Lebih dikenal lewat perannya dalam serial televisi seperti Frasier (1998), Dollhouse (2009), atau Ballers (2018) serta deretan film seperti Orange County (Jake Kasdan, 2002), Diary of a Wimpy Kid: Rodrick Rules (David Bowers, 2011), atau The Cabin in the Woods (Drew Goddard, 2011) yang kebanyakan memiliki nada pengisahan komedi, mungkin cukup sukar untuk mengira bahwa film dengan warna cerita sekelam Mass ditulis dan diarahkan oleh aktor Fran Kranz. Premis ceritanya memang berjalan cukup sederhana. Namun, Kranz sepertinya tidak ingin hanya menyajikan sebuah penuturan drama biasa. Untuk menghasilkan efek emosional cerita yang lebih mendalam, Kranz mengambil sebuah jalur beresiko dengan menggunakan jumlah karakter terbatas yang kemudian saling berinteraksi di satu tempat yang sama di sepanjang pengisahan film. Berhasil?
Jalan cerita Mass sendiri berlangsung di masa sekarang dan dikisahkan terjadi di sebuah kota di Amerika Serikat dimana dua pasang orangtua, Jay (Jason Isaacs) dan Gail Perry (Martha Plimpton) serta Richard (Reed Birney) dan Linda (Ann Dowd), berencana untuk bertemu antara satu dengan yang lain untuk pertama kalinya. Pertemuan mereka bukan sekedar untuk saling bercengkrama. Sebuah peristiwa penembakan terjadi di tempat anak-anak dari kedua pasangan tersebut bersekolah dan merenggut nyawa mereka. Peristiwa tragis tersebut mendorong Jay dan Gail Perry untuk menemui Richard dan Linda guna mengetahui apa yang sebenarnya memotivasi anak dari Richard dan Linda dalam melakukan penembakan yang membunuh sejumlah orang di sekolahnya, termasuk anak remaja dari Jay dan Gail Perry.
Menempatkan sejumlah karakter untuk saling bertukar dialog dalam satu ruang yang sama di sepanjang pengisahan sebuah film memang bukanlah satu tata pengisahan yang benar-benar baru. Tema mengenai dua pasang orangtua yang saling bertemu untuk membahas tentang anak-anak mereka juga sebelumnya pernah dihadirkan Roman Polanski lewat Carnage (2011) dengan menempatkan Jodie Foster, Kate Winslet, Christoph Waltz, dan John C. Reilly sebagai karakter para orangtua yang hampir tidak pernah berhenti berbicara di sepanjang durasi pengisahan film tersebut. Harus diakui, presentasi yang disajikan baik oleh Carnage maupun Mass memiliki kesan drama panggung yang begitu kental. Karenanya, tugas berat Kranz dalam mengeksekusi filmnya adalah untuk tetap menjaga serta mengikat perhatian penonton secara utuh meskipun mereka hanya dapat menyaksikan aksi drama panggung para aktornya melalui sebuah layar dan bukan secara langsung. Beruntung, Kranz memiliki kemampuan tersebut.
Dengan tema pengisahan yang bertutur tentang penembakan massal di sekolah – yang dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi isu sosial yang memanas bagi warga Amerika Serikat, Kranz secara perlahan mengembangkan alur pengisahannya. Dimulai dengan percakapan formal antara keempat karakternya, Kranz kemudian meningkatkan intensitas emosional yang terbentuk antara tiap karakter sembari membuka percakapan tentang spiritualitas, kepemilikan senjata, cara asuh orangtua dan lingkungan, tekanan dari teman sebaya, hingga masalah kesehatan mental. Briliannya, bahasan-bahasan tersebut tidak pernah dihadirkan secara tendensius atau terasa berniat untuk mengajari para penontonnya. Tata pengisahan Kranz menjadikan bahasan yang terbentuk antara para karakter mengalir layaknya percakapan biasa namun mengandung arti yang mendalam.
Kranz juga berhasil memberikan galian yang kuat bagi setiap karakternya. Tidak ada karakter yang terasa sebagai sosok yang disalahkan atau karakter yang hadir lebih menonjol daripada karakter lainnya. Mass menjadikan setiap karakter adalah korban dari sebuah situasi yang begitu memilukan. Eksekusi Kranz terhadap cerita dan karakternya juga mendapatkan dukungan yang sangat solid dari para pemerannya. Sukar untuk menentukan siapa yang paling bersinar lewat penampilan akting mereka dalam menghidupkan karakter-karakter yang mereka perankan karena setiap pemeran terasa saling memberikan dukungan antara satu dengan yang lain. Tiap pemeran hadir dengan momen kuat mereka tersendiri – elemen yang dengan mudah akan menyeret setiap penonton pada pergulatan emosional yang sedang dirasakan oleh setiap karakter dalam film ini. Di saat yang bersamaan, jelas akan sukar melupakan begitu saja momen final yang diberikan Dowd di film ini, dimana ia berkisah tentang salah satu momen hubungannya dengan anaknya, yang semakin menjadikan Mass tampil gemilang.
Mass, harus diakui, bukanlah sebuah pengalaman sinematis yang akan dapat dinikmati setiap orang. Tema pengisahan yang kelam dan berbaur dengan atmosfer penuturan yang sendu akan cukup mudah membuat sejumlah orang merasa hampa. Di saat yang bersamaan, eksekusi yang dilakukan Kranz terhadap filmnya tampil begitu intim dan kuat. Penuturan film ini mampu secara efektif meninggalkan “luka” bagi siapapun yang dapat memberikan ruang perhatian kepada penceritaannya. Sebuah debut pengarahan yang sangat mengesankan.
Mass (2021)
Directed by Fran Kranz Produced by Fran Kranz, Dylan Matlock, Casey Wilder Mott, J.P. Ouellette Written by Fran Kranz Starring Reed Birney, Ann Dowd, Jason Isaacs, Martha Plimpton, Breeda Wool, Kagen Albright, Michelle N. Carter Cinematography Ryan Jackson-Healy Edited by Yang Hua Hu Music by Darren Morze Production companies 7 Eccles Street/Circa 1888/5B Productions Running time 110 minutes Country United States Language English