Seperti yang dapat ditilik dari judulnya, Naga Naga Naga adalah sekuel kedua dari Nagabonar (MT Risyaf, 1986) setelah Nagabonar Jadi 2 arahan Deddy Mizwar yang mampu menarik minat lebih dari satu juta penonton dan menjadikannya sebagai film dengan raihan penonton terbanyak kedua ketika dirilis pada tahun 2007 yang lalu. Mizwar kembali duduk di kursi penyutradaraan sekaligus kembali memerankan sang karakter ikonik, Nagabonar. Judul yang diberikan pada film ini juga menandai kehadiran sesosok “naga” baru dalam alur pengisahannya. Jika film sebelumnya memberikan fokus pada hubungan antara dua “naga,” Nagabonar dan anaknya Bonaga (Tora Sudiro), maka Naga Naga Naga menghadirkan karakter Monaga (Cut Beby Tshabina) yang merupakan cucu Nagabonar yang berasal dari pernikahan karakter Bonaga dengan istrinya, Monita (Wulan Guritno).
Mereka yang mengikuti karir Mizwar selama beberapa tahun terakhir, baik sebagai seorang produser, sutradara, aktor, maupun penulis naskah, jelas telah dapat menduga tawaran cerita macam apa yang akan dihadirkan oleh aktor yang dua kali memenangkan Piala Citra dari ajang Festival Film Indonesia sebagai Aktor Terbaik berkat peran Nagabonar-nya tersebut. Naga Naga Naga memang memiliki basis pengisahan sebagai sebuah drama keluarga. Namun, di saat yang bersamaan, naskah cerita garapan Wiraputra Basri (Sejuta Sayang Untuknya, 2020) membalut tuturan drama keluarganya dengan sejumlah plot maupun konflik yang kental akan sentilan pada tatanan sosial, budaya, serta politik. Garapan cerita yang sebenarnya memiliki potensi untuk tampil menarik tetapi, sayangnya, dieksekusi dengan begitu dangkal yang menyebabkan penyampaiannya terasa seperti membaca buku pelajaran yang membosankan.
Linimasa penceritaan Naga Naga Naga dimulai ketika Bonaga dan Monita menghadapi masalah yang datang dari anak tunggal mereka, Monaga, yang memilih tidak mau meneruskan bersekolah karena menilai “pendidikan hidup tidak melulu hanya dapat diperoleh di bangku sekolah.” Melihat kesulitan sang anak, Nagabonar akhirnya memilih untuk membantu dengan turut merayu sang cucu untuk mau kembali bersekolah. Usaha Nagabonar membuahkan hasil. Pertemuan Monaga dengan seorang anak jalanan, Nira (Zsa Zsa Utari), juga semakin mendorong keinginannya untuk bersekolah kembali sembari turut mengajak Nira dan beberapa anak jalanan lainnya untuk juga bersekolah. Sayang, tak satu pun sekolah yang mau menerima Monaga akibat berbagai catatan buruknya ketika bersekolah di masa lampau. Guna mendukung semangat cucunya, Nagabonar lantas membeli sebuah bangunan sekolah yang telah terbengkalai dan kembali menghidupkan aktivitas pendidikan di tempat tersebut.
Lewat naskah ceritanya, Naga Naga Naga berusaha untuk menyentuh begitu banyak bahasan masalah – mulai dari kesetaraan gender, berbagai permasalahan dalam sistem pendidikan di Indonesia, ketimpangan sosial, kemiskinan, hingga gesekan budaya dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Sial, daripada mengembangkan tema-tema tersebut menjadi jalinan kisah yang menarik sekaligus mengikat, tema-tema yang disampaikan oleh Naga Naga Naga lebih sering terasa dilemparkan begitu saja tanpa adanya usaha untuk menghadirkannya dengan pengisahan yang lebih matang. Tidak mengherankan jika sejumlah konflik dalam alur penceritaan Naga Naga Naga terasa hadir namun kemudian diselesaikan dengan gampang(an) atau malah hadir dan kemudian menghilang begitu saja. Selain terasa mentah, garapan konflik dalam film ini juga hadir dengan inkonsistensi yang begitu akut. Lihat saja ketika sejumlah dialog dalam film ini berbicara tentang kesetaraan gender di satu bagian namun kemudian berkoar tentang posisi istri sebagai pelayan suami atau kebanggaan akan berpoligami di bagian lainnya.
Masalah terbesar lain dari presentasi Naga Naga Naga juga datang dari eksekusi berkesan begitu kaku yang diberikan oleh Mizwar. Tema yang dibawakan oleh filmnya boleh saja terasa relevan dan lekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia modern di saat ini. Namun, penuturan Mizwar yang begitu terbata dan canggung menjadikan film ini terasa sebagai produk yang berasal dari era lama yang (seringnya) sukar untuk dinikmati. Lebih ironis lagi, sebagai sebuah presentasi cerita yang bertutur tentang sekelompok karakter keluarga yang memiliki keterikatan dengan budaya Batak, film ini akan mengingatkan penontonnya pada garapan cerita Ngeri-ngeri Sedap (Bene Dion Rajagukguk, 2022) yang juga sedang tayang dan berhasil menyampaikan sejumlah tema cerita yang serupa dengan lebih luas, lugas, hangat, dan jelas jauh dari kesan berceramah yang sepertinya telah menjadi ciri khas dari film-film yang dibintangi maupun diarahkan oleh Mizwar.
Mizwar, Sudiro, dan Guritno setidaknya berhasil menghadirkan penampilan akting yang membuat perjalanan penuturan Naga Naga Naga masih dapat dinikmati. Penampilan Tshabina juga tidak mengecewakan meskipun kadang terasa tenggelam oleh penampilan-penampilan pemeran dengan jam terbang akting lebih lama yang berada di sekitarnya. Penampilan apik keempatnya dalam memerankan karakter-karakter yang datang dari satu unit keluarga itu pula yang sering membuat Naga Naga Naga terasa membuang potensi besarnya untuk menjadi drama keluarga yang lebih utuh akibat berusaha terlalu keras untuk “memberikan kuliah” akan sejumlah pesan-pesan sosial.
Naga Naga Naga (2022)
Directed by Deddy Mizwar Produced by Zairin Zain Written by Wiraputra Basri (screenplay), Deddy Mizwar (story) Starring Deddy Mizwar, Tora Sudiro, Cut Beby Tshabina, Wulan Guritno, Zsa Zsa Utari, Darius Sinathrya, Uli Herdinansyah, Mike Lucock, Miing Bagito, Eko Patrio, Ence Bagus, Asrul Dahlan, Norman Akyuwen, Abi Kartubi, Sonni Mahmuda, Ibnu Sabil, Kukuh Prasetya, Sita Saraswati, Artha Ivano, Vita Mariana, Rony Dozer, Anugrah Ika, Yoshi Ade Putra, Subliansyah, Raymond MC, Asad Amar Music by Thoersi Argeswara Cinematography Yudi Datau Edited by Bayu Samantha Agni Production company MD Pictures/Citra Sinema Running time 96 minutes Country Indonesia Language Indonesian