Review: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021)


Setelah merilis Posesif (2017) dan Aruna & Lidahnya (2018) yang memiliki pendekatan cerita lebih komersial jika dibandingkan dengan film-film lain yang berada dalam filmografinya, Edwin kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk mengarahkan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang naskah ceritanya diadaptasi dari novel berjudul sama garapan Eka Kurniawan. Mungkin cukup sukar membayangkan kompleksitas konflik dan karakter dalam balutan rangkaian metafora akan isu sosial politik pada masa rezim Orde Baru yang disampaikan melalui linimasa cerita tak beraturan oleh Kurniawan dapat hidup di luar imajinasi para pembaca novelnya. Namun, dengan pengarahannya yang lugas, Edwin tidak hanya mampu menaklukkan tatanan kompleksitas tersebut. Edwin juga dapat menghasilkan jalinan kisah romansa termanis yang pernah hadir dalam film garapannya.

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Edwin bersama dengan Kurniawan, film yang dirilis secara internasional dengan judul Vengeance is Mine, All Others Pay Cash ini memulai kisahnya dengan memperkenalkan sang karakter utama, Ajo Kawir (Marthino Lio) – seorang pemuda yang memiliki disfungsi ereksi namun dikenal sebagai sosok petarung yang tangguh bagi lawan-lawannya. Suatu hari, Ajo Kawir bertemu dengan seorang petarung perempuan bernama Iteung (Ladya Cheryl – menandai kali ketiga dirinya diarahkan oleh Edwin) yang tidak hanya mampu menyaingi kemampuan berkelahinya, namun juga dapat mencuri hati dan rasa cintanya. Menerima kenyataan bahwa kekasihnya tidak akan dapat memuaskan hasrat seksualnya, Iteung lantas menikahi Ajo Kawir. Pernikahan tersebut awalnya berlangsung manis. Sayang, godaan yang datang dari seorang preman yang juga teman lama dari Iteung, Budi Baik (Reza Rahadian), kemudian menghancurkan hubungan tersebut.

Disfungsi ereksi dalam alur pengisahan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas jelas dimaksudkan hadir bukan hanya sebagai salah satu konflik yang harus dihadapi ataupun diselesaikan oleh sang karakter utama. Film ini menempatkan masalah ketidakmampuan penis dalam mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk berhubungan seksual sebagai sindiran bagi sebuah tatanan sosial dimana gambaran kejantanan begitu diagungkan. Seperti yang digambarkan pada karakter Ajo Kawir, yang demi menutupi kelemahan seksualnya lantas menempatkan dirinya sebagai sosok petarung yang siap untuk menghadapi siapapun yang mau melawannya. Gambaran akurat akan sebuah konstruksi maskulinitas yang dangkal dimana kejantanan sesosok lelaki hanya dipandang dari kemampuannya untuk menaklukkan lawan jenisnya atau keberhasilannya untuk menyakiti atau menyingkirkan para pesaingnya.

Keberadaan penulis novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang berkolaborasi dengan Edwin dalam penulisan naskah cerita juga menjadi salah satu kunci sukses penuturan film. Film ini dengan cekatan menyarikan berbagai bentuk kritik sosial dan politik yang dipaparkan oleh novel buatan Kurniawan dalam sejumlah plot ceritanya. Deskripsi akan berbagai arogansi kekuasaan serta tindakan represif dan otoriter yang dikenal menjadi ciri pemerintahan rezim Soeharto dihadirkan melalui karakterisasi sejumlah karakter dengan latar belakang militer yang hadir di linimasa pengisahan.

Tentu saja, sentuhan tangan Edwin pada pengarahan cerita memastikan kehadiran beberapa adegan dengan nuansa surealis – yang dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, muncul ketika sosok Jelita (Ratu Felisha) merasuk ke badan penceritaan. Kehadiran sosok sensual tersebut memberikan bumbu mistis pada alur pengisahan film sekaligus dapat memainkan imajinasi penonton tentang siapa sosok tersebut sebenarnya: Apakah ia adalah jelmaan karakter Rona Merah (Djenar Maesa Ayu) yang menjadi karakter krusial dalam sejarah hidup karakter Ajo Kawir? Atau dirinya merupakan bayangan (baca: hantu) dari masa lalu yang sedang mencoba menuntaskan dendam? Edwin, tentu saja, tidak akan memberikan jawaban pasti dan membiarkan penonton terbang dan mereka-reka sendiri akan perjalanan cerita yang sedang berlangsung.

Meskipun dengan gempuran banyak tema cerita yang dihadirkan, jiwa penceritaan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas tidak pernah bergeser dari hubungan romansa yang terjalin antara karakter Ajo Kawir dan Iteung. Dimulai dari momen ketika alur pengisahan film ini mempertemukan keduanya, Edwin kemudian tidak pernah membiarkan hubungan yang terjalin antara kedua karakter meninggalkan layar. Bahkan ketika kedua karakter sedang berkelana di jalannya masing-masing – ketika karakter Iteung berusaha memaafkan kesalahan dirinya dengan “membalaskan dendam” sang suami dari masa lampau, sementara karakter Ajo Kawir bertualang di jalur lintas Jawa-Sumatera untuk berdamai dengan luka hatinya – kisah kasih keduanya menjadi energi yang mendorong maju pengisahan film. Kisah romansa tidak biasa yang mampu menjadi benteng cerita yang lembut dan menggugah diantara tema akan kekerasan dan pengkhianatan yang mengitarinya. Mungkin menjadi kisah romansa termanis yang pernah hadir dalam film garapan Edwin.

Hangatnya percintaan antara karakter Ajo Kawir dan Iteung tentu dapat dirasakan berkat chemistry yang sangat meyakinkan yang terbentuk antara Lio dan Cheryl. Penampilan keduanya membuat penonton dapat terhanyut dalam manis dan getir perjalanan cinta yang dialami oleh dua karakter yang mereka perankan. Penampilan Cheryl juga menjadi sorotan tersendiri bagi presentasi cerita film. Sebagai sosok Iteung yang tangguh dan tahu pasti akan apa yang diinginkannya, Cheryl menghidupkan karakternya secara kuat dan memastikannya tidak akan lekang dari ingatan penonton dengan segera. Departemen akting juga menghadirkan kualitas penampilan solid. Sal Priadi dan Kevin Ardilova menjadi sosok pendamping yang menyenangkan bagi karakter Ajo Kawir yang diperankan Lio. Piet Pagau memberikan sentuhan misterius yang berkesan menyeramkan akan sosok Paman Gembul. Rahadian, tentu saja, membuktikan dirinya selalu siap untuk menjawab setiap tantangan peran yang diberikan padanya. Dan penampilan Felisha sebagai Jelita hadir terbatas namun begitu mencuri perhatian.

Berbekal latar belakang waktu penceritaan yang terjadi di era ‘80an, Edwin lantas mengemas Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas layaknya film-film aksi kelas B yang dimunculkan dari penuturan dialog, detil akan tampilan tata busana, rias, dan rambut, hingga pemanfaatan efek visual yang sengaja tergarap kasar di beberapa bagian adegan film. Penggunaan kamera analog dan film seluloid 16 mm yang dikendalikan oleh sinematografer Akiko Ashizawa untuk menangkap adegan-adegan film juga semakin menenggelamkan penonton pada kesan otentik akan era ‘80an yang dibawakan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Paduan antara kehandalan teknis film dengan kemampuan Edwin untuk memberikan kontrol yang begitu lugas pada pergantian warna cerita dari aksi, romansa, misteri, hingga komedi menjadikan 115 menit durasi pengisahan terasa sebagai pengalaman sinema yang begitu menghipnotis.

popcornpopcornpopcornpopcornpopcorn2

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021)

Directed by Edwin Produced by Meiske Taurisia, Muhammad Zaidy Written by Edwin, Eka Kurniawan (screenplay), Eka Kurniawan (novel, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Starring Marthino Lio, Ladya Cheryl, Sal Priadi, Reza Rahadian, Ratu Felisha, Kevin Ardilova, Lukman Sardi, Eduwart Manalu, Djenar Maesa Ayu, Kiki Narendra, Piet Pagau, Yudi Ahmad Tajudin, Ayu Laksmi, Christine Hakim, Cecep Arif Rahman, Elly D. Luthan Cinematography Akiko Ashizawa Edited by Lee Chatametikool Music by Dave Lumenta Production companies Palari Films/Phoenix Films/E&W Films/Match Factory Productions/Bombero International/Kaninga Pictures Running time 115 minutes Country Indonesia Language Indonesian

2 thoughts on “Review: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s