Review: The Peanut Butter Falcon (2019)


Masih ingat dengan kisah klasik Adventures of Huckleberry Finn yang ditulis oleh Mark Twain dan dirilis pertama kali di Inggris pada tahun 1884? Well… cerita petualangan seorang karakter anak laki-laki bernama Huckleberry Finn yang melarikan diri dari kehidupannya yang dirasa kelam untuk kemudian bertemu dengan seorang karakter pria bernama Jim dan lantas memulai petualangan bersama guna mencari kebebasan tersebut menjadi sumber inspirasi bagi film yang ditulis dan diarahkan oleh duo sutradara Tyler Nilson dan Mike Schwartz, The Peanut Butter Falcon. Dalam The Peanut Butter Falcon, karakter Huckleberry Finn dihadirkan melalui sosok Zak (Zack Gottsagen) – seorang pemuda penderita Sindrom Down yang memilih melarikan diri dari panti jompo tempatnya dirawat demi mengejar impiannya untuk bertemu dengan seorang pegulat legendaris yang dikenal dengan sebutan The Salt Water Redneck (Thomas Haden Church). Dalam pelariannya, Zak lantas bertemu dengan Tyler (Shia LaBeouf) – penjelmaan bagi karakter Jim dalam kisah Adventures of Huckleberry Finn. Tyler sendiri sedang berada dalam kejaran Duncan (John Hawkes) dan Ratboy (Yelawolf) setelah Tyler secara sengaja membakar seluruh perangkap penangkap kepiting milik keduanya. Tyler awalnya tidak begitu menyukai Zak yang terus mengikuti perjalanannya. Namun, dapat diduga, secara perlahan keduanya mulai membangun persahabatan sekaligus melindungi satu sama lain.

The Peanut Butter Falcon memang tidak menawarkan sesuatu yang baru maupun segar dalam pengolahan atau pembangunan kisahnya. Jalinan cerita yang juga digarap oleh Nilson dan Schwartz hadir dengan struktur konflik maupun karakter yang dapat dengan mudah ditemukan pada film-film dengan tema inspiratif sejenis. Lihat saja pada kedua karakter utama. Meskipun tampil dengan gambaran kepribadian yang saling bertolak belakang, keduanya memiliki catatan masa lalu yang hampir serupa – karakter Zak digambarkan sebagai seorang penderita Sindrom Down yang ditinggalkan keluarganya serta dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya dan karakter Tyler adalah sosok seorang adik yang masih berduka atas kepergian sang kakak yang lantas membuat kehidupannya menjadi berantakan – dan tujuan masa depan yang sama-sama berniat untuk meninggalkan kehidupan masa sekarang yang dirasa begitu mengekang. Laju perjalanan kisah film lalu dikembangkan dengan berbagai problema yang harus dihadapi kedua karakter dalam petualangan mereka yang kemudian juga mempengaruhi kekuatan jalinan hubungan persahabatan antara kedua karakter.

Tata cerita yang terlalu familiar sebenarnya bukanlah sebuah masalah besar jika Nilson dan Schwartz mau sedikit berusaha untuk memberikan galian yang lebih mendalam terhadap berbagai konflik yang dihadirkan di sepanjang pengisahan The Peanut Butter Falcon. Sayang, konflik-konflik yang tercipta seringkali memiliki citarasa hanya sebagai perangkat demi kepentingan agar alur pengisahan film dapat terus berjalan. Tidak pernah benar-benar terasa esensial kehadirannya serta dikembangkan dengan cara yang dangkal pula. Usaha Nilson dan Schwartz untuk menjadikan film mereka sebagai sebuah presentasi yang “manis” dan hadir dengan pengisahan yang “penuh arti” juga seringkali terasa berlebihan – khususnya di paruh ketiga film dimana film ini memaksakan kehadiran unsur “keajaiban” daripada mempertahankan esensi kesan nyata yang telah dibangun semenjak awal film.

Sejujurnya, meskipun dengan naskah cerita yang berkesan datar, The Peanut Butter Falcon bukanlah sebuah presentasi yang buruk. Sebagai sebuah debut pengarahan film layar lebar perdana keduanya, Nilson dan Schwartz berhasil mengalirkan The Peanut Butter Falcon dengan baik. Anda mungkin merasa pengisahan film ini terlalu “manis” namun Anda jelas tidak dapat memungkiri kehangatan dan ketulusan penceritaan Nilson dan Schwartz yang hadir di tiap adegan. Kekuatan film juga didukung penuh oleh penampilan barisan pengisi departemen aktingnya. Gottsagen – dengan segala keterbatasan mental yang dimilikinya – menghadirkan penampilan yang akan memukau setiap orang yang menyaksikannya. LaBeouf sekali lagi membuktikan bahwa dirinya adalah aktor muda dengan kapabilitas akting yang sangat meyakinkan. Banyak momen terbaik dalam film ini hadir berkat penampilan LaBeouf yang begitu menggugah. Hal yang sama juga terasa dari penampilan solid Dakota Johnson. Dan meskipun karakter-karakter yang mereka perankan hadir dengan pengembangan kisah yang kurang maksimal, Hawkes, Church, dan Bruce Dern tetap memberikan penampilan akting yang mengesankan. Sebuah presentasi yang humanis.

popcornpopcornpopcornpopcorn2popcorn2

the-peanut-butter-falcon-shia-labeouf-movie-posterThe Peanut Butter Falcon (2019)

Directed by Tyler Nilson, Mike Schwartz Produced by Albert Berger, Christopher Lemole, Lije Sarki, David Thies, Ron Yerxa, Tim Zajaros Written by Tyler Nilson, Mike Schwartz Starring Shia LaBeouf, Dakota Johnson, John Hawkes, Bruce Dern, Zack Gottsagen, Jon Bernthal, Thomas Haden Church, Mick Foley, Jake “The Snake” Roberts, Yelawolf, Dylan Odom Music by Zachary Dawes, Noam Pikelny, Jonathan Sadoff, Gabe Witcher Cinematography Nigel Bluck Edited by Kevin Tent, Nathaniel Fuller Production company Armory Films/Lucky Treehouse/Bona Fide Productions/Endeavor Content Running time 98 minutes Country United States Language English

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s