Review: Layla Majnun (2021)


Setelah Test Pack: You Are My Baby (2012), sutradara Monty Tiwa kembali mempertemukan Reza Rahadian dengan Acha Septriasa dalam film arahannya yang terbaru, Layla Majnun. Merasa familiar dengan judul tersebut? Meskipun bukanlah adaptasi langsung dari kumpulan puisi legendaris Layla and Majnun karangan sastrawan asal Azerbaijan, Nezami Ganjavi, namun naskah cerita film yang ditulis oleh Alim Sudio (Mariposa, 2020) masih menggunakan esensi serta tema cerita senada seperti yang diusung oleh barisan puisi karya Ganjavi yang alur kisahnya mendapat julukan The Romeo and Julie of the East karena kandungan cerita cinta tak berbalasnya yang mengingatkan banyak orang pada kisah Romeo and Juliet yang ditulis oleh William Shakespeare. Lalu bagaimana eksplorasi cerita yang dilakukan oleh Tiwa dan Sudio dalam mengelola alur dan konflik romansa yang sebenarnya telah dituturkan berulang kali?

Dalam Layla Majnun, Septriasa berperan sebagai Layla, seorang penulis novel yang dalam kesehariannya juga bertugas sebagai pengajar di sebuah pondok pesantren. Berkat kesuksesan novel yang ia tulis, Layla mendapatkan undangan untuk menjadi dosen tamu di Azerbaijan. Tanpa disangka, selain berkesempatan untuk untuk membagikan ilmunya tentang sastra Indonesia bagi sekelompok pemuda Azerbaijan yang sedang mempelajari budaya Indonesia, Layla juga bertemu dan berkenalan dengan seorang pemuda setempat bernama Samir (Rahadian) yang dengan segera mencuri hati dan perhatian Layla. Sayang, hubungan keduanya terhalang oleh janji yang telah dibuat oleh Layla kepada Ibnu (Baim Wong) bahwa dirinya akan menikahi teman masa kecilnya tersebut sepulang dirinya menyelesaikan tugas di Azerbaijan. Layla merasa janji yang telah ia ucapkan pada Ibnu adalah sebuah tanggungjawab yang wajib ia penuhi.

Harus diakui, sulit untuk benar-benar dapat menghasilkan ikatan emosional yang kuat pada setiap konflik maupun karakter yang tampil dalam linimasa penceritaan Layla Majnun ketika naskah cerita garapan Sudio disajikan dalam kualitas yang begitu lemah. Selepas membuka pengisahan dengan memperkenalkan karakter-karakternya, Layla Majnun kemudian menghabiskan waktunya dengan putaran kisah yang terbentuk dari interaksi yang terjadi antara karakter Layla dengan Samir. Sederhana, namun kemudian dibumbui dengan konflik-konflik minor tentang sejumlah karakter sampingan yang sebenarnya tidak begitu berarti keberadaannya atau momen-momen yang sepertinya sengaja diciptakan agar film ini dapat diisi dengan gambar-gambar indah akan seputaran wilayah negara Azerbaijan. Tidak mengherankan, dengan durasi pengisahan yang berjalan hingga 119 menit, Layla Majnun lantas terasa begitu monoton dan sangat membosankan.

Intensitas cerita Layla Majnun baru mulai terasa meningkat ketika cinta segitiga antara karakter Samir, Layla, dan Ibnu mulai dihadirkan secara frontal di paruh akhir film. Tidak berpengaruh banyak selain untuk memberikan kesempatan lebih besar bagi Wong dalam menampilkan akting berlebihannya akan sosok karakter yang sedang merasa cemburu maupun marah yang begitu meledak-ledak. Layla Majnun semakin terasa konyol ketika menghadirkan akhir ceritanya. Mulai dari kematian sosok karakter yang semenjak awal tidak pernah berarti apa-apa dalam pengisahan film ini hingga kemunculan sosok karakter yang kemudian menyelamatkan karakter Samir dan Layla ketika mereka sedang berada di depan pintu kematian. Berbagai inkonsistensi dan lubang cerita sepertinya diikhlaskan begitu saja kehadirannya demi menutup cerita yang semenjak awal memang tidak pernah mampu terbangun dengan baik.

Penampilan akting yang dihadirkan Rahadian dan Septriasa memang menjadi satu-satunya elemen yang bernilai positif dalam presentasi Layla Majnun. Meskipun aksen dan olah vokal yang dihadirkannya sering terasa timbul dan tenggelam, namun Rahadian memang masih mampu menghidupkan sosok Samir yang begitu mengharapkan perhatian dan cinta dari karakter Layla. Chemistry yang ia tampilkan dengan Septriasa juga cukup meyakinkan, khususnya ketika Septriasa juga berhasil menghadirkan karakternya sebagai sosok yang cukup terasa emosional. Sejujurnya, departemen akting Layla Majnun diisi dengan talenta-talenta akting yang dikenal handal seperti Landung Simatupang, Dian Nitami, hingga August Melasz. Tragisnya, pengembangan kisah yang diberikan pada karakter-karakter yang mereka perankan begitu dangkal sehingga membuat penampilan mereka terasa sia-sia kehadirannya. Cukup buruk.

Layla Majnun (2021)

Directed by Monty Tiwa Produced by Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Written by Alim Sudio (screenplay), Monty Tiwa, Alim Sudio (story) Starring Acha Septriasa, Reza Rahadian, Baim Wong, Dian Nitami, Beby Tsabina, Uli Herdinansyah, Natasha Rizki, Eriska Rein, Landung Simatupang, August Melasz, Chantiq Schagerl, Cut Ashifa, Aida Cabiyeva, Angelia Livie, Murad Ismayil, Nadya Arina, Augie Fantinus Music by Andi Rianto Cinematography Anggi Frisca Edited by Cesa David Luckmansyah, Apriady Fathullah Sikumbang Production company Starvision Running time 119 minutes Country Indonesia Language Indonesian, Azerbaijani

3 thoughts on “Review: Layla Majnun (2021)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s