Jika Wonder Woman (Patty Jenkins, 2017) bercerita tentang asal-usul serta latar belakang kehidupan dari karakter Diana Prince/Wonder Woman (Gal Gadot) maka Wonder Woman 1984 membawa pengisahan sang karakter utama ke satu periode dalam kehidupannya pada tahun 1984. Dikisahkan, Diana Prince bekerja sebagai seorang antropolog di kota Washington, D.C. sembari, tentu saja, meneruskan tugasnya untuk memerangi tindak kejahatan dengan menggunakan identitasnya sebagai Wonder Woman. Satu hari, ketika ia sedang mengobrol dengan rekan kerjanya yang merupakan seorang arkeolog, Barbara Minerva (Kristen Wiig), keduanya membahas tentang penemuan sebuah batu kuno misterius yang dikenal dengan nama Dreamstone karena disebut-sebut dapat mewujudkan tiap keinginan dari orang yang memegangnya. Tanpa disengaja, Diana Prince dan Barbara Minerva lantas mengungkapkan harapannya – yang nantinya akan terwujud dan memberikan konflik tersendiri bagi keduanya. Kehadiran Dreamstone ternyata juga memikat perhatian seorang pengusaha bernama Maxwell Lord (Pedro Pascal) yang berusaha untuk mendapatkan batu tersebut untuk mewujudkan berbagai ambisinya.
Untuk sebuah film yang memiliki durasi pengisahan selama 151 menit – sepuluh menit lebih lama dari film pendahulunya – Wonder Woman 1984, sayangnya, memiliki pondasi bangunan pengisahan yang terlalu minimalis – jika tidak ingin melabelinya sebagai berkualitas lemah. Premis yang dihadirkan dalam naskah cerita garapan Jenkins bersama dengan Geoff Johns (Aquaman, 2018) dan David Callaham (Zombieland: Double Tap, 2019) tentang ambisi manusia untuk berkuasa dan menguasai dunia memang terasa megah – dan jelas relevan dengan berbagi isu sosial politik terkini. Namun, tanpa dukungan pengembangan plot serta konflik yang solid, premis tersebut lantas berakhir sebagai sajian yang terhidang setengah matang dengan penyampaian yang cenderung lamban dan bertele-tele. Tidak pernah benar-benar mampu untuk menghasilkan rasa keterikatan terhadap cerita secara utuh.
Meskipun dibawakan dengan apik oleh Pascal dan Wiig, penggalian cerita yang diberikan pada dua sosok karakter antagonis yang harus dihadapi oleh karakter Wonder Woman dalam film ini juga terasa datar. Hal ini masih ditambah dengan pilihan untuk menyelesaikan konflik dengan kedua karakter tersebut secara terburu-buru dan jauh dari mengesankan: adegan pertarungan final Wonder Woman dengan Barbara Minerva/Cheetah tertata secara medioker dan berakhir begitu saja sementara permasalahan pelik dan besar yang diciptakan oleh sosok Maxwell Lord diselesaikan dengan… well… sebuah khotbah tentang pentingnya berbuat baik antar manusia yang disampaikan oleh karakter Wonder Woman. Karakter Steve Trevor (Chris Pine) yang dihadirkan kembali di film ini juga sebenarnya tidak memiliki arti yang krusial selain untuk, tentu saja, memberikan warna cerita romansa pada perjalanan cerita Wonder Woman 1984. Untungnya, elemen romansa antara kedua karakter mampu dikelola dengan baik dan seringkali berhasil memberikan momen-momen hangat dalam presentasi film.
Banyaknya lapisan plot yang harus dilalui selama Wonder Woman 1984 bercerita memang membuat ritme bercerita Jenkins menjadi terasa lamban. Wonder Woman 1984 mungkin dapat tampil bercerita dengan lebih lincah jika Jenkins memilih untuk membuang sejumlah konflik serta plot minornya. Meskipun begitu, hampir sulit untuk menemukan momen yang memiliki kesan membosankan dalam penceritaan film ini. Jenkins mampu meramu filmnya dengan kualitas presentasi produksi yang meyakinkan. Adegan-adegan aksi dalam film ini tergarap baik dengan penataan efek visualnya mampu dihadirkan secara kuat – meskipun jauh dari kesan istimewa jika dibandingkan dengan film-film lain sepantarannya. Tata musik garapan Hans Zimmer juga mampu memberikan dorongan energi pada banyak adegan film. Tampilan tata rias, busana, serta desain artistik film akan mampu membawa penonton pada nuansa ‘80an yang meyakinkan.
Tentu saja, Gadot masih menjadi nyawa utama bagi presentasi Wonder Woman 1984. Gadot bahkan tampil lebih meyakinkan sebagai sang pahlawan super dari penampilan-penampilannya terdahulu. Chemistry yang ia hadirkan bersama dengan Pine juga tampil manis. Elemen yang membuat sebuah adegan yang melibatkan keduanya akan mampu menghasilkan sentuhan emosi yang mendalam pada siapapun yang melihatnya. Pascal hadir dengan penampilan yang meyakinkan dalam mendalami sosok Maxwell Lord yang penuh dengan tipu daya namun masih memiliki sentuhan humanis dalam jiwanya. Namun, mudah untuk merasakan bahwa Wiig memberikan penampilan yang paling mencuri perhatian. Wiig mampu memberikan sentuhan komikalnya pada sosok yang ia perankan. Sayang, karakter Barbara Minerva/Cheetah tidak mampu dihadirkan dengan tata pengisahan yang lebih baik. Para penggemar serial televisi Wonder Woman dari tahun 1970an tentu akan cukup dipuaskan dengan kehadiran Lynda Carter yang muncul di akhir film ini.
Wonder Woman 1984 (2020)
Directed by Patty Jenkins Produced by Charles Roven, Deborah Snyder, Zack Snyder, Patty Jenkins, Gal Gadot, Stephen Jones Written by Patty Jenkins, Geoff Johns, David Callaham (screenplay), Patty Jenkins, Geoff Johns (story), William Moulton Marston (comics, Wonder Woman) Starring Gal Gadot, Chris Pine, Kristen Wiig, Pedro Pascal, Robin Wright, Connie Nielsen, Amr Waked, Kristoffer Polaha, Natasha Rothwell, Ravi Patel, Gabriella Wilde, Lucian Perez, Oliver Cotton, Stuart Milligan, Patrick Lyster, Lynda Carter, Saïd Taghmaoui, Ewen Bremner, Eugene Brave Rock, Lucy Davis, Lilly Aspell, Lambro Demetriou, Jonny Barry Music by Hans Zimmer Cinematography Matthew Jensen Edited by Richard Pearson Production company DC Films/Atlas Entertainment/The Stone Quarry Running time 151 minutes Country United States Language English
2 thoughts on “Review: Wonder Woman 1984 (2020)”