Alright. It’s time to recap the best and most memorable movies of 2018.
Berikut adalah dua puluh film yang At the Movies nilai sebagai yang terbaik di sepanjang tahun 2018, termasuk sebuah film yang dipilih sebagai Movie of the Year. Disusun secara alfabetis.
Aruna & Lidahnya (Edwin, 2018)
Mudah untuk menyatakan Aruna & Lidahnya adalah salah satu film Indonesia terbaik pada tahun ini. It’s true. Namun, lebih dari itu, Aruna & Lidahnya jelas merupakan sebuah pembuktian lain bagi Edwin bahwa dirinya merupakan salah satu sutradara dengan kemampuan pengarahan paling mengesankan yang dimiliki oleh industri film Indonesia – up there with Mouly Surya and Joko Anwar. Ibaratnya sebuah hidangan, Aruna & Lidahnya memiliki penampilan yang sederhana namun tersaji begitu hangat, dengan cita rasa yang renyah dan nikmat, serta komposisi bahan yang mampu mengenyangkan sekaligus memuaskan hati. Bukan hanya sekedar sebuah tontonan namun juga berhasil menjadi sebuah pengalaman.
Avengers: Infinity War (Anthony Russo, Joe Russo, 2018)
Meskipun telah menjadi pakem yang selalu berusaha dihadirkan dalam setiap film-filmnya, Avengers: Infinity War tetap merupakan sebuah sajian yang ambisius bagi Marvel Studios. Kolosal, penuh dengan karakter-karakter kuat dan ikonik, serta sajian pengisahan yang berukuran raksasa. Avengers: Infinity War beruntung memiliki The Russo Brothers yang tidak hanya mampu mengendalikan sekaligus menggarapnya secara maksimal, namun juga sukses meningkatkan kualitas filmnya menjadi sebuah presentasi hiburan dengan banyak momen emosional yang belum mampu dieksplorasi oleh film-film dalam seri Marvel Cinematic Universe sebelumnya. Epik.
BlacKkKlansman (Spike Lee, 2018)
Latar cerita waktu pengisahan film ini boleh saja berada di masa empat dekade lalu. Namun, tema yang diangkat oleh Spike Lee melalui BlacKkKlansman jelas merupakan sebuah sajian isu yang hangat seputar konflik ras dan kekerasan yang saat ini masih mewabah di Amerika Serikat (dunia?). Komikal, namun mampu bertutur secara jujur sekaligus menggigit dengan mendalam. Lee dalam salah satu karya terbaiknya.
Burning (Lee Chang-dong, 2018)
Dengan durasi pengisahan hampir sepanjang dua setengah jam yang dihadirkan dengan ritme pengisahan yang cukup lamban, film pertama Lee Chang-dong setelah Poetry (2010) ini memang akan terasa cukup menantang bagi kebanyakan penonton. Meskipun begitu, pengarahan Lee yang benar-benar tajam mampu menjadikan Burning sebagai sebuah orkestrasi kisah yang begitu menghipnotis tentang rasa kecemburuan sosial, kemarahan, dan obsesi yang mematikan.
Crazy Rich Asians (John M. Chu, 2018)
Dengan judul Crazy Rich Asians, John M. Chu juga tampil maksimal pada penampilan departemen produksinya untuk menonjolkan elemen kekayaan yang dimiliki oleh karakter-karakter dalam jalan cerita film ini. Mulai dari tata rias dan rambut, tata busana, hingga dekorasi set film ditampilkan mewah, megah, dan memiliki kualitas penampilan ekstravaganza. Pengarahan Chu pada elemen-elemen pendukung cerita film juga terasa begitu rapi dan tertata dengan seksama. Bahkan pilihan lagu-lagu yang mengalun di sepanjang pengisahan film akan mampu membuai penonton dan membawa mereka hanyut dalam jalinan kisah romansa yang dihadirkan. An instant classic of a romantic comedy.
Eight Grade (Bo Burnham, 2018)
Didukung penuh oleh penampilan prima Elsie Fisher, tata musik yang dinamis dan memikat dalam setiap adegan serta, tentu saja, pengarahan yang tajam dari Bo Burnham berdasarkan naskah cerita bercita rasa tinggi yang juga ditulisnya sendiri, Eight Grade mampu tampil memikat sebagai sebuah sajian yang berkisah tentang proses pencarian jati dan rasa percaya diri yang dialami oleh seorang remaja sebelum memasuki masa SMA-nya.
First Man (Damien Chazelle, 2018)
First Man jelas membuktikan keberanian Damien Chazelle dalam mengeksplorasi banyak wilayah cerita baru dalam mempersembahkan cerita filmnya sekaligus kepiawaiannya untuk memberikan sentuhan baru dan segar ketika mengeksekusi kisah tersebut. Memang, tatanan kisah yang berjarak tersebut memberikan tantangan tersendiri dalam menikmati First Man. Meskipun begitu, film ini jelas tampil dengan garapan yang cerdas, dinamis, sekaligus sukses menjadi salah satu presentasi paling mengesankan di sepanjang tahun ini.
First Reformed (Paul Schrader, 2018)
Challenging but deeply rewarding. First Reformed adalah sebuah meditasi yang sangat kuat tentang rasa kehilangan kepercayaan, duka, pencarian arti sebuah kebahagiaan, hingga usaha untuk menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat. Naskah dan pengarahan yang apik dari Paul Schrader yang semakin diperkuat oleh penampilan Ethan Hawke yang akan menghantui setiap penonton bahkan jauh seusai mereka menyaksikan film ini.
Game Night (John Francis Daley, Jonathan Goldstein, 2018)
Game Night jelas bukanlah sebuah film komedi yang dapat dipandang sebelah mata. Terlepas dari pengemasannya yang ringan dan santai, Game Night mampu didukung dengan naskah cerita yang tergarap dengan cerdas, pengarahan yang solid, serta penampilan para pengisi departemen akting yang hadir dengan daya tarik yang luar biasa kuat. Sebuah kombinasi yang mampu menjadikan Game Night sebagai film komedi bercita rasa tinggi yang jelas terasa semakin sulit untuk ditemukan dalam beberapa tahun terakhir. An excellent laugh out loud comedy!
Hereditary (Ari Aster, 2018)
Jika Anda belum familiar dengan nama Ari Aster sebelumnya, Hereditary dapat dipastikan akan membuat Anda mengingat nama sekaligus hasil debut pengarahan film layar lebarnya tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama. Anda bahkan juga berkemungkinan akan berusaha untuk mencari film-film pendek yang ia arahkan sebelumnya hanya untuk mempertegas rasa kekaguman Anda pada pola pemikiran horornya yang cukup eksentrik – sekaligus mengisi waktu guna menunggu film arahan terbarunya di masa yang akan datang. Diarahkan berdasarkan naskah yang juga digarapnya sendiri, Aster menjadikan Hereditary sebagai sebuah meditasi terhadap rasa duka mendalam yang dirasakan oleh karakter-karakter dalam jalan ceritanya sekaligus membungkusnya dengan berbagai jejak horor klasik – namun jauh dari kesan klise – yang kemudian mendorong film ini untuk tampil begitu mencekam (baca: mengganggu). Sebuah pengalaman akan teror horor yang mampu memberikan rasa ketidaknyamanan yang begitu mendalam bagi para penontonnya.
Isle of Dogs (Wes Anderson, 2018)
Kucumbu Tubuh Indahku (Garin Nugroho, 2018)
Mission: Impossible – Fallout (Christopher McQuarrie, 2018)
Mereka yang mengharapkan sajian aksi berkelas dari Mission: Impossible – Fallout jelas tidak akan merasa kecewa dengan arahan Christopher McQuarrie. Jika pada Mission: Impossible – Rogue Nation (2016) McQuarrie menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang sutradara yang bertalenta dalam mengelola elemen ketegangan dalam sajian aksi yang diolahnya, maka lewat film ini, McQuarrie menunjukkan kapabilitasnya dalam mengolah adegan aksi tersebut dalam tingkatan yang lebih tinggi lagi. Desain produksi yang disajikan Mission: Impossible – Fallout tampil begitu mengikat. Setiap elemen penceritaan – mulai dari tatanan gambar hinggaa suara – digarap secara detil agar penonton turut terlibat dalam ketegangan yang dirasakan oleh karakter-karakter dalam jalan cerita film ini. McQuarrie juga tidak segan untuk menekan gas pengarahan aksinya hingga titik maksimal. Konflik dan karakter dalam film ini memang berkembang secara perlahan. Namun, ketika menyentuh adegan aksi, McQuarrie tampil dengan kekuatan penuh untuk membuat setiap penonton berpegangan erat – bahkan kehabisan nafas – di kursi duduk mereka.
One Cut of the Dead (Shin’ichirô Ueda, 2018)
One Cut of the Dead jelas adalah sebuah presentasi yang spesial – baik bagi Anda yang menggemari film-film horor dengan sekumpulan mayat hidup sebagai bintang utamanya atau bagi mereka yang memang mencintai film secara keseluruhan. Tampil lebih cerdas daripada film-film bertema serupa yang banyak dirilis pada beberapa tahun terakhir, Shin’ichirô Ueda berhasil menciptakan kisah dan karakter yang akan membuat para penonton dengan mudah merasa jatuh hati. Mengikuti jejak Shaun of the Dead (Edgar Wright, 2004) dan Zombieland (Ruben Fleischer, 2009), One Cut of the Dead menjadi presentasi paduan zombie dan komedi horor yang sangat mengesankan. Salah satu momen sinema terbaik di sepanjang tahun ini.
A Quiet Place (John Krasinski, 2018)
A Quiet Place jelas merupakan sebuah pameran kehandalan sekaligus kecerdasan John Krasinski dalam mengarahkan sebuah cerita. Premis penceritaan filmnya memang terasa familiar – dengan sebagian penonton mungkin akan membandingkannya dengan Cloverfield (J. J. Abrams, 2008) atau Don’t Breathe (Fede Alvarez, 2016). Kemampuan Krasinski untuk membungkus premis cerita tersebut dalam konsep pengisahan yang apiklah yang lantas membuat A Quiet Place tampil begitu memikat. Krasinski berhasil menggarap setiap adegan dengan kejelian yang tinggi sehingga adegan demi adegan film ini hadir dengan intensitas emosional yang luar biasa terjaga dengan baiknya. Hasilnya, A Quiet Place mampu membuat setiap penontonnya untuk menahan nafas atau berpegangan erat di kursi tonton mereka selama menyaksikan perjalanan kisah para karakter-karakter dalam film ini.
Roma (Alfonso Cuarón, 2018)
Shoplifters (Hirokazu Kore-eda, 2018)
Spider-Man: Into the Spider-Verse (Peter Ramsey, Robert Persichetti Jr., Rodney Rothman, 2018)
Ketika banyak film animasi mencoba untuk mengikuti tampilan animasi yang telah diterapkan oleh film-film rilisan Pixar Animation Studios, jelas cukup menyenangkan untuk melihat Spider-Man: Into the Spider-Verse yang penuh keberanian dan langkah yang meyakinkan untuk menghadirkan sebuah sajian animasi yang menyegarkan. Sebuah presentasi yang memberikan kesegaran baru, baik pada genre animasi maupun pada pengisahan film-film pahlawan super. Brilian.
Suspiria (Luca Guadagnino, 2018)
MOVIE OF THE YEAR
The Favourite (Yorgos Lanthimos, 2018)