Ada sesuatu yang berbeda dari presentasi cerita Kuntilanak 3. Seperti halnya Kuntilanak (2018) dan Kuntilanak 2 (2019), film ini masih diarahkan oleh Rizal Mantovani berdasarkan naskah cerita yang ditulis Alim Sudio. Namun, berbeda dengan dua film pendahulunya yang kental akan nuansa horor dalam penuturan ceritanya – well… penuturan horor yang ditujukan bagi kalangan penonton muda, Kuntilanak 3 melangkah sedikit menjauh dari warna horor dengan menghadirkan bangunan cerita berkesan fantasi yang akan dengan segera mengingatkan banyak penontonnya pada film-film dalam seri Harry Potter (2001 – 2011). Sebuah pilihan kreatif yang jelas diambil guna semakin memperluas jangkauan wilayah pengisahan Jagat Sinema Kuntilanak – yang didalamnya juga mengikutsertakan film Mangkujiwo (2020) arahan Azhar Kinoi Lubis dan akan terhubung dengan trilogi Kuntilanak (2006 – 2008) sebelumnya – garapan Mantovani bersama dengan MVP Pictures.
Kuntilanak 3, sialnya, masih belum mampu menunjukkan perkembangan ataupun perbaikan kualitas yang memuaskan dari arahan yang diberikan Mantovani maupun galian cerita yang dikerjakan Sudio. Entah karena seri ini ditujukan bagi para penonton muda yang (sepertinya diharapkan untuk) tidak akan terlalu mengindahkan kedalaman cerita maupun karakter dan hanya menikmati pengalaman visual film, Mantovani dan Sudio kembali mengulang berbagai kesalahan dalam bentuk inkonsistensi cerita maupun penggarapan konflik serta karakter yang setengah matang – jika tidak mau disebut sebagai seenaknya.
Alur ceritanya sendiri dimulai ketika Dinda (kini diperankan Nicole Rossi yang menggantikan posisi Sandrinna Michelle Skornicki) menyadari dirinya memiliki kekuatan telekinesis yang membuatnya dipandang aneh oleh anak-anak yang berada di sekitarnya. Atas saran dirinya sendiri – like… really… tiba-tiba karakter ini mengeluarkan telepon genggamnya dan menyarankan hal ini, ibu asuh Dinda, Donna (Nena Rosier), kemudian memasukkannya ke sebuah sekolah khusus bernama Sekolah Mata Hati yang hanya diketahui keberadaannya oleh orang-orang yang diinginkan oleh kalangan terbatas – meskipun hal tersebut tidak mencegah karakter Dinda untuk mengetahui informasi keberadaan sekolah tersebut dari telepon genggamnya atau para wartawan yang kemudian mengetahui dan menyiarkan berita tentang hilangnya sejumlah anak di sekolah tersebut. Mantovani, Sudio, get a grip!
Layaknya Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry atau Xavier’s School for Gifted Youngsters dari seri film X-Men (2000 – 2020) atau Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children dari film berjudul sama (Tim Burton, 2016), Sekolah Mata Hati adalah sekolah khusus untuk anak-anak dengan kemampuan serta kekuatan istimewa tertentu yang dikelola oleh Baskara (Wafda Saifan dengan rambut palsunya yang menggelikan) sebagai kepala sekolah, Adela (Nafa Urbach), Bejo (Amink), dan Bonang (Emmie Lemu) yang bertugas sebagai pengajar, serta Eyang Sukma (Sara Wijayanto) yang merupakan pendiri Sekolah Mata Hati dan kini mengawasi aktivitas sekolah hanya dari ruangannya. Dengan lingkungan yang diisi oleh anak-anak yang memiliki kemampuan sama dengan dirinya, Dinda menikmati keberadaannya di sekolah tersebut. Namun, misteri tentang hilangnya sejumlah siswa sekolah tersebut mulai mengikuti Dinda – dan membuat dua saudara asuhnya, Kresna (Andryan Bima) dan Miko (Ali Fikry), nekat meninggalkan rumah asuhnya untuk menyelamatkan Dinda dan kemudian dengan mudahnya masuk ke dalam wilayah sekolah yang semenjak awal digambarkan begitu dirahasiakan keberadaannya tersebut.
Meskipun dengan usungan tema tentang bagaimana setiap orang memiliki kemampuan ataupun keistimewaannya masing-masing yang digarap dengan formula pengisahan yang terlalu usang serta kumpulan konflik maupun plot yang terasa sebagai kompilasi dari konflik maupun plot yang sebelumnya telah dieksplorasi oleh film-film popular garapan Hollywood, Kuntilanak 3 sebenarnya memiliki sejumlah ide cerita paduan antara unsur fantasi dan horor yang cukup menarik. Sayang, Sudio memiliki konsistensi yang akut dalam menghadirkan inkonsistensi dari mitologi cerita yang sedang coba dibangunnya. Hasilnya, banyak bagian plot cerita film ini terasa menggelikan, hambar, dan berujung membosankan ketika kemudian dieksekusi dengan alur pengisahan yang bertele-tele.
Arahan Mantovani juga tidak mampu menjadikan Kuntilanak 3 menjadi lebih baik. Tentu, Mantovani dapat memberikan arahan penggunaan efek visual yang cukup meyakinkan pada elemen-elemen cerita film yang membutuhkannya. Namun, lebih dari itu, pengarahan yang diberikan Mantovani kebanyakan berkesan monoton. Setiap menit dari perjalanan 106 menit durasi pengisahan film ini terasa berusaha untuk tampil lebih buruk dari menit sebelumnya. Lihat saja paruh klimaks film, ketika karakter Adela dan Miko berusaha menyelamatkan karakter Dinda dan teman-temannya namun kemudian membiarkan salah seorang karakter anak tewas begitu saja. Atau bagian ketika semua problema melawan sosok kuntilanak ternyata dapat diselesaikan dengan menembangkan kidung Lengsir Wangi dan baru diberitahukan ketika seluruh karakter telah berusaha melawan dengan seluruh kemampuan dan nyaris kehilangan nyawa mereka.
Lemahnya kualitas presentasi Kuntilanak 3 juga semakin diperburuk oleh canggungnya penampilan para pengisi departemen akting film ini, khususnya para pemeran dewasanya. Penampilan dramatis Amink begitu kaku, begitu pula dengan Saifan dan Urbach yang tidak pernah terasa meyakinkan dalam tiap pelafalan dialog-dialog yang mereka lontarkan. Penampilan karakternya memang terbatas, tetapi Wijayanto setidaknya selalu mampu untuk memberikan penampilan horor yang kuat di setiap kehadiran karakternya. Penampilan para pemeran muda masih terasa goyah di sejumlah adegan, namun penampilan mereka jelas jauh lebih meyakinkan dari kebanyakan penampilan pemeran dewasa di film ini.
Dengan mengandalkan kebesaran nama sosok horor legendaris, Kuntilanak 3 – seperti halnya dua film pendahulunya serta film-film lanjutannya nanti – jelas tidak akan sukar untuk menarik minat penonton. Di saat yang bersamaan, dengan empat film yang seluruhnya hanya mampu hadir dengan kualitas cerita dalam rentangan medioker hingga buruk, rasanya butuh dorongan perbaikan yang lebih kuat untuk membuat Jagat Sinema Kuntilanak dapat mempertahankan penontonnya di masa yang akan datang. Sangat mengecewakan.
Kuntilanak 3 (2022)
Directed by Rizal Mantovani Produced by Raam Punjabi Written by Alim Sudio Starring Nicole Rossi, Andryan Bima, Ali Fikry, Adlu Fahrezi, Ciara Nadine Brosnan, Faras Fatik, Clarice Cutie, Romaria Simbolon, Nena Rosier, Sara Wijayanto, Wafda Saifan, Nafa Urbach, Amink, Ise Irish, Emmi Lemmu, Farell Akbar, Zara Leola, Rafael Putra, Khafi Maheza Music by Stevesmith Music Production Cinematography Yadi Sugandi Edited by Ganda Hartadi Production companies MVP Pictures Running time 106 minutes Country Indonesia Language Indonesian
4 thoughts on “Review: Kuntilanak 3 (2022)”