Entah sampai kapan MD Pictures dan Pichouse Films akan terus “mengeksploitasi” kisah dari sesosok karakter supranatural bernama Asih yang diangkat dari seri novel garapan Risa Saraswati ini. Film sebelumnya, Asih (Awi Suryadi, 2018) – yang merupakan pengembangan cerita dari semesta pengisahan seri film Danur yang telah dimulai oleh Danur: I Can See Ghosts (2017) dan Danur 2: Maddah (2018) yang keduanya juga diarahkan oleh Suryadi, berupaya untuk memberikan perhatian utama pada sosok karakter supranatural tersebut. Sayangnya, alur cerita, gambaran penokohan, hingga teknik penyajian momen-momen horornya terasa tidak lebih dari sekedar daur ulang dari elemen-elemen cerita yang telah ditampilkan dalam dua film sebelumnya. Meskipun begitu, dirilis di tahun yang sama dengan perilisan Danur 2: Maddah, Asih masih mampu meraih kesuksesan komersial dengan mendapatkan lebih dari 1,7 juta penonton selama masa perilisannya. Tidak mengherankan jika MD Pictures dan Pichouse Films dengan mudah melanjutkan rencana perilisan dari film-film lanjutan dalam semesta pengisahan Danur.
Meskipun naskah ceritanya masih dikerjakan oleh Lele Laila yang telah menulisakan naskah cerita untuk semua film dalam semesta pengisahan Danur, kursi penyutradaraan pada Asih 2 kini diduduki oleh Rizal Mantovani (Kuntilanak 2, 2019). Well… jangan berharap banyak pada keberadaan Mantovani. Asih 2 masih saja berkutat pada konflik maupun problema pengisahan yang serupa dengan seri pendahulunya. Kali ini, sosok utamanya diperankan oleh Marsha Timothy dan Ario Bayu – yang tampil didampingi rambut palsu yang melekat di sepanjang presentasi film ini – yang berperan sebagai pasangan Sylvia dan Razan. Empat tahun setelah kehilangan putri mereka dalam sebuah kecelakaan, Sylvia dan Razan mencoba untuk mengadopsi seorang anak perempuan yang kemudian mereka beri nama Ana (Anantya Rezky). Seperti yang dapat mudah diduga, kedatangan Ana ke kediaman Sylvia dan Razan lantas membawa sejumlah misteri. Ana seringkali berbicara dengan sosok yang tidak dapat dilihat orang lain sedangkan Sylvia dan Razan mulai mendapatkan sejumlah teror supranatural.
Rasanya sutradara horor sekelas James Wan atau bahkan Ari Aster akan takluk jika diberikan naskah cerita film yang memiliki kualitas seburuk Asih 2 – walaupun Wan atau Aster kemungkinan besar akan menemukan cara untuk memberikan sentuhan pengisahan yang lebih atraktif pada film garapan mereka. Sama sekali tidak ada sentuhan cerita yang baru maupun menyenangkan dalam naskah cerita yang dihasilkan oleh Laila. Jika tidak memberikan repetisi konflik ataupun karakterisasi dari film-film dalam semesta pengisahan Danur sebelumnya, Asih 2 nyaris hanya berisi adegan-adegan dari barisan karakter yang terlihat kebingungan dalam menghadapi misteri yang menyapa mereka ataupun pelafalan yang benar dari lirik lagu Indung-indung yang kali ini digemakan nyaris di seluruh sudut pengisahan film. Come on! Tren untuk menggubah lagu anak atau lagu daerah menjadi sebuah senandung yang memiliki kesan mengerikan telah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Enough already. Daripada memberikan atmosfer horor, penggunaan lagu-lagu tersebut, yang seringkali diulang berulang, ulang kali dalam linimasa penceritaan sebuah film, justru menghasilkan kesan yang sangat, sangat mengganggu.
Pengarahan yang diberikan Mantovani sendiri tidak mampu memberikan perlawanan apapun terhadap kualitas buruk dari naskah cerita Asih 2. Paruh pertama dari pengisahan film ini sebenarnya berusaha untuk memberikan pendalaman emosional dengan pendekatan drama yang kental dari bangunan hubungan antara karakter Sylvia dan Ana. Namun, di menit pertama karakter Asih (Shareefa Daanish) mulai menunjukkan diri serta mengeluarkan teriakan nyaringnya, seluruh ritme penceritaan Asih 2 berubah menjadi ajang pameran adegan-adegan horor yang berniat untuk mengejutkan para penontonnya. Setidaknya Daanish kali ini diberikan banyak momen untuk “menunjukkan” kapabilitas aktingnya daripada sekedar dihadirkan sebagai potongan-potongan penampilan penghasil momen horor seperti pada Asih. Leila juga berusaha menghadirkan benang merah pengisahan antara Asih 2 dengan Danur: I Can See Ghosts di akhir penceritaan film. Sebuah pilihan cerita yang cukup menarik meskipun tidak terlalu kuat berkat eksekusi yang telah terlampau lemah semenjak awal.
Kualitas presentasi cerita Asih 2 nyaris hanya bergantung pada penampilan para pengisi departemen aktingnya. Timothy dan Bayu berusaha keras untuk menghidupkan karakter-karakter yang mereka perankan meskipun galian kisah yang diberikan pada seluruh karakter yang hadir di linimasa pengisahan Asih 2 terasa begitu dangkal – khususnya karakter Razan yang diperankan Bayu dan nyaris tidak diberikan peran krusial apapun dalam film ini. Timothy mengeksekusi karakternya dengan lugas. Asih 2 memang banyak menumpukan beban ceritanya pada karakter Sylvia dan, beruntung, Timothy adalah aktris yang handal untuk menangani beban tersebut. Karakter Ana juga dihadirkan dengan cukup meyakinkan oleh Rezeky. Sayang, penampilan Ruth Marini, Marini, dan Ully Triani tidak mendapatkan eksplorasi yang lebih baik berkat penulisan galian karakter yang begitu terbatas.
Bukan seri terburuk dalam semesta pengisahan Danur namun, dengan kualitas presentasi ceritanya yang lemah, Asih 2 tetaplah menjelma menjadi sebuah perjalanan kisah horor yang begitu melelahkan (dan membosankan).





Directed by Rizal Mantovani Produced by Manoj Punjabi Written by Lele Laila (screenplay), Risa Saraswati (book, Asih) Starring Marsha Timothy, Ario Bayu, Shareefa Daanish, Anantya Rezky, Ruth Marini, Graciella Abigail, Darius Sinathrya, Marini Soerjosoemarno, Ully Triani, Ingrid Widjanarko, Kenya Nindia, Sarah Presli Music by Ricky Lionardi Cinematography Yadi Sugandi Editing by Firdauzi Trizkiyanto Studio MD Pictures/Pichouse Films Running time 104 minutes Country Indonesia Language Indonesian
2 thoughts on “Review: Asih 2 (2020)”