continue reading Review: First Man (2018)

The 89th Annual Academy Awards Winners List

Walau berhasil keluar sebagai film dengan raihan kemenangan terbanyak, film musikal arahan Damien Chazelle, La La Land, harus mengalah terhadap Moonlight yang akhirnya dinobatkan sebagai Best Picture di ajang The 89th Annual Academy Awards. Dalam seremoni yang diwarnai banyak pernyataan politis tentang kepemimpinan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, serta kesalahan pemberian amplop pengumuman nama pemenang Best Picture kepada pasangan aktor dan aktris Warren Beatty dan Faye Dunaway – yang menyebabkan Beatty dan Dunaway mengumumkan La La Land sebagai peraih Best Picture, film arahan Barry Jenkins tersebut juga berhasil memenangkan dua penghargaan lain, Best Actor in a Supporting Role untuk Mahershala Ali dan Best Adapted Screenplay yang dimenangkan Jenkins bersama penulis naskah, Tarell Alvin McCraney. Kemenangan Moonlight juga menjadi bersejarah karena film tersebut menjadi film bertema Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Questioning pertama yang berhasil memenangkan Best Picture. Continue reading The 89th Annual Academy Awards Winners List

The 89th Annual Academy Awards Nominations List

Film drama musikal arahan Damien Chazelle, La La Land berhasil memimpin daftar nominasi The 89th Annual Academy Awards dengan meraih 14 nominasi. Dengan raihan tersebut, La La Land berhasil menyamai pencapaian All About Eve (Joseph L. Mankiewicz, 1950) dan Titanic (James Cameron, 1997) sebagai film dengan raihan nominasi Academy Awards terbanyak di sepanjang sejarah. Film yang dibintangi Ryan Gosling dan Emma Stone – yang sama-sama berhasil meraih nominasi Academy Awards di kategori Best Actor dan Best Actress – tersebut akan bersaing dengan Arrival, Fences, Hacksaw Ridge, Hell or High Water, Hidden Figures, Lion, Manchester by the Sea dan Moonlight di kategori Best Picture. La La Land juga berhasil meraih nominasi di kategori Best Director dan Best Original Screenplay untuk Chazelle. Continue reading The 89th Annual Academy Awards Nominations List

Review: La La Land (2016)

It takes big, huge guts to tackle a movie musical. Film musikal jelas bukan hanya tentang menyelinapkan deretan lagu dan nyanyian diantara barisan dialog maupun adegan sebuah film. Butuh konsep yang tepat dan matang untuk menyajikan sebuah film musikal yang tidak hanya mampu tampil menghibur tapi juga dapat meyakinkan para penontonnya bahwa realita penuh nyanyian yang sedang mereka saksikan adalah sebuah realita yang benar-benar dapat diterima – and who knows, mungkin saja dapat terjadi dalam keseharian mereka. Tidak mengherankan jika kemudian film musikal menjadi salah satu genre yang jarang dieksplorasi oleh banyak pembuat film. Bahkan sutradara sekelas Martin Scorsese (New York, New York, 1977), Richard Attenborough (A Chorus Line, 1985), Chris Columbus (Rent, 2005) hingga Nia Dinata (Ini Kisah Tiga Dara, 2015) yang dikenal handal dalam bercerita gagal untuk mendapatkan formula yang benar-benar tepat untuk film musikal yang mereka garap. Clearly, not everyone knows how to make a good musical. Continue reading Review: La La Land (2016)

Review: Whiplash (2014)

whiplash-posterSeorang murid yang sangat berambisius untuk mengejar mimpinya. Seorang guru yang begitu berhasrat untuk menemukan bakat baru dan membentuknya menjadi sosok yang dikagumi oleh khalayak ramai. Seperti yang dapat diduga, kedua karakter tersebut kemudian bertemu. Sang guru memberikan dorongan yang keras pada sang murid dalam melatih talentanya. Dan sang murid memberikan dedikasi penuh untuk meraih mimpi yang ia inginkan – termasuk dengan meninggalkan kehidupan personal yang dianggap dapat menghalanginya dalam meraih mimpi tersebut. Terdengar familiar? Whiplash memang memiliki struktur penceritaan yang telah berulangkali diangkat Hollywood. Namun penulis sekaligus sutradara film ini, Damien Chazelle, mampu memberikan perspektif yang lebih segar dan mendalam mengenai hubungan dua karakter tersebut.

Tidak ada barisan dialog yang terdengar inspirasional dalam Whiplash. Tidak terdapat juga drama maupun kelembutan yang memberikan pandangan lain tentang banyak segi kehidupan dari dua karakter yang diceritakan dalam film ini, Andrew Neiman (Miles Teller) dan Terence Fletcher (J. K. Simmons). Chazelle membentuk Whiplash sebagai sebuah pembelajaran karakter melalui proses latihan yang dijalani oleh karakter Andrew Neiman dalam bimbingan keras karakter Terence Fletcher. Proses latihan yang diwarnai dengan makian-makian, berbagai alat musik yang dilempar ke berbagai arah, kemarahan, tamparan, depresi serta bagian tubuh yang mengalami pendarahan. Dengan teknik penceritaan yang cenderung sempit inilah Chazelle berhasil membuat Whiplash hadir dengan tingkat intensitas yang (sangat) tinggi di sepanjang 106 menit durasi penceritaannya.

Dalam pengisahannya sebagai sebuah pembelajaran karakter, Whiplash begitu menonjolkan dua karakter utamanya yang sama-sama memiliki ambisi yang begitu memuncak dalam usaha mereka untuk mencapai mimpi masing-masing. Karakter Andrew Neiman adalah sosok murid yang memiliki hasrat untuk menjadi musisi yang terbaik di kelasnya dan akan melakukan apapun untuk mencapai mimpi tersebut. Sementara karakter Terence Fletcher adalah sosok guru yang sangat yakin bahwa ia adalah yang terbaik di bidangnya karena mampu, dan rela, melakukan apa saja untuk dapat mengeluarkan talenta terbaik dari orang-orang yang dipilihnya. Hubungan yang saling memiliki keterkaitan satu sama lain inilah yang menjadi jiwa utuh dari Whiplash dan, beruntung, Chazelle memiliki Miles Teller dan J. K. Simmons yang mampu memberikan kehidupan yang sangat meyakinkan bagi kedua sosok karakter tersebut.

Karakter Andrew Neiman dan Terence Fletcher, sejujurnya, dapat saja berubah menjadi dua sosok karakter karikatural yang sering digambarkan oleh film-film Hollywood sejenis. Penampilan sangat prima dari Teller dan Simmons-lah yang menyelamatkan kedua karakter tersebut. Meskipun hadir dalam teriakan dan warna kekerasan, Simmons tetap mampu memberikan sentuhan manusiawi dalam diri karakter Terence Fletcher. Daripada melihatnya sebagai sosok kejam yang tak berperasaan, Simmons mampu membuat penonton melihat karakter yang diperankannya sebagai sosok ambisius yang ingin melihat dirinya menghasilkan seorang sosok yang dapat ia banggakan. Teller sendiri memberikan kenaifan tersendiri bagi sosok Andrew Neiman. Penampilan Teller menjadikan karakternya terlihat begitu lugu dalam menghadapi sosok Terence Fletcher namun memiliki sisi kelam tersendiri yang membuat penonton tersadar bahwa karakter Andrew Neiman tidak akan berhenti begitu saja dalam meraih ambisi hidupnya. Chemistry yang luar biasa kuat antara dua karakter yang juga berhasil diterjemahkan secara sempurna oleh dua pemerannya.

Kemampuan Whiplash dalam menghadirkan ketegangan bagi para penontonnya tidak hanya murni datang dari keberhasilan Chazelle dalam menggarap penceritaan yang baik. Chazelle juga berhasil menyajikan filmnya dengan penataan teknis yang luar biasa memikat. Lihat saja penataan gambar dari Tom Cross yang mampu menyatukan tiap kepingan gambar dalam Whiplash dengan begitu handal untuk menjadikan film ini hadir dengan ritme penceritaan yang cepat. Tentu saja, kehandalan Cross dalam penataan gambar Whiplash menjadi lebih kuat berkat dukungan dan suplai gambar dari sinematografer Sharone Meir yang berhasil menangkap detil setiap getaran alat musik atau tetes keringat atau perubahan emosi dalam ekspresi wajah setiap karakter dengan sempurna. Tata musik karya Justin Hurwitz juga mampu melengkapi kesuksesan tata teknis Whiplash dalam membungkus sekaligus menjadikan penceritaan film ini menjadi lebih emosional lagi. [B]

Whiplash (2014)

Directed by Damien Chazelle Produced by Jason Blum, Helen Estabrook, Michel Litvak, David Lancaster Written by Damien Chazelle Starring Miles Teller, J. K. Simmons, Paul Reiser, Melissa Benoist, Austin Stowell, Nate Lang, Chris Mulkey, Jayson Blair, Kavita Patil, Michael Cohen, Kofi Siriboe, Suanne Spoke, April Grace Music by Justin Hurwitz Cinematography Sharone Meir Edited by Tom Cross Production company Sierra/Affinity/Bold Films/Blumhouse Productions/Right of Way Films Running time 106 minutes Country United States Language English