Cinta terlarang mungkin adalah tema pengisahan yang telah terasa begitu familiar. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh sutradara Ertanto Robby Soediskam (7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita, 2011) lewat film terbarunya yang berjudul Ave Maryam, jelas masih ada banyak ruang untuk memberikan berbagai sentuhan baru pada tema cerita yang telah familiar tersebut. Berdasarkan naskah cerita yang juga digarapnya sendiri, Ave Maryam berkisah mengenai kehidupan Suster Maryam (Maudy Koesnaedi) yang dalam kesehariannya bertugas untuk merawat para suster sepuh. Suatu hari, sembari membawa seorang suster sepuh baru bernama Suster Monic (Tutie Kirana) untuk dirawat, Romo Martin (Joko Anwar) memperkenalkan Suster Maryam pada Romo Yosef (Chicco Jerikho) yang direncanakan akan mengajarkan kemampuan bermusiknya di gereja. Berbeda dengan Suster Maryam yang cenderung selalu bersikap kaku, Romo Yosef adalah sosok yang lebih bebas dalam setiap tingkah laku dan perkataannya. Sebuah perbedaan yang secara perlahan mulai menarik hati Suster Maryam.
Lebih dari presentasi cerita yang tampil hanya sekedar untuk mengeksplorasi tumbuh dan berkembangnya bibit-bibit romansa antara kedua karakter utamanya, Ave Maryam memberikan ruang cerita yang cukup memadai bagi penonton untuk memahami pergolakan jiwa yang dialami oleh karakter Suster Maryam dalam dedikasinya untuk melayani Tuhan. Setelah melakukan observasi pada setiap rutinitas yang dijalani oleh karakter Suster Maryam dalam kesehariannya, Soediskam kemudian mencoba menggali lebih dalam guna memaparkan hati dan pemikiran sang karakter ketika dihadapkan dengan barisan konflik yang jelas bertentangan dengan keyakinan imannya: rasa canggung yang dapat berkembang menjadi rasa tidak suka (baca: benci) ketika karakter Suster Monic mulai bersikap arogan pada dirinya dan, tentu saja, nafsunya akan sentuhan asmara yang ironisnya terjadi pada sosok Romo Yosef yang jelas juga terlarang untuk menjalin hubungan romansa. Sebuah intrik rumit yang, sayangnya, kemudian hanya mampu disentuh Soediskam dari permukaan.
Soediskam jelas terasa telah memiliki visi yang kuat akan gambaran kisah yang ingin ia sampaikan. Seluruh elemen cerita film – mulai dari tata teknikal seperti pergerakan kamera, sinematografi, warna dan tata gambar, iringan musik, hingga arah pergerakan konflik dan karakter – disajikan dengan penataan yang seksama. Sial, kecenderungan tersebut justru membuat Ave Maryam kemudian terasa terjebak dalam tata pengisahan yang kaku, terlalu dibuat-buat, dan gagal bercerita secara lepas maupun alami. Tidak humanis – seperti harusnya sebuah kisah tentang pergulatan perasaan seorang karakter manusia dibuat.
Kegagalan Ave Maryam dalam bercerita juga masih berlanjut lewat kedangkalan penulisan naskah cerita Soediskam. Tidak ada satupun dari konflik maupun karakter yang hadir dalam jalan penceritaan film ini diberikan latar pengisahan yang kuat atau berarti. Penonton dibiarkan memberikan interpretasi mereka sendiri tentang sikap tidak bersahabat yang ditunjukkan karakter Suster Monic pada Suster Maryam, mengapa Suster Maryam dapat jatuh hati pada sosok Romo Yosef – selain, tentu saja, penampilan fisiknya yang diwujudkan oleh sosok setampan Jerikho, hingga tentang bagaimana akhir dari pergulatan jiwa yang dialami oleh karakter-karakter utama film. Belum lagi pilihan untuk menghadirkan dialog yang seperti tersusun atas kumpulan kata-kata mutiara yang berkesan begitu puitis dan siap untuk dikutip menjadi panduan hidup setiap penonton seusai menyaksikan film ini dan ritme penceritaan yang disajikan mengalun lamban. Hampa.
Dengan keterbatasan eksplorasi yang dilakukan jalan cerita film pada setiap karakternya, tidak mengherankan jika departemen akting film yang sebenarnya diisi oleh talenta-talenta akting mumpuni lantas tidak mampu memberikan penampilan akting yang optimal. Koesnaedi, Jerikho, dan Kirana tampil dengan nada penampilan yang monoton di sepanjang presentasi kisah Ave Maryam. Sinematografi arahan Ical Tanjung mungkin menjadi elemen penghibur dengan gambar-gambar indah nan eksotis yang disajikannya. Tetap saja, keindahan gambar tidak akan mampu menutupi kekosongan yang dihasilkan oleh penceritaan dangkal film ini. [D]
Ave Maryam (2019)
Directed by Ertanto Robby Soediskam Produced by Ertanto Robby Soediskam, Tia Hasibuan Written by Ertanto Robby Soediskam Starring Maudy Koesnaedi, Chicco Jerikho, Tutie Kirana, Olga Lydia, Joko Anwar, Nathania Angela, Sendy Febrina Music by Rooftop Sound Cinematography Ical Tanjung Edited by Wawan I. Wibowo Production company Summerland/PT Pratama Pradana Picture/Grafent Production Running time 73 minutes Country Indonesia Language Indonesian
wow bener2 setuju like “damn! that what i was talking about” pas baca tulisan masnya yg ini “keindahan gambar tidak akan mampu menutupi kekosongan yang dihasilkan oleh penceritaan dangkal film ini”. emg film ini bisa dibilang indah tetapi gambaran indah akan menjadi tak berarti kalau tidak bisa menceritakan apa-apa akibat kisah yg kosong dan tidak diiringi dengan motivasi yg kuat. seakan Robby Ertanto berusaha menyajikan film minim dialog dan beralur pelan nan halus yg cantik tetapi tidak mampu mengisinya dengan cerita yg utuh. jadi bingung ada banyak yg kasih rating film ini 4/5 ke atas. kembali ke Ida aja deh kalo begitu atau mungkin recenty First Reformed yg punya tema dan eksekusi sejenis tetapi lebih berdampak.
Saya sebenarnya pengeeeen banget suka sama nih film. Premisnya itu loh. Nekat dan intriguing untuk film nasional – dan harusnya banyak lagi film yang “seberani” ini. Tapi ya… gitu. Bahkan ya, kalo rilisnya dengan “adegan panas” yang sengaja dibuang demi menghindari kontroversi juga rasanya gak akan berpengaruh banyak. Datar emang.
Sebenarnya saya menyukai film ini karena latar dan pilihan temanya. Tetapi sama seperti yang ditulis di review ini, byk ganjalan yg tidak terjawab. Ganjalan2 yg membuat saya merasa masygul ketika film berakhir.