Review: Pelangi Tanpa Warna (2022)


Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Mahfrizha Kifani berdasarkan novel garapannya yang berjudul sama, film drama Pelangi Tanpa Warna yang diarahkan oleh sutradara Dear Nathan (2017) dan Dear Nathan Hello Salma (2018), Indra Gunawan, memiliki premis yang mungkin telah terasa begitu familiar. Pengisahan film ini berfokus pada kehidupan rumah tangga yang terjalin antara pasangan Fedi (Rano Karno) dan Kirana (Maudy Koesnaedi) bersama dengan putra tunggal mereka, Divo (Zayyan Sakha). Tidak ada yang benar-benar istimewa dari kehidupan keseharian pasangan tersebut. Namun, ketika Kirana mulai melupakan berbagai hal – mulai dari perlengkapan rumah tangga yang selalu dipakai, rutinitas keseharian, hingga sejumlah sosok yang mengisi kehidupannya – Fedi menyadari bahwa kehidupannya telah berubah dan tidak akan pernah sama lagi. Kirana bahkan hanya memiliki sedikit waktu sebelum daya ingatnya benar-benar menghapus seluruh kenangan akan kehidupan yang telah dilaluinya.

Jelas ada banyak cara untuk mengeksplorasi cerita tentang sesosok karakter yang sedang melalui permasalahan medis. Berkaitan dengan Alzheimer – persoalan medis yang menjadi perbincangan dalam Pelangi Tanpa Warna, sejumlah film mampu menghadirkan penuturan yang tidak hanya menarik dengan sokongan presentasi medis yang akurat, namun juga mampu menghasilkan ikatan emosional yang kuat nan menyentuh. Seperti Pelangi Tanpa Warna, Away from Her (Sarah Polley, 2006) menghadirkan kisah tentang bagaimana Alzheimer memberikan pengaruh pada sebuah jalinan hubungan. Sedangkan Still Alice (Richard Glatzer, Wash Westmoreland, 2014) dan The Father (Florian Zeller, 2020) menujukan fokusnya pada perubahan karakter yang dialami seseorang ketika mereka melalui sejumlah tahapan dalam penyakit Alzheimer. Sayangnya, tidak ada hal yang benar-benar menarik yang dapat ditawarkan oleh kualitas penceritaan Pelangi Tanpa Warna.

Daripada menghadirkan pendalaman cerita tentang bagaimana karakter-karakter dalam linimasa pengisahan film ini menghadapi dan melalui berbagai kemungkinan terburuk akan kehadiran satu penyakit yang belum dapat diobati, Pelangi Tanpa Warna lebih memilih untuk berkonsentrasi mengeksploitasi berbagai masalah (baca: penderitaan) yang terjadi akibat keberadaan penyakit Alzheimer tadi. Usaha tersebut, tentu saja, dilakukan demi memancing rasa haru atau bahkan tetesan airmata dari setiap penonton. Sial, penataan cerita yang begitu monoton membuat kesan bodoh dari penyampaian film ini benar-benar tidak bisa dielakkan. Daripada berhasil menumbuhkan rasa simpati pada tiap karakter atas perjuangan mereka, alur cerita Pelangi Tanpa Warna malah membuat mereka terlihat sebagai barisan karakter dengan berbagai dialog maupun perbuatan yang dangkal.

Dengan durasi pengisahan yang sebenarnya hanya berjalan selama 82 menit, film ini juga terasa berjalan begitu lamban dan bertele-tele berkat minimnya kehadiran pengembangan konflik maupun karakter yang benar-benar berarti. Konflik utama yang berkisah tentang penyakit Alzheimer yang diderita oleh karakter Kirana terjadi di paruh awal cerita. Setelahnya, Pelangi Tanpa Warna hanya diisi dengan “berbagai keributan” yang ditimbulkan oleh karakter Kirana akibat daya ingatnya yang mulai melemah. Begitu monoton. Kehadiran karakter Arum (Ratna Riantiarno) yang dikisahkan sebagai ibu dari karakter Fedi juga tidak banyak membantu ketika karakter tersebut hanya digunakan sebagai pemicu konflik-konflik minimalis lain dengan berbagai gambaran inkonsistensi pada karakter maupun sikap yang ditunjukkannya pada karakter Kirana.

Penuturan Gunawan bagi alur cerita filmnya juga terasa episodik, hanya berusaha untuk memberikan gambaran dari masa ke masa tentang gejala penyakit Alzheimer yang diderita oleh karakter Kirana tanpa pernah mau untuk mengembangkannya ke sisi penuturan drama yang lebih luas lagi. Cukup disayangkan, khususnya mengingat bahwa Gunawan mendapatkan dukungan akting yang memuaskan dari barisan pengisi departemen aktingnya. Namun, tidak peduli sekaliber apapun penampilan akting yang diberikan Karno, Koesnaedi, Riantiarno, dan Sakha – yang cukup mampu mengimbangi penampilan akting barisan seniornya, lemahnya kualitas cerita yang dihadirkan Pelangi Tanpa Warna benar-benar menjadi bayang pekat yang menutupi kualitas lain yang coba diangkatnya. Buruk, dan akan membuat siapapun berharap mereka dapat menghapus ingatan akan keberadaan film ini dari otak mereka.

popcornpopcorn-halfpopcorn2popcorn2popcorn2

pelangi-tanpa-warna-rano-karno-maudy-koenaedi-movie-posterPelangi Tanpa Warna (2022)

Directed by Indra Gunawan Produced by Frederica Written by Mahfrizha Kifani (screenplay), Mahfrizha Kifani (novel, Pelangi Tanpa Warna) Starring Rano Karno, Maudy Koesnaedi, Zayyan Sakha, Ratna Riantiarno, Wiwi S. Cinematography Indra Suryadi Editing by Ahmad R. Kamil, Busyra Abi Perkasa Studio Falcon Pictures Running time 82 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s