Review: Pet Sematary (2019)


Bagi banyak penikmat karya literatur, Pet Sematary mungkin merupakan salah satu novel terbaik yang pernah ditulis oleh Stephen King. Dirilis perdana pada tahun 1983, novel yang terbangun atas tema serta konflik cerita tentang kematian, rasa duka akibat kehilangan sosok yang begitu dicinta, hingga kandungan elemen misteri akan alam supranatural ini memang menjadi salah satu novel milik King paling popular, sempat memenangkan beberapa penghargaan prestisius, hingga memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada kultur pop dunia. Hollywood, tentu saja, tidak ketinggalan untuk memanfaatkan kepopularan Pet Sematary. Sebuah film adaptasi berjudul sama arahan sutradara Mary Lambert dirilis pada tahun 1989 dan mampu meraih kesuksesan komersial yang cukup besar – meskipun dengan ulasan medioker dari para kritikus film dunia. Lambert kembali mengarahkan sekuel Pet Sematary, Pet Sematary Two (1992), yang, sayangnya, gagal mengulang kesuksesan film pertama dan bahkan tampil dengan kualitas yang membuat King memutuskan untuk tidak mengasosiakan namanya dengan film tersebut. Yikes.

Sepuluh tahun semenjak perilisan film adaptasi pertama Pet Sematary, Hollywood kembali mencoba peruntungannya dengan memberikan gubahan baru nan modern pada novel buatan King tersebut. Diarahkan oleh duo sutradara Kevin Kölsch dan Dennis Widmyer (Starry Eyes, 2014) berdasarkan naskah cerita yang digarap oleh Jeff Buhler (The Prodigy, 2019), versi terbaru dari Pet Sematary menghadirkan garisan cerita yang tidak begitu berbeda dari film pendahulunya namun dengan beberapa perubahan yang cukup mampu membuat kisah klasik ini masih terasa segar. Dikisahkan, Dr. Louis Creed (Jason Clarke) bersama dengan istri, Rachel (Amy Seimetz), dan kedua anak mereka, Ellie (Jeté Laurence) dan Gage (Hugo Lavoie dan Lucas Lavoie), baru saja pindah ke sebuah rumah luas yang terletak jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Awalnya, kehidupan di wilayah pinggiran kota yang tenang terasa menyenangkan bagi keempatnya. Namun, ketika sebuah tragedi datang menyapa, hidup bagi keluarga Creed tidak lagi terasa sama. Sebuah tindakan fatal yang diambil oleh Dr. Louis Creed dalam usahanya untuk mengobati kepedihan hatinya bahkan membuat kondisi kehidupan mereka semakin memburuk.

Sometimes dead is better… dan mungkin adalah pilihan bijak untuk membiarkan keberadaan film adaptasi pertama Pet Sematary – yang kualitasnya memang tidak terlalu mengesankan itu – dan tidak lagi mencoba untuk menghidupkan novel karya King dalam bentuk film. Pet Sematary garapan Kölsch dan Widmyer bukanlah sebuah film yang buruk. Namun, dengan apa yang telah disajikan Lambert sebelumnya, versi terbaru dari Pet Sematary masih saja melakukan kesalahan-kesalahan sama yang membuat tema pengisahan yang sebenarnya ingin diangkat oleh King melalui novelnya menjadi tidak berarti dan tenggelam begitu saja. Tentu, versi terbaru dari Pet Sematary berusaha untuk tampil dengan narasi yang lebih padat, atmosfer kesunyian yang lebih kelam, hingga menjauh dari kesan slasher yang dahulu berusaha disajikan (namun gagal tereksekusi dengan baik) oleh Pet Sematary milik Lambert. Tampil lugas dan modern tetapi tetap saja kurang mampu untuk memberikan galian yang lebih mendalam pada banyak konflik maupun karakter film.

Deretan kelemahan yang terdapat pada berbagai sudut pengisahan Pet Sematary nyaris membuat setengah perjalanan cerita film ini terasa hambar dan tanpa adanya detak kehidupan yang berarti. Pengisahan Kölsch dan Widmyer baru mulai menemukan gairahnya ketika beberapa pelintiran dan kejutan cerita – yang menghadirkan perubahan vital pada alur cerita film – disajikan pada paruh kedua dan ketiga film. Tempo cerita yang tadinya berjalan lamban kemudian mulai mengalun cepat, penuh dengan momen ketegangan yang cukup sukses, dan intensitas kisah yang terjaga rapi. Harus diakui, pilihan untuk menghadirkan sebuah perubahan pada alur kisah film Pet Sematary adalah sebuah sentuhan yang cukup cerdas dan berani. Perubahan tersebut mampu memberikan ruang pada salah satu karakter untuk tampil lebih kuat – dan menghadirkan unsur horor yang lebih kental. Lebih dari itu, tanpa kehadiran adanya perubahan tersebut, mungkin versi terbaru dari Pet Sematary akan tampil dengan kualitas yang lebih mengecewakan dari versi lama filmnya.

Pet Sematary garapan Kölsch dan Widmyer juga diperkuat dengan barisan pengisi departemen akting yang mampu memberikan nyawa pada karakter-karakter yang mereka perankan dengan meyakinkan. Tanpa bermaksud memandang sebelah mata pada Dale Midkiff dan rekan-rekannya dari departemen akting Pet Sematary rilisan tahun 1989, para pemeran Pet Sematary versi teranyar sukses membuat setiap karakter dalam linimasa penceritaan film ini hadir dengan sentuhan emosional yang membuat kehadiran mereka terasa berarti. Clarke dan John Lithgow memberikan penampilan kuat bagi karakter-karakter mereka namun adalah aktris muda Laurence yang mampu mencuri begitu banyak perhatian. Laurence, khususnya, bahkan mengambil alih ritme pengisahan film pada paruh terakhir dan membuat karakter yang ia perankan menjadi begitu menakutkan. [C-]

pet-sematary-movie-posterPet Sematary (2019)

Directed by Kevin Kölsch, Dennis Widmyer Produced by Lorenzo di Bonaventura, Mark Vahradian, Steven Schneider Written by Jeff Buhler (screenplay), Matt Greenberg (story), Stephen King (novel, Pet Sematary) Starring Jason Clarke, Amy Seimetz, John Lithgow, Jeté Laurence, Hugo Lavoie, Lucas Lavoie, Obssa Ahmed, Alyssa Brooke Levine, Sonia Maria Chirila, Suzy Stingl, Maria Herrera, Jacob Lemieux, Maverick Fortin, Lou Ferrando, Najya Muipatayi, Emma Hill Music by Christopher Young Cinematography Laurie Rose Edited by Sarah Broshar Production company Di Bonaventura Pictures Running time 101 minutes Country United States Language English

3 thoughts on “Review: Pet Sematary (2019)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s