Walau tidak secemerlang atau semengesankan tahun sebelumnya – dimana Jordan Peele merilis Get Out (2017) yang mendapatkan nominasi Best Picture di ajang The 90th Annual Academy Awards, Yorgos Lanthimos menghadirkan The Killing of a Sacred Deer, adaptasi layar lebar dari It (Andy Muschietti, 2017) menjadi film horor terlaris sepanjang masa, Split (2017) yang kembali memamerkan kehandalan tata cerita dan pengarahan M. Night Shyamalan, atau Joko Anwar yang menerapkan standar baru pengisahan horor bagi industri film Indonesia lewat Pengabdi Setan (2017) – rilisan horor di tahun 2018 jelas tidak tampil mengecewakan. Di tengah rilisan semacam A Quiet Place (John Krasinski, 2018), Suspiria (Luca Guadagnino, 2018), atau Annihilation (Alex Garland, 2018), penikmat film dunia menyaksikan kelahiran seorang pencerita kisah-kisah menyeramkan handal terbaru ketika Ari Aster merilis Hereditary (2018). Lewat film yang ia tulis dan arahkan tersebut, Aster mampu mengemas tema yang sebenarnya telah cukup familiar – yang secara kebetulan juga dapat ditemukan pada tiga film horor nasional yang dirilis secara berdekatan; Pengabdi Setan, Kafir (Azhar Kinoi Lubis, 2018), dan Sebelum Iblis Menjemput (Timo Tjahjanto, 2018) – menjadi sajian yang tidak hanya menakutkan namun juga berkelas, khususnya dengan adanya penampilan prima Toni Collette. Tidak salah jika banyak kritikus film menasbihkan film layar lebar perdana Aster tersebut sebagai sebuah film horor klasik yang baru.
Tidak lama berselang setelah Hereditary, Aster menghadirkan Midsommar yang sepertinya ingin membuktikan bahwa kesuksesan langkah awal pengarahan film panjang pertamanya bukanlah sebuah kebetulan belaka. Seperti halnya Hereditary, Aster memberikan fokus pengisahan Midsommar pada eksplorasi rasa duka yang dialami oleh sang karakter utama yang kemudian, secara perlahan, memberikan pengaruh serta konflik yang mendalam terhadap hubungan sang karakter utama terhadap karakter-karakter lain yang berada di sekitarnya. Namun, berbeda dengan Hereditary yang terasa lebih personal, Midsommar menghadirkan tata cerita dengan jumlah karakter yang lebih banyak, konflik yang cenderung lebih rumit, serta skala produksi yang lebih besar. Berhasil? Tentu saja. Dengan rasa kepercayaan dirinya yang juga semakin kuat dalam menghadirkan berbagai “tekanan psikologis” bagi penonton lewat alur cerita yang digarapnya, Midsommar akan mampu meninggalkan jejak mendalam di pemikiran setiap orang – bahkan lama setelah mereka selesai menyaksikannya.
Jalan cerita Midsommar sendiri dimulai ketika Christian Hughes (Jack Reynor) yang ingin bersenang-senang bersama teman-teman kampusnya, Josh (William Jackson Harper), Mark (Will Poulter), dan Pelle (Vilhelm Blomgren), dengan berwisata ke sebuah wilayah bernama Hälsingland di Swedia terpaksa harus mengajak serta kekasihnya, Dani Ardor (Florence Pugh), yang sebenarnya telah ingin diputuskannya semenjak beberapa waktu. Kunjungan mereka ke Hälsingland sendiri kemudian terfokus pada sebuah komunitas masyarakat yang menyebut diri mereka sebagai Hårga – sebuah komunitas yang terasa menjauhkan diri mereka dari peradaban modern demi mencapai kehidupan keseharian yang lebih daman dan tenteram. Hari-hari pertama masa liburan mereka terasa cukup menyenangkan meskipun Christian Hughes masih terasa terganggu dengan kehadiran Dani Ardor. Namun, keanehan demi keanehan mulai terjadi dalam keseharian komunitas Hårga. Deretan keanehan yang secara perlahan mulai membuka mata Christian Hughes, Dani Ardor, dan teman-temannya bahwa nyawa mereka sedang berada dalam bahaya.
Jika ingin menilik secara lebih mendalam, Aster sepertinya ingin menjadikan Midsommar sebagai pendamping dan/atau pelengkap bagi Hereditary. Jika Hereditary berkisah tentang sosok ibu yang kehilangan anak yang dicintainya maka Midsommar hadir sebagai sebuah romansa kelam dimana seorang gadis mulai kehilangan pijakan kisah kasih terhadap sosok pria yang dicintainya. Jika Hereditary tampil dalam latar belakang lingkungan pengisahan yang kebanyakan berada di masa malam maka penonton nyaris tidak pernah melihat hilangnya efek keberadaan matahari dalam pengisahan Midsommar. Dan, layaknya Hereditary, Midsommar sebenarnya dibangun dengan pola pengisahan horor yang sebenarnya telah cukup familiar. Mereka yang pernah menyaksikan Hostel (Eli Roth, 2005) jelas telah paham arah pengisahan Midsommar – sekaligus pelintiran kisah yang menanti untuk diungkap di paruh akhir film. Namun, tentu saja, Aster tidak hanya akan memanfaatkan aliran darah dan potongan tubuh untuk memberikan sensasi ketakutan pada penonton filmnya. Cara Aster untuk “menguliti” tiap karakter dan konflik dalam linimasa cerita Midsommar justru menjadi jalur yang lebih ampuh dalam mendorong kekuatan atmosfer horor film ini.
Disajikan dalam durasi pengisahan yang mencapai 147 menit, Midsommar bahkan tidak pernah terasa sia-sia atau bertele-tele atau membuang waktu pengisahannya. Semenjak film ini dimulai – dengan sebuah adegan pembuka yang secara cepat memberikan sergapan teror yang kuat, Midsommar kemudian bertutur dan membuka tabir misteri kisahnya secara perlahan. Di tangan sutradara yang kurang begitu handal, pilihan tersebut bisa saja menjadikan presentasi sebuah film secara keseluruhan menjadi terasa monoton. Aster jelas bukanlah seorang sutradara dengan kemampuan pengarahan yang standar. Lewat visi pengisahan dan penyutradaraan yang telah tergurat jelas, setiap menit langkah Midsommar mampu memberikan suntikan horor yang demikian kuat. Keberhasilan ini sangat terbantu dengan kualitas produksi yang menyokong penampilan Midsommar. Gambar-gambar yang dihasilkan Pawel Pogorzelski mampu memberikan sentuhan keindahan sekaligus kesan misterius yang kental. Tata musik dari Bobby Krlic bahkan bekerja lebih efektif lagi. Dengan iringan desain suara yang begitu menghantui, musik garapan Krlic menemani tiap adegan dan memberikan dorongan kesan yang tidak nyaman bagi penonton yang selanjutnya tentu turut menghasilkan aroma horor yang tak terhindarkan. Midsommar adalah sebuah pembuktikan bahwa Aster adalah sosok sutradara cerdas yang memperhitungkan secara akurat tiap langkah penceritaannya dan kemudian berhasil mengeksekusinya dengan seksama. Tanpa kompromi.
Seperti penampilan Collette yang memukau lewat Hereditary, Aster juga mendapatkan penampilan yang luar biasa gemilang dari aktris pemeran utamanya di Midsommar. Berperan sebagai sosok Dani Ardor, Pugh memberikan jangkauan akting yang maksimal guna menampilkan setiap momen emosional yang dilalui karakter yang diperankannya. Karakter Dani Ardor memang digambarkan sebagai sosok yang memiliki sikap depresif, tertutup, dan sulit untuk didekati oleh orang-orang di sekitarnya. Meskipun begitu, Pugh mampu menjadikan karakter tersebut tetap tampil humanis – bahkan meraih simpati penonton – dengan penggalian emosinya akan sosok perempuan yang sedang dilanda rasa patah hati dan kekecewaan yang mendalam. Para pemeran pendukung lainnya juga tampil solid dalam memperkuat kualitas penampilan departemen akting film ini. Namun, harus diakui, Pugh adalah nyawa sekaligus pusat perhatian utama bagi Midsommar yang menjadikan berbagai teknik brilian penceritaan Aster tampil menjadi begitu mengikat. [A-]
Midsommar (2019)
Directed by Ari Aster Produced by Lars Knudsen, Patrik Andersson Written by Ari Aster Starring Florence Pugh, Jack Reynor, William Jackson Harper, Vilhelm Blomgren, Will Poulter, Ellora Torchia, Archie Madekwe, Björn Andrésen, Anna Åström, Mats Blomgren, Tomas Engström, Gunnel Fred, Isabelle Grill, Hampus Hallberg, Rebecka Johnston, Anki Larsson, Liv Mjönes, Henrik Norlén, Louise Peterhoff, Julia Ragnarsson, Tove Skeidsvoll, Katarina Weidhagen, Agnes Westerlund Music by Bobby Krlic Cinematography Pawel Pogorzelski Edited by Lucian Johnston, Jennifer Lame Production companies Square Peg/B-Reel Films Running time 147 minutes Country United States, Sweden Language English, Swedish
3 thoughts on “Review: Midsommar (2019)”