Memulai karir penyutradaraannya dengan mengarahkan film horor House of Wax (2005) dan Orphan (2009) untuk kemudian secara perlahan mendapatkan rekognisi lebih luas berkat kesuksesan film-film aksi dan thriller berskala kecil namun dengan pengisahan yang sangat efektif seperti Unknown (2011), Non-Stop (2014), Run All Night (2015), dan The Commuter (2018) – yang kesemuanya dibintangi Liam Neeson, Jaume Collet-Serra kini didapuk DC Films dan Warner Bros. Pictures untuk mengarahkan film pahlawan super Black Adam yang dibintangi Dwayne Johnson. Namun, sebelum Collet-Serra merilis film lepasan dari Shazam! (David F. Sandberg, 2019) yang akan menjadi film kesebelas dalam seri film DC Extended Universe tersebut, Collet-Serra dan Johnson bekerjasama untuk film petualangan Jungle Cruise yang diproduksi oleh Walt Disney Pictures dan, seperti halnya seri film Pirates of the Caribbean (2003 – 2017), alur ceritanya diinspirasi dari wahana atraksi bernama sama yang terdapat di Disneyland.
Dengan naskah cerita yang digarap oleh Michael Green (The Call of the Wild, 2020), serta Glenn Ficarra dan John Requa (Focus, 2015), Jungle Cruise yang memiliki latar belakang waktu pengisahan di tahun 1916 ini berkisah tentang perjalanan yang dilakukan oleh Dr. Lily Houghton (Emily Blunt) bersama dengan adiknya, MacGregor Houghton (Jack Whitehall), ke pedalaman hutan Amazon di wilayah Brazil untuk menemukan sebuah pohon legenda yang dipercaya menghasilkan bunga yang dapat digunakan untuk mengobati semua jenis penyakit. Untuk mengawal perjalanan berbahaya dalam mengarungi Sungai Amazon tersebut, Dr. Lily Houghton mempekerjakan seorang nahkoda kapal bernama Frank Wolff (Johnson) yang, meskipun seringkali terlihat memiliki sikap yang kurang meyakinkan, mampu membuktikan bahwa dirinya mengenal dengan baik berbagai sisi Sungai Amazon yang sebelumnya tidak begitu banyak diketahui informasi keberadaannya. Namun, tantangan datang tidak hanya dari situasi alam yang mereka jelajahi. Perjalanan Dr. Lily Houghton bersama dengan MacGregor Houghton dan Frank Wolff mendapatkan banyak halangan dari Prince Joachim (Jesse Plemons), seorang anggota kerajaan Jerman yang juga berambisi menemukan pohon legenda tersebut untuk dimanfaatkannya dalam mempertangguh kekuatan militer negaranya.
Harus diakui, Collet-Serra cukup piawai dalam menghamparkan potensi yang dimiliki oleh Jungle Cruise untuk menjadi sajian kisah petualangan yang menyenangkan melalui momen-momen pengenalan para karakter serta sejumlah konflik awal yang harus mereka lalui. Sayangnya, daripada terus berfokus untuk menyajikan pengembangan cerita, konflik, maupun karakter yang apik, Jungle Cruise secara perlahan lebih memilih untuk tenggelam dan bergantung pada presentasi efek visual nan megah untuk menangkap perhatian setiap mata yang memandangnya. Teknik tersebut, yang dipadukan oleh Collett-Serra dengan ritme penuturan yang bergerak cepat, memang mampui memberikan sejumlah kesan sinematis yang menghibur. Namun, dengan ketiadaan bangunan cerita yang benar-benar kokoh, Jungle Cruise lebih sering terasa hambar.
Collett-Serra cukup beruntung mendapatkan talenta-talenta berkualitas tinggi untuk mengisi departemen akting filmnya. Barisan penampilan dari Johnson, Blunt, Whitehall, Plemons, Édgar Ramírez, hingga Paul Giamatti seringkali menjadi kunci penting dalam menyelamatkan kualitas penceritaan Jungle Cruise untuk tidak terperosok jatuh lebih dalam meskipun karakter-karakter yang mereka perankan hadir dengan pengelolaan yang sering terasa dangkal. Johnson dan Blunt sendiri berhasil merangkai chemistry yang meyakinkan untuk hubungan yang terjalin antara dua karakter yang mereka perankan. Bangunan hubungan yang klasik, dua karakter yang awalnya kurang menyukai satu sama lain, namun Johnson dan Blunt sukses menjadikan interaksi yang terjalin antara mereka tampil hidup dan menyenangkan. Whitehall juga cukup mampu mengimbangi penampilan akting yang dihadirkan Johnson dan Blunt. Sementara Plemons selalu mampu untuk menghadirkan kegilaan yang mencuri perhatian dalam tiap adegan yang melibatkan kehadiran karakternya.
Bagian yang paling mengecewakan dari presentasi Jungle Cruise jelas datang dari betapa banyaknya potensi cerita yang dapat dirasakan hadir dari presentasi film ini namun kemudian gagal untuk dikembangkan secara utuh. Elemen kisah petualangan yang harus dihadapi oleh tiap karakter terasa setengah matang. Dibalut dengan tampilan efek visual yang mumpuni, memang, tetapi tidak pernah dapat meninggalkan kesan yang lebih mendalam akibat olahan cerita yang dangkal. Hubungan antara karakter Frank Wolff dan Dr. Lily Houghton yang sempat diisyaratkan berkembang menjadi hubungan romansa – dan memberikan harapan akan sebuah kisah cinta berlatarbelakang drama petualangan a la Romancing the Stone (Robert Zemeckis, 1984) – juga terlambat untuk hadir dan akhirnya berlalu begitu saja. Tidak mengherankan, dengan durasi yang berjalan selama 127 menit, Jungle Cruise berakhir sebagai sajian yang cukup melelahkan untuk diikuti.
Jungle Cruise (2021)
Directed by Jaume Collet-Serra Produced by John Davis, John Fox, Beau Flynn, Dwayne Johnson, Dany Garcia, Hiram Garcia Written by Michael Green, Glenn Ficarra, John Requa (screenplay), John Norville, Josh Goldstein, Glenn Ficarra, John Requa (story) Starring Dwayne Johnson, Emily Blunt, Édgar Ramírez, Jack Whitehall, Jesse Plemons, Paul Giamatti, Ben Jenkin, Veronica Falcón, Dani Rovira, Quim Gutiérrez, Dan Dargan Carter, Andy Nyman, Raphael Alejandro Cinematography Flavio Labiano Edited by Joel Negron Music by James Newton Howard Production companies Walt Disney Pictures/Davis Entertainment/Seven Bucks Productions/Flynn Picture Company Running time 127 minutes Country United States Languages English, German, Spanish
2 thoughts on “Review: Jungle Cruise (2021)”