Lima tahun selepas mengarahkan The Shape of Water (2017) yang berhasil meraih 13 nominasi dan memenangkan empat kategori diantaranya, termasuk Best Picture dan Best Director, dari ajang The 90th Annual Academy Awards, sutradara Guillermo del Toro kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk mengarahkan Nightmare Alley. Merasa familiar dengan judul tersebut? Film yang naskah ceritanya ditulis oleh del Toro bersama dengan Kim Morgan ini memang diadaptasi dari novel popular berjudul sama yang ditulis oleh William Lindsay Gresham. Novel tersebut sebelumnya pernah diadaptasi menjadi film cerita panjang yang dirilis dengan judul yang sama oleh sutradara Edmund Goulding pada tahun 1947 yang menghadirkannya sebagai presentasi yang menggunakan gaya penceritaan neo-noir. Versi teranyar dari adaptasi Nightmare Alley garapan del Toro juga mengadopsi tata pengisahan neo-noir yang elemen-elemen visualnya sering menggunakan tata pencahayaan yang rendah, gaya sinematografi yang banyak dipengaruhi kehadiran bayangan, serta penempatan kamera yang tidak biasa.
Alur penuturan cerita Nightmare Alley mengikuti perjalanan hidup seorang pria bernama Stanton Carlisle (Bradley Cooper) yang memiliki masa lalu kelam dan penuh misteri, namun kini sedang mencoba peruntungannya untuk mengubah nasib dengan bergabung bersama sebuah karnaval keliling yang dikelola oleh Clement Hoately (Willem Dafoe). Dengan kecerdasan serta penampilannya yang menarik, Stanton Carlisle dengan segera dapat mempelajari berbagai trik pertunjukan dari pasangan mentalis Peter (David Strathairn) dan Zeena Krumbein (Toni Collette) sekaligus memikat hati salah satu bintang karnaval tersebut, Mary Elizabeth Cahill (Rooney Mara). Merasa dirinya telah memiliki kemampuan yang cukup, Stanton Carlisle lantas mengajak Mary Elizabeth Cahill untuk pindah ke kota New York dan memulai pertunjukan mentalis mereka sendiri ke kalangan elit dan kaya kota tersebut.
Tidak seperti The Shape of Water atau Pacific Rim (2013) atau Pan’s Labyrinth (2006) atau Hellboy (2004) atau film-film arahan del Toro lainnya, tidak ada sosok monster atau makhluk misterius berpenampilan menakutkan yang hadir dalam linimasa penceritaan Nightmare Alley. Arahan sinematografi dari Dan Laustsen yang membantu membentuk presentasi tampilan film ini sebagai neo-noir dengan gambar-gambar yang berkesan kelam, misterius, namun begitu indah dan memanjakan mata memang menghasilkan paduan nuansa antara fantasi dan realita seperti yang selalu dapat ditangkap dalam karya-karya del Toro. Sementara itu, barisan monster digantikan oleh deretan karakter manusia yang bersikap layaknya makhluk-makhluk mengerikan yang siap untuk menipu, membohongi, bahkan membunuh manusia lainnya demi mencapai keinginannya. Begitu tergantungnya ia pada sebuah kebohongan, karakter utama film ini bahkan mulai mempercayai kebohongan yang ia buat sendiri tersebut yang, tentu saja, lantas menggiringnya jatuh dalam kehancuran.
Naskah cerita buatan del Toro dan Morgan melakukan observasi secara melekat terhadap setiap tindakan yang diambil oleh karakter-karakternya, memberikan gambaran mengapa karakter-karakter tersebut memilih untuk melakukan tindakan tersebut, dan reaksi yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut terhadap sang karakter maupun karakter-karakter lain yang berada di sekitarnya. Pengarahan del Toro tidak pernah terasa tergesa-gesa – bahkan akan berkesan lamban bagi sejumlah penonton berkat dominasi dialog yang kental serta minimalisnya paparan emosi yang muncul dari tiap karakter. Di saat yang bersamaan, bahkan dengan durasi penceritaan yang mencapai 150 menit, Nightmare Alley tidak pernah terasa menjemukan berkat kelihaian del Toro untuk meramu sekaligus mengeksekusi tiap intrik maupun konflik yang mengemuka dalam jalan penceritaan film.
Dengan alur cerita yang berfokus penuh pada para karakter, del Toro jelas diberkahi penampilan-penampilan akting yang berkelas dari para jajaran pemeran filmnya. Tiap aktor mampu dengan lugas dan meyakinkan menghidupkan tiap karakter yang mereka perankan. Cooper hadir dengan penampilan akting berkualitas nyaris tanpa cela yang membuat perjalanan hidup penuh liku dari karakter Stanton Carlisle yang ia perankan begitu memikat. Adegan akhir film, dimana kamera mengambil secara dekat raut wajah Cooper yang menggambarkan bagaimana karakter Stanton Carlisle mentertawakan nasibnya yang harus menerima kenyataan bahwa ia telah menjelma menjadi sesosok manusia yang selama ini dianggapnya begitu rendah, akan membekas lama di ingatan setiap mata yang melihatnya.
Karakter Lilith Ritter yang diperankan oleh Cate Blanchett memang baru muncul di paruh pertengahan cerita Nightmare Alley. Meskipun begitu, Blanchett sukses menebar daya tariknya yang menghipnotis guna menjadikan karakternya terasa begitu rapuh sekaligus mematikan di saat yang bersamaan. Dafoe dan Collette juga berhasil mencuri perhatian lewat penampilan mereka yang, bersama dengan paduan kualitas penceritaan del Toro, semakin memantapkan posisi film ini sebagai presentasi yang penuh akan kesan mendalam.
Nightmare Alley (2021)
Directed by Guillermo del Toro Produced by J. Miles Dale, Guillermo del Toro, Bradley Cooper Written by Guillermo del Toro, Kim Morgan (screenplay), William Lindsay Gresham (novel, Nightmare Alley) Starring Bradley Cooper, Cate Blanchett, Rooney Mara, Toni Collette, Willem Dafoe, Richard Jenkins, Ron Perlman, David Strathairn, Mary Steenburgen, Peter MacNeill, Holt McCallany, Paul Anderson, Mark Povinelli, Jim Beaver, Clifton Collins Jr., Tim Blake Nelson, David Hewlett, Lara Jean Chorostecki, Stephen McHattie, Dian Bachar, Romina Power Music by Nathan Johnson Cinematography Dan Laustsen Edited by Cam McLauchlin Production company Searchlight Pictures/TSG Entertainment/Double Dare You Productions Running time 150 minutes Country United States Language English
2 thoughts on “Review: Nightmare Alley (2021)”