Well… isn’t this nice? Dua aktris muda paling bertalenta di industri film Indonesia saat ini saling beradu peran dalam satu film. Di bawah arahan Dinna Jasanti (Burung-Burung Kertas, 2007) dengan naskah yang ditulis oleh Titien Wattimena (Sang Pialang, 2013), Laura & Marsha menempatkan Prisia Nasution dan Adinia Wirasti sebagai dua sahabat yang memutuskan untuk meninggalkan kesibukan harian mereka di Jakarta untuk sementara dan kemudian melakukan perjalanan bersama ke beberapa negara Eropa. Yep. Laura & Marsha adalah sebuah road movie yang akan membawa penontonnya untuk menikmati keindahan klasik kota-kota Eropa seperti Amsterdam, Verona hingga Viena. As usual, the basic rule of a road movie is: it’s not the destination that matters, but it’s the journey. Dan apakah Laura & Marsha mampu memberikan perjalanan yang dapat dinikmati tersebut kepada para penontonnya?
Walau persahabatan karib mereka telah terjalin dari masa sekolah menengah atas, Laura (Prisia Nasution) dan Marsha (Adinia Wirasti) adalah dua sosok wanita dengan dua kepribadian yang cukup bertolak belakang: Laura adalah sosok yang selalu berusaha untuk menerapkan aturan-aturan dalam berbagai sisi kehidupannya sementara Marsha adalah seorang penulis buku tentang perjalanan yang berjiwa bebas. Keduanya sebenarnya telah lama merencanakan untuk melakukan perjalanan bersama ke Eropa. Namun berbagai permasalahan hidup – Laura yang ditinggal pergi suaminya, Ryan (Restu Sinaga), dan harus merawat sendiri puteri mereka, Luna (Afiqah Ibrahim), serta Marsha yang harus menghadapi meninggalnya sang ibu (Tutie Kirana) yang begitu ia sayangi – seperti terus berusaha untuk menghambat terwujudnya rencana tersebut. Pun begitu, seusai sebuah kecelakaan yang hampir merenggut nyawa Laura, keduanya lantas memutuskan bahwa mereka berdua harus segera memanfaatkan waktu yang ada untuk mewujudkan impian mereka.
Segera setelah Laura menitipkan Luna pada ibunya (Ratna Riantiarno) dan membereskan seluruh pekerjaannya, Laura dan Marsha memulai perjalanan mereka menuju Eropa. Keduanya telah merencanakan perjalanan tersebut akan dimulai dengan mengunjungi kota Amsterdam di Belanda dan mengakhirinya di Venice, Italia sebagai sebuah perjalanan yang dipersembahkan Marsha bagi almarhumah ibunya. Awalnya, perjalanan Laura dan Marsha berjalan lancar. Namun, secara perlahan, keduanya mulai merasakan banyaknya perbedaan antara diri mereka satu sama lain yang ternyata selama ini tidak mereka temukan dalam keseharian persahabatan mereka. Perjalanan tersebut kemudian berubah menjadi ujian terbesar yang harus dihadapi persahabatan mereka.
Harus diakui, seperti kedua pemerannya, Dinna Jasanti mampu merancang Laura & Marsha menjadi sebuah sajian yang begitu indah untuk disaksikan. Meskipun tidak istimewa, dengan beberapa bagian gambar terlihat tidak terlalu fokus dalam presentasinya, tata sinematografi arahan Roy Lolang mampu menyajikan deretan pemandangan yang membuai akan alam lingkungan sekitar negara-negara Eropa. Tentu saja, Laura & Marsha jelas tidak dapat menumpukan kualitas filmnya secara keseluruhan pada keindahan gambar-gambar yang hadir di sepanjang penceritaan film ini. Sebagai sebuah road movie, Laura & Marsha jelas harus mampu untuk memberikan sebuah perjalanan (baca: pengalaman) yang cukup berarti bagi penontonnya untuk dapat dinikmati – dan tidak melulu tentang kisah perjalanan beberapa karakter dan berbagai obyek wisata yang mereka temui di sepanjang perjalanan tersebut. Sayangnya, disinilah letak berbagai kelemahan film ini berada.
Naskah arahan Titien Wattimena gagal untuk menyediakan pengalaman yang menarik tersebut. Pada kebanyakan bagian ceritanya, Titien terkesan mengandalkan terlalu banyak unsur “kebetulan” untuk dapat memberikan suplai kehadiran plot cerita maupun karakter dukungan terhadap plot cerita inti yang dipegang oleh dua karakter utama. Kebetulan karakter Laura hampir meninggal sehingga mendorongnya untuk melakukan perjalanan, kebetulan bertemu satu karakter asing sehingga menambah warna penceritaan antara karakter Laura dan Marsha, kebetulan kedua karakter utama menemui beberapa karakter asing, termasuk antagonis, untuk menghadirkan detik-detik menegangkan dalam jalan cerita film, kebetulan menemukan tempat berlindung dan berbagai kebetulan lainnya. Deretan “kebetulan” ini kemudian menyebabkan Laura & Marsha seringkali terasa bagaikan gabungan akan cerita pendek yang tidak mampu berbaur satu sama lain daripada sebagai sebuah pengalaman utuh yang dialami oleh kedua karakter utama cerita film ini.
Berbicara mengenai kedua karakter utama film ini, Titien Wattimena juga kurang mampu untuk memberikan penggalian karakter yang lebih mendalam kepada karakter Laura dan Marsha. Di sepanjang durasi film, kedua karakter ini terus dihadirkan sebagai dua sosok kepribadian yang begitu berbeda sekaligus seringkali terlihat terus berusaha membenci satu sama lain – sebuah celah yang kemudian dimanfaatkan untuk menghadirkan konflik utama di akhir cerita nantinya – daripada berusaha menikmati perjalanan yang mereka lakukan. Begitu berbedanya kedua karakter ini, Laura & Marsha terasa gagal untuk menjelaskan apa yang menyebabkan kedua karakter ini dapat saling bersahabat lama seperti yang telah digambarkan jalan cerita film. Karakter-karakter minor yang dihadirkan di sepanjang perjalanan yang dilakukan kedua karakter utama juga sama sekali tidak menambah warna film ini. Hasilnya, elemen perjalanan dengan kisah pribadi kedua karakter tidak mampu untuk memberikan dukungan yang solid satu sama lain yang kemudian membuat Laura & Marsha terasa hadir dengan alur emosional yang begitu datar secara kesleuruhan.
Dari departemen akting, Laura & Marsha didukung dengan kapasitas penampilan yang jelas tidak mengecewakan dari para jajaran pemerannya. Memang, penampilan akting Ardinia Wirasti sebagai Marsha serta Prisia Nasution sebagai Laura sama sekali bukanlah sebuah penampilan yang istimewa – keduanya telah sering tampil dalam jangkauan akting yang serupa di beberapa penampilan film mereka sebelumnya. Namun tetap saja, dengan kualitas tersebut, Prisia dan Ardinia mampu menghidupkan karakter yang mereka perankan. Jajaran pemeran pendukung seperti Tutie Kirana, Ratna Riantiarno dan Ayal Oost juga cukup mampu memberikan kontribusi yang solid pada kualitas departemen akting Laura & Marsha.
Terlepas dari berbagai potensi yang dimiliki oleh film ini, Laura & Marsha sayangnya berakhir sebagai sebuah rekaman perjalanan dua karakter daripada mampu tampil menghadirkan pengalaman perjalanan yang menarik dari dua karakter cerita kepada penonton film ini. Kelemahan terbesar film ini memang datang dari sisi penulisan naskah cerita yang gagal untuk mengembangkan sekaligus memadukan unsur perjalanan yang dilakukan kedua karakter utama cerita dengan kepribadian dari dua karakter itu sendiri. Hal tersebut membuat Laura & Marsha tampil cenderung datar. Bukan sebuah perjalanan yang buruk. Namun menyaksikan Laura & Marsha seringkali terkesan sebagai menikmati perjalanan dari dalam sebuah mobil tanpa pernah mau untuk keluar dan merasakan sendiri keindahan dunia luar yang telah dicapai dari perjalanan tersebut. Berlalu tanpa kesan yang berarti.

Laura & Marsha (2013)
Directed by Dinna Jasanti Produced by Leni Lolang Written by Titien Wattimena Starring Prisia Nasution, Adinia Wirasti, Ratna Riantiarno, Tutie Kirana, Restu Sinaga, Afiqah Ibrahim, Zefanya Christin Malau, Ayal Oost, Lie Darmawan, Kartika Rizky, Arry Susanto, Widiarto Music by Aghi Narottama, Bemby Gusti Cinematography Roy Lolang Editing by Aline Jusria Studio Rapi Films Running time 103 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Kalau menurut saya: Ini salah satu film terbaik tahun ini, saya masih terngiang-ngiang oleh OST nya : Summertime by diar. Secara, Aku suka Road Movie.
Daftar Film Indonesia Bergenre Road Movie :
1.Cinta Dalam Sepotong Roti (1990)
2. Tiga Hari Untuk Selamanya (2007)
3. Janji Joni (2005)
4. Punk In Love (2009)
5. Mama Cake (2012)
6. Raya Cahaya Diatas Cahaya (2012)
7. Laura Dan Marsha (2013)
2 Film Indonesia Mirip Road Movie :
1. Eliana-Eliana (2000)
2. Lovely Man (2012)
Apa yang 2 film terakhir diatas itu termasuk kategori: Road Movie. ????
Mohon pencerahannya Mr Amir ???
Tacky movie poster…
Jadi kurang semangat nonton..
Tunggu dvd-nya rilis aja.
sounds like Galileo (Thai’s movie)…
yang bikin film ini sptnya blum pernah backpacking ke eropa, banyak hal yg ngga masuk akal..mestinya konsultasi dulu sama backpacker yg udah pernah ke eropa jgn demi bikin film yg menegangkan ngasal. pertama, backpacker sejati tahu, kalau paspor ilang, hal yg pertama dilakukan adalah ke ktr polisi setempat dan ke KBRI utk bikin surat laksana paspor, trus belum pernah ke eropa nyewa mobil ga standar eropa yg ga safety (kejebak di hutan) trus di eropa / negara maju ga bisa seenaknya tres passing ini mereka ber2 masuk ke tempat org minum bir yg punya gedung lagi widih, trus lagi kerja di cafe eropa tanpa ada surat ijin kerja, paspor dll, cafe milik org eropa mana berani nerima org kerja sekalipun cuma cuci piring, kecuali cafe milik imigran dari RRC yg menyelundupkan pekerja ilegal ari RRC juga