Dalam film pertama yang ia arahkan setelah merilis Jermal (2008), sutradara Ravi Bharwani mencoba untuk mengeksplorasi rasa duka dan trauma yang dialami oleh sesosok karakter setelah sebuah tragedi yang menimpanya. Kembali bekerjasama dengan penulis naskah Jermal, Rayya Makarim – yang bersama dengan Bharwani dan Utawa Tresno juga membantu mengarahkan film tersebut, 27 Steps of May memperkenalkan penonton pada perempuan muda bernama May (Raihaanun) yang hidup dengan mengisolasi dirinya dari kehidupan sosial akibat trauma setelah peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya. Tidak hanya sekedar memutuskan hubungan dengan dunia luar, May juga berhenti untuk berkata-kata bahkan ketika berkomunikasi dengan sang ayah (Lukman Sardi) yang juga memikul beban rasa bersalah akibat merasa tidak mampu melindungi puterinya. Namun, ketika sebuah celah secara tiba-tiba muncul di dinding kamarnya, sikap dan perilaku May mulai berubah. Tidak hanya membawakan seberkas sinar ke kamar May yang biasanya bernuansa kelam akibat tertutup rapat, celah tersebut memberikan ruang bagi May untuk melihat kilasan kehidupan yang selama ini telah ia jauhi dan tolak keberadaannya.
Harus diakui, 27 Steps of May bukanlah sebuah presentasi yang cukup mudah untuk dikonsumsi. Tidak seperti film-film yang mengangkat kisah tentang para korban kekerasan seksual lainnya – seperti Room (Lenny Abrahamson, 2016) atau Elle (Paul Verhoeven, 2016) atau Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya, 2017) – yang menyajikan presentasi ceritanya dengan dukungan banyak karakter dan konflik, Bharwani dan Makarim menyajikan 27 Steps of May sebagai sebuah observasi yang dilakukan secara intim kepada kedua karakter utama film mereka. Lihat saja bagaimana arahan Bharwani dan naskah cerita Makarim menggiring kamera bawaan Ipung Rachmat Syaiful untuk merekam rutinitas harian dari karakter May dan sang ayah secara bergantian. Bharwani menghadirkan deretan adegan tersebut dengan nada yang konstan dan perlahan sehingga penonton dapat turut tenggelam dalam rasa duka yang menyelimuti jiwa dari karakter May maupun rasa bersalah yang tak kunjung menghilang dari hati serta benak karakter sang ayah. Sebuah simbolisme yang cukup kuat tentang bagaimana luka yang dialami oleh para korban kekerasan seksual – yang juga dapat dirasakan oleh orang-orang terdekat mereka – tetap akan meninggalkan bekas yang mendalam atau bahkan tidak lantas mengering begitu saja seiring dengan perjalanan waktu.
Di saat yang bersamaan, sulit untuk merasakan kedekatan maupun membentuk ikatan emosional dengan deretan karakter di film ini ketika Bharwani terasa mengurung karakter-karakter ceritanya untuk tetap berada di satu titik emosional cerita dalam jangka waktu yang cukup lama. Di paruh awal, karakter May dan sang ayah disajikan dengan dialog, latar belakang serta pengembangan karakter dan konflik yang benar-benar minimalis. Bharwani mungkin ingin menyajikan filmnya dengan pendekatan yang teatrikal namun, alih-alih terasa sebagai performa seni yang berada dalam alur lamban, 27 Steps of May justru mulai kehilangan banyak momen dan kesempatan untuk membuat penonton dapat merasakan berbagai kegundahan yang dialami para karakter utama. Beruntung, kehampaan yang dirasakan atas pengisahan 27 Steps of May secara perlahan mulai terisi secara emosional ketika karakter May mulai diberikan pewarnaan – yang kemudian juga mulai memberikan pengaruh pada karakter sang ayah. Pergerakan cerita juga lantas menjadi lebih dinamis meskipun terus berpaku pada kedua karakter utama cerita film ini.
Terlepas dari teknik pengarahan cerita Bharwani yang membuat 27 Steps of May menghasilkan jarak pengisahan kepada para penikmat ceritanya, departemen akting film ini harus diakui berada pada kelas penampilan terbaiknya untuk menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Meskipun tampil dalam jangkauan emosional yang berbatas, Sardi membuktikan kehandalannya dengan memberikan sentuhan personal yang kuat dalam setiap dialog maupun gerak yang ditunjukkan oleh karakternya. Verdi Solaiman, yang hadir dalam tata karakterisasi yang bertolak belakang dengan karakter May maupun sang ayah, menjadi sentuhan kehidupan yang menyenangkan bagi jalan cerita film yang bernuansa kelam. Hadir dengan karakter yang memiliki barisan dialog yang minim, Raihaanun membuktikan kapasitasnya sebagai salah satu aktris dengan kemampuan akting terbaik di negeri ini dengan menampilkan gestur tubuh maupun tatapan mata yang begitu ekspresif. Karakternya memang tidak banyak berdialog namun penonton dipastikan akan dapat merasakan berbagai gejolak jiwa yang dirasakan oleh karakter May berkat penampilan prima Raihaanun. Cukup disayangkan karakter yang diperankan Ario Bayu – yang menjadi pemicu munculnya perubahan gelombang emosional dalam diri karakter May – disajikan dengan porsi pengisahan yang begitu terbatas dan berujung pada minimalisnya chemistry yang terbentuk antara kedua karakter tersebut. [B-]
27 Steps of May (2019)
Directed by Ravi Bharwani Produced by Wilza Lubis, Rayya Makarim, Ravi Bharwani Written by Rayya Makarim Starring Raihaanun, Lukman Sardi, Ario Bayu, Verdi Solaiman, Hengky Solaiman, Otig Pakis, Norman Akyuwen, Sapto Soetarjo, Richard Oh, Joko Anwar, Jonathan Ozoh, Elsa Dinra, Bowie Budianto, Alfon, Adriel JH Simatupang, Nandang, Andi Ardan Yunus, Fajar Alamsyah, Maryadi Music by Thoersi Argeswara Cinematography Ipung Rachmat Syaiful Edited by Wawan I. Wibowo, Lilik Subagyo Production company Green Glow Studio/GO-Studio Running time 112 minutes Country Indonesia Language Indonesian
I thought Ario Bayu’s character was a mere imagination for the whole movie until that one moment comes hmm
Same here. Awalnya juga ngeduga begitu sampai beberapa lama interaksi mereka jadi… ummm… terlalu nyata untuk dijadiin adegan imajinasi. Berharap karakternya Bayu dikasih lebih banyak pendalaman sih.