Review: Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021)


Dengan kesuksesan yang mampu diraih oleh Black Panther (Ryan Coogler, 2018) yang diiringi dengan semakin membesarnya tuntutan sosial agar Marvel Studios (serta rumah produksi Hollywood lainnya) memberikan ruang yang lebih besar bagi karakter-karakter berkulit warna, Marvel Cinematic Universe memperkenalkan sosok pahlawan super barunya bernama Shang-Chi yang menjadi sosok pahlawan super dengan latar Asia pertama bagi seri film tersebut. Shang-Chi sendiri bukanlah sosok karakter baru dalam barisan buku komik yang dirilis oleh Marvel Comics. Juga dikenal sebagai Master of Kung Fu dan Brother Hand, karakter yang diciptakan oleh Steve Englehart dan Jim Starlin tersebut muncul pertama kali dalam Special Marvel Edition yang diterbitkan pada tahun 1973. Semenjak tahun 1980an, karakter Shang-Chi bahkan sempat berulang kali akan difilmkan dengan melibatkan sejumlah sutradara seperti Stephen Norrington (Blade, 1998) dan Yuen Woo-ping (Fist of Legend, 1994) namun selalu menemui kegagalan sebelum akhirnya, tentu saja, deretan kisah maupun karakter garapan Marvel Comics dikelola oleh Marvel Studios bersama dengan Walt Disney Studios.

Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings menjadi film pertama dalam seri Marvel Cinematic Universe yang menampilkan karakter Shang-Chi. Diarahkan oleh Destin Daniel Cretton (Short Term 12, 2003) berdasarkan naskah cerita yang ditulisnya bersama dengan Dave Callaham (Mortal Kombat, 2021) dan Andrew Lanham (Just Mercy, 2019), Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings menghadirkan garisan kisah yang cukup familiar guna memperkenalkan karakter pahlawan super barunya.

Dikisahkan, seorang pemuda bernama Shaun (Simu Liu) ternyata menyimpan sebuah rahasia tentang jati dirinya yang bahkan tidak pernah diberitahukannya pada sahabat baiknya, Katy (Awkwafina). Namun, hidupnya berubah ketika ia didatangi sejumlah orang yang berasal dari organisasi bernama Ten Rings yang berusaha mencuri liontin yang dahulu diberikan almarhumah ibunya, Ying Li (Fala Chen), kepada dirinya. Kepada Katy, Shaun akhirnya mengaku bahwa dirinya bernama asli Shang-Chi dan memiliki kemampuan kung fu yang handal. Kedatangan anggota organisasi Ten Rings lantas membawa Shang-Chi untuk bertemu dengan dua sosok dari masa lalunya, adiknya Xu Xialing (Meng’er Zhang) dan ayahnya Xu Wenwu (Tony Leung), yang telah sekian tahun ia hindari keberadaannya.

Sebagai sebuah presentasi “bersejarah” yang berniat untuk mengedepankan sosok-sosok karakter berdarah Asia dengan balutan cerita yang memiliki latar budaya Asia yang kental untuk pertama kalinya dalam pengisahan seri film Marvel Cinematic Universe, Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings terasa begitu generik dalam penuturannya. Bangunan karakter yang digunakan bagi sosok karakter utamanya tidak lebih dari sekedar karakterisasi familiar pada karakter-karakter berkulit putih yang awalnya diceritakan sebagai sosok tanpa masa depan jelas dengan berbagai problema hidup di masa lampau yang secara perlahan kemudian berusaha untuk mengenali jati dirinya, menghadapi permasalahan-permasalahan yang biasanya ia acuhkan begitu saja, serta berkembang menjadi sosok pahlawan yang dapat diandalkan oleh orang-orang yang berada disekitarnya. Karakterisasi usang ini mungkin masih dapat tampil menarik jika naskah cerita Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings menyajikannya dengan jalinan konflik yang padat, kuat, serta mampu terkelola dengan baik. Hal tersebut, sayangnya, tidak terjadi pada film ini.

Konflik-konflik yang dihadapi sang karakter utama terasa sebagai deretan konflik standar yang harus dilalui guna mendapatkan pemahaman yang lebih baik akan dirinya. Tidak pernah tergali secara mendalam. Sentuhan humor yang digariskan Cretton, Callaham, dan Lanham lewat interaksi dialog yang terjalin antar karakter juga tidak sepenuhnya mampu menghadirkan momen-momen menghibur. Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings justru mampu hadir dengan pengisahan yang lebih dinamis ketika linimasa penceritaan film ini menjauh dari sosok karakter utamanya dan bertutur tentang sejumlah karakter pendukung seperti Xu Xialing, Xu Wenwu, serta Ying Nan (Michelle Yeoh). Padanan antara penampilan Leung yang kharismatik dengan linimasa penceritaan karakternya yang emosional bahkan seringkali tampil jauh lebih menarik untuk diikuti daripada alur kisah karakter Shang-Chi yang dipenuhi dengan berbagai formula kisah kepahlawanan yang begitu klise.

Kharisma besar Leung juga memberikan bayang-bayang yang besar bagi penampilan Liu. Penampilan akting yang diberikannya memang tidaklah benar-benar buruk. Namun, di saat yang bersamaan, Liu masih terasa kaku dalam sejumlah adegan, gagal untuk menghadirkan chemistry yang lebih meyakinkan dengan Awkwafina ataupun pemeran-pemeran lain yang berada di dalam satu adegan dengan dirinya, dan, yang paling fatal, begitu mudah tenggelam ketika disandingkan dengan Leung, Yeoh, maupun Awkwafina yang lebih terasa lugas dalam menghidupkan tiap adegan yang menyertakan karakter-karakter yang mereka perankan. Liu mungkin bukanlah pilihan yang salah untuk ditempatkan sebagai seorang pemeran karakter pahlawan super utama namun penampilan Liu jelas membutuhkan asahan yang lebih tegas agar karakter yang ia perankan dapat tampil sejajar dan berimbang dengan karakter-karakter pahlawan super lain yang berada dalam linimasa pengisahan Marvel Cinematic Universe.

Terlepas dari sejumlah permasalahan pada penuturan ceritanya, Cretton masih cukup mampu untuk mengeksekusi Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings menjadi presentasi yang dapat menghadirkan momen-momen sinematis yang menyenangkan. Layaknya film-film dalam linimasa pengisahan Marvel Cinematic Universe lainnya, film ini hadir dengan tatanan audio dan visual yang kuat – meskipun tampilan efek visualnya terasa goyah di sejumlah adegan. Tampilan linimasa pengisahan linimasa pengisahan Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings mampu mewujudkan potensi maksimalnya ketika Cretton menggunakan pengaruh budaya maupun film-film laga Asia dalam alur pengisahan film ini. Adegan-adegan pertarungannya yang banyak mendapatkan pengaruh dari film-film wuxia mampu memberikan energi yang acapkali terasa hampa di sejumlah bagian pengisahan film ini. Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings jelas bukanlah presentasi terbaik yang dapat diberikan oleh Marvel Cinematic Universe. Namun, sebagai langkah awal, Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings jelas menjanjikan potensi yang cukup menarik untuk dilihat perkembangannya di masa yang akan datang.

popcornpopcornpopcornpopcorn2popcorn2

Shang-Chi-and-the-Legend-of-the-Ten-Rings-simu-liu-movie-posterShang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021)

Directed by Destin Daniel Cretton Produced by Kevin Feige, Jonathan Schwartz Written by Dave Callaham, Destin Daniel Cretton, Andrew Lanham (screenplay), Dave Callaham, Destin Daniel Cretton (story), Steve Englehart, Jim Starlin (charactersStarring Simu Liu, Awkwafina, Meng’er Zhang, Fala Chen, Florian Munteanu, Benedict Wong, Michelle Yeoh, Ben Kingsley, Tony Leung, Ronny Chieng, Yuen Wah, Jodi Long, Dallas Liu, Paul He, Tsai Chin, Andy Le, Stephanie Hsu, Kunal Dudhekar, Zach Cherry, Dee Baker, Jade Xu, Tim Roth, Mark Ruffalo, Brie Larson, Jayden Zhang, Arnold Sun, Elodie Fong, Harmonie He Cinematography William Pope Edited by Nat Sanders, Elísabet Ronaldsdóttir, Harry Yoon Music by Joel P. West Production company Marvel Studios Running time 132 minutes Country United States Language English

5 thoughts on “Review: Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s