Review: Galih & Ratna (2017)


Jauh sebelum generasi milenial mengenal Rangga dan Cinta (Ada Apa Dengan Cinta?, 2001) atau Adit dan Tita (Eiffel… I’m in Love, 2003), para penikmat film Indonesia telah dibuat jatuh cinta dengan pasangan Galih dan Ratna yang pertama kali muncul di layar sssama. Tidak hanya berhasil melambungkan nama dua pemeran utamanya, Rano Karno dan Yessy Gusman, film arahan Arizal yang di tahun rilisnya menjadi film dengan raihan penonton terbesar ketiga itu juga sukses menghadirkan gelombang kehadiran film-film remaja di layar bioskop Indonesia pada masa tersebut. Kini, hampir empat dekade setelah perilisan Gita Cinta dari SMA, sutradara Lucky Kuswandi (Selamat Pagi, Malam, 2014) kembali menghadirkan pasangan Galih dan Ratna dalam sebuah jalinan cerita yang mengadaptasi bebas novel karangan Eddy S. Iskandar tersebut dengan latarbelakang masa modern. Menghadirkan dua wajah baru di industri film Indonesia, Refal Hady dan Sheryl Sheinafia, untuk memerankan dua karakter ikonik, mampukah kisah percintaan Galih dan Ratna kembali menarik perhatian penonton?

Dihadirkan dengan judul Galih & Ratna, film ini memulai pengisahannya ketika Ratna (Sheinafia) terpaksa meninggalkan kehidupannya di Jakarta ketika sang ayah, Oka (Hengky Tornando), menerima sebuah pekerjaan di luar negeri dan menitipkan Ratna ke tantenya, Tantri (Marissa Anita), yang tinggal di Bogor. Walau awalnya merasa kurang nyaman dengan lingkungan barunya, perkenalan Ratna dengan seorang pemuda bernama Galih (Hady) di sekolahnya secara perlahan mulai mengubah kehidupan Ratna. Galih, sosok pemuda cerdas namun penyendiri, sendiri kini sedang berjuang untuk mempertahankan toko musik peninggalan ayahnya yang terus kehilangan pelanggan akibat perkembangan masa yang lebih memilih musik dalam bentuk digital daripada bentuk fisik. Kegigihan Galih dalam usahanya lantas menginspirasi Ratna untuk memperjuangkan mimpi pribadinya daripada harus mengikuti setiap pilihan hidup yang telah ditetapkan sang ayah. Sayang, di saat yang bersamaan, mimpi Galih dan Ratna menemui hambatan yang membuat hubungan keduanya berada di masa kritis.

Dibuka dengan sebuah adegan tribut terhadap Gita Cinta dari SMA yang menampilkan Karno dan Gusman, Galih & Ratna mengalir dengan begitu lancar pada paruh pertama pengisahannya. Karakter-karakter dalam jalan cerita, baik karakter utama maupun karakter pendukung, mampu diperkenalkan secara seksama sehingga berhasil menjadikan jalan cerita film ini begitu berwarna. Karakter Galih dan Ratna serta perjalanan hubungan mereka, khususnya, dapat dikemas Kuswandi secara manis dan berjalan secara meyakinkan. Naskah cerita yang digarap Kuswandi bersama dengan Fathan Todjon juga memastikan bahwa karakter-karakter remaja yang berada dalam jalan cerita Galih & Ratna hadir sebagai sosok-sosok remaja yang dapat dengan mudah dikenali dan terhubung dengan penonton dalam keseharian kehidupan mereka. Sosok-sosok pencari identitas diri yang berusaha untuk tampil dewasa namun seringkali masih menangani konflik keseharian mereka dengan jalan pemikiran yang masih cukup naif – jika tidak ingin disebut sebagai kekanak-kanakan.

Kerikil-kerikil dalam jalan pengisahan Galih & Ratna mulai muncul di paruh kedua filmnya. Bagian mengenai karakter Galih dan Ratna yang bersikukuh untuk tetap berjualan kaset di era digital – membuka bisnis dengan menjual piringan hitam jelas lebih masuk akal di era sekarang daripada memilih untuk berjualan kaset – mungkin dapat dikesampingkan demi memperkuat unsur nostalgia yang sepertinya ingin dibawakan film ini. Atau sekedar menutup mata terhadap prinsip hidup Galih untuk memberikan mixtape buatannya hanya kepada mereka yang dianggap dapat memberikan apresiasi kepada musik ketika disaat yang bersamaan karakter tersebut jelas-jelas telah melakukan pembajakan musik dengan merekam ulang puluhan kaset yang ada di toko musiknya untuk kemudian diperjualbelikan.

Yang paling fatal justru terasa ketika bagian romansa antara karakter Galih dan Ratna kemudian terasa dipanjang-panjangkan tanpa pernah benar-benar mampu diisi dengan penceritaan yang kuat. Galih & Ratna yang awalnya berjalan dinamis antara karakter dan konfliknya kemudian terasa begitu monoton dengan perkembangan romansa dua karakter utamanya. Untungnya, meskipun sempat memperlemah mood pengisahan film, Kuswandi kemudian berhasil membawa kembali filmnya dalam alur pengisahan yang lebih baik dengan meningkatkan intensitas konflik cerita, baik antara karakter Galih dan Ratna maupun antara kedua karakter tersebut dengan karakter-karakter lain yang ada di sekitarnya.

Untuk kualitas produksi film, Galih & Ratna berhasil digarap dengan kualitas gambar yang prima. Lagu-lagu yang dipilih Kuswandi untuk mengisi adegan-adegan filmnya juga mampu memberikan sentuhan emosional yang kuat – rendisi Galih dan Ratna oleh Gamal Audrey Cantika berhasil membangun atmosfer yang tepat untuk kolase romansa yang terbangun antara Galih dan Ratna sedangkan Gita Cinta yang dinyanyikan Sheinafia mampu membungkus film ini dalam puncak kelabu dari kisah percintaan dua karakter utamanya. Selain lihai dalam bernyanyi, Sheinafia juga memberikan penampilan yang kuat sebagai Ratna. Chemistry-nya yang begitu meyakinkan Hady juga berhasil membuat kedua karakter yang mereka perankan begitu mudah untuk disukai. Begitu pula dengan Hady yang berhasil membuat karakter Galih menjadi sosok yang jelas akan digilai oleh para remaja putri tanpa pernah terjebak untuk membuat karakternya menjadi sosok Rangga yang baru – pakem karakter pemuda dalam Ada Apa Dengan Cinta? yang kemudian sering diduplikasi oleh film-film romansa remaja Indonesia lainnya. Dengan penampilan prima mereka, tidak mengherankan bila baik Hady maupun Sheinafia akan menjadi idola baru bagi banyak produser film Indonesia di masa mendatang.

Selain Hady dan Sheinafia, Kuswandi juga memperkokoh kualitas departemen akting filmnya, mulai dari penampilan-penampilan dari pemeran seperti Hengky Tornando, Sari Koeswoyo dan Ayu Dyah Pasha atau penampilan minimalis namun berkesan dari Indra Birowo, Stella Lee dan Rain Chudori. Yang jelas mencuri perhatian adalah penampilan dari Joko Anwar sebagai sosok guru killer bagi murid-muridnya. Anita, yang sebelumnya tampil dalam film Kuswandi, Selamat Pagi, Malam, juga hadir dalam film ini – meskipun Anita seringkali terasa over the top dalam menterjemahkan sosoknya sebagai seorang tante yang selalu hadir dengan keceriaan dalam setiap suasana. Terlepas dari beberapa kelemahan yang terdapat pada pengolahan jalan ceritanya, Galih & Ratna jelas merupakan salah satu drama romansa remaja yang dieksekusi dengan kelas yang lebih baik daripada teman-teman sepantarannya. Tidak sekuat yang diharapkan namun jelas akan mampu memberikan kesan manis bagi penontonnya – walaupun kemungkinan besar akan cukup mudah untuk dilupakan. [C]

galih-dan-ratna-refal-hady-sheryl-sheinafia-movie-posterGalih & Ratna (2017)

Directed by Lucky Kuswandi Produced by Sendi Sugiharto, Ninin Musa Written by Fathan Todjon, Lucky Kuswandi (screenplay), Eddy S. Iskandar (book, Gita Cinta dari SMA) Starring Refal Hady, Sheryl Sheinafia, Joko Anwar, Marissa Anita, Ayu Dyah Pasha, Hengky Tornando, Sari Koeswoyo, Indra Birowo, Rain Chudori, Stella Lee, Agra Piliang, Reza Rachman, Anneqe Bunglon, Anugrah Ramadhan, Anggis Dinda, Rano Karno, Yessy Gusman, Triawan Munaf, Abdee Slank, Indra Bekti, Maera Panigoro, Iman Brotoseno, Yane Ardian, Friday Band, Innocenti, Bima Arya Sugiarto Music by Ivan Gojaya Cinematography Erland Herlambang, Sunny Soon Edited by Arifin Cuunk Production company 3600.Synergy/Nant Entertainment/Josh Pictures Running time 112 minutes Country Indonesia Language Indonesian

4 thoughts on “Review: Galih & Ratna (2017)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s