Jo (Dandy Rainaldy), Flo (Stefhani Zamora Husen) dan Zee (Rizky Black) adalah tiga orang pelajar sebuah sekolah dasar negeri yang walaupun memiliki karakter, tabiat serta berasal dari latar belakang sosial yang berbeda namun saling bersahabat. Satu hal yang paling menarik perhatian mereka saat ini adalah mengenai keberadaan makhluk supernatural… alias hantu. Jo begitu terobsesi dengan hantu sehingga mengoleksi banyak film-film horor. Flo tidak terlalu menanggapi hal tersebut secara serius, tetapi selalu berusaha untuk mencari tahu tentang jenis dan ciri-ciri setiap hantu. Sedangkan Zee… dirinya telah tenggelam dengan banyak mitos mengenai keberadaan makhluk supernatural tersebut sehingga akhirnya selalu dirundung ketakutan setiap kali orang lain membicarakan mengenai topik tersebut.
Jo, Flo dan Zee sendiri turut tergabung dalam organisasi pramuka di sekolahnya. Dan ketika organisasi tersebut berencana untuk melakukan kegiatan perkemahan di kawasan hutan Jatinangor, ketiganya kemudian melihat rencana tersebut sebagai potensi untuk menyelidiki dan mencari tahu mengenai keberadaan para hantu. Well… tidak ketiga anak tersebut sebenarnya yang bersemangat dengan rencana tersebut. Zee seperti biasa merasa ketakutan dengan bayang-bayang bahwa para hantu akan menangkap dan memakannya. Sebagai persiapan, Jo dan Flo membawa Zee untuk latihan berkemah di desa pembantu Jo. Sialnya, di desa tersebut, ketiga anak tersebut justru terlibat dalam misteri sebuah rumah tua yang penghuninya tewas terbunuh secara tragis 25 tahun yang lalu.
Dengan naskah cerita yang ditulis dan disutradarai oleh Ivan Alvameiz, Tiga Sekawan mencoba untuk mengolah sebuah kisah petualangan yang kali ini harus berhadapan dengan berbagai misteri supranatural. Ivan sendiri mampu menggarap jalinan cerita tersebut menjadi sebuah kisah yang cukup menyenangkan untuk diikuti. Drama persahabatan yang terjalin antara ketiga karakter utama film ini berhasil berpadu dengan baik bersama unsur komedi yang hadir lewat deretan adegan di sepanjang film ini. Tema horor yang disajikan juga mampu digarap dengan baik, tidak pernah dihadirkan terlalu berlebihan sehingga dapat menakuti para penonton muda juga tidak pernah terlihat menggelikan untuk disaksikan para penonton dewasa.
Permasalahan terbesar dari film ini adalah naskah cerita karya Ivan Alvameiz seperti terlalu berusaha untuk menempatkan ketiga karakter utamanya menjadi sosok yang begitu besar peranannya dalam jalan cerita. Sayangnya, hal tersebut dilakukan dengan mengkerdilkan deretan peran dewasa yang hadir di sekitar mereka. Hasilnya, seringkali karakter-karakter dewasa dalam film ini terlihat bodoh dan jauh dari kesan bijaksana dalam setiap perkataan, pemikiran maupun keputusan yang mereka ambil. Pengembangan jalan cerita juga seringkali terasa terlalu bertele-tele. Durasi film yang mencapai 116 menit jelas dapat dipangkas jika saja Ivan mampu merapikan naskah ceritanya di beberapa bagian untuk menjadikannya lebih efektif.
Dari departemen akting sendiri, Ivan memiliki jajaran pemeran yang cukup mampu menghidupkan karakter-karakter yang mereka perankan. Tiga pemeran utama film ini, Dandy Rainaldy, Stefhani Zamora Husen dan Rizky Black mampu hadir dengan kemampuan akting yang tidak mengecewakan – walau terkadang masih terlihat kaku di beberapa adegan. Chemistry yang tercipta di antara mereka juga cukup meyakinkan untuk terlihat sebagai tiga sahabat akrab. Penampilan ketiganya juga mendapatkan dukungan akting yang bagus dari para pemeran pendukung yang berhasil tampil memuaskan seperti Rizky Hanggono, Tike Priyatna Kusuma, Virnie Ismail sampai Dede Yusuf yang hadir dalam porsi singkat namun dengan bagian penceritaan yang meyakinkan. Tidak ada permasalahan yang cukup berarti dari segi tata teknis – kecuali mungkin kehadiran musik pengiring yang seperti terlalu tendensius untuk hadir di setiap adegan yang bernuansakan horor nan mencekam. Terlalu mengganggu dan tidak efektif!
Jelas adalah sangat menyenangkan untuk melihat sebuah variasi cerita dari film keluarga yang dihadirkan oleh film Indonesia. Walau masih belum sempurna dalam penyajian jalan ceritanya – yang seringkali terhambat oleh masalah-masalah seperti pengembangan cerita serta karakter yang terlalu dangkal, Tiga Sekawan masih cukup mampu tampil menyenangkan dengan kemampuan Ivan Alvameiz dalam mengarahkan ritme cerita serta penampilan dari para jajaran pemerannya. Sebuah sajian film keluarga yang mungkin tidak terasa terlalu istimewa dari segi kualitas, namun jelas akan mampu memberikan hiburan yang cukup menyenangkan ketika menyaksikannya.

Tiga Sekawan (2013)
Directed by Ivan Alvameiz Produced by Ferry Noerdin Lawadue Written by Ivan Alvameiz Starring Rizky Black, Stefhani Zamora Husen, Dandy Rainaldy, Dede Yusuf, Rizky Hanggono, Virnie Ismail, Tike Priyatnakusumah, Jason Daniels, Monica Oemardi, Rafli Febriansyah, Wawan Setiawan, Wina Zulfiana, Nunie Pharikesit, Dahlina, Iqbal Atmadinata Cinematography Joko Priyono Editing by Widodo Soedirjo, Ashari Studio Global Pictures Running time 116 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Terima kasih atas apresiasi teman-teman ” At The Movies ” dalam mengkritisi film Tiga Sekawan. Saya ingin menanggapai bukan karena ingin membantah atau membela diri. Semua koreksian jeli teman-teman, saya terima dengan kepala tertunduk hormat. Bahwa film ini tidak terasa terlalu istimewa, tentu saja itu benar. Film Tiga Sekawan memang tidak istimewa dari kualitas dan jauh dari sempurna. Masih banyak kelemahan di sana sininya. Saya akan perbaiki di film berikutnya nanti.
Tapi soal analisa tokoh Jo, Flo dan Zee yang mempunyai porsi peranan yang sangat besar, itu memang tujuannya. Dari judulnya saja sudah jelas Tiga Sekawan. Yaitu Jo, Flo dan Zee. Kemudian terkesan film ini mengkerdilkan porsi peranan dewasa. Sehingga mereka acap kali terlihat bodoh dan tidak bijaksana dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini, penilaian itu sangat betul sekali. Film Tiga Sekawan ini memang menciptakan karakter dewasa menjadi tokoh yang naif. Terkesan pintar tapi tidak. Terkesan tahu tapi tidak tahu. Terkesan bijaksana tapi tidak. Conten film ini menceritakan kehidupan anak-anak Indonesia di tengah doktrin turun temurun tentang hantu. Tapi celakanya, tidak ada satupun deskripsi yang jelas tentang hantu kecuali dengan jawaban “Katanya Seram. Katanya begina-begitu, dstnya”. Itu sebabnya banyak film yang menginterpretasikan hantu atau setan dalam berbagai bagai macam bentuk dan nama. Alhasil, semua tokoh dewasa dalam film Tiga Sekawan menjadi terlihat bodoh ketika bicara hantu. Bahkan tidak bijak mengambil keputusan. Dan itupun sebetulnya yang sedang terjadi dalam kehidupan yang nyata. Dalam kehidupan saya dan teman-teman tentunya.
Kalau teman-teman masih ingat beberapa adegan dalam film Tiga Sekawan, rasanya conten film ini sudah cukup terbaca. Sebab kalo dilebihkan nanti malah semakin bertele-tele. Pertama saat Papi Bo menjelaskan Hantu pada Jo. Papi Bo terkesan tahu dan bijaksana. Tapi di luar itu, Papi Bo dan Mami Re terbirit-birit ketika melihat topeng hantu hutan di lemari Jo. Naif sekali. Lalu Kepala Desa yang menjadikan hantu danau sebagai isu kampanye pemilihan Kades. Atau isu hantu di rumah pak Drajat. Tapi ketika di danau itu tidak ada hantu melainkan buaya atau bukan hantu di rumah pak Drajat melainkan Puspita yang selamat dari pembunuhan. Pak Kades berbalik memanfaatkan untuk menetralisir suasana. Pak Kades tampil wibawa menjelaskan pada warga. Meski dia bilang Jo, Floi dan Zee sebagai pahlawan desa tapi tampilan Kades sendiri seolah dialah pahlawannya. Naif sekali. Atau dua hansip yang malah memanfaatkan situasi tahayul itu menjadi ladang mencari uang. Hal itu juga naif. Atau tokoh mistis yang paling sentral adalah Kokom, ibunya Zee. Yang terang-terangan percaya dengan tahayul. Maka nasehat dan perbuatannya bukan cuma terasa tapi memang sangat naif. Jadi kesimpulannya, tokoh Papi Bo, Mami Re, Kokom, Kades bik Mpur dan dua hansip desa adalah sebuah kenyataan bahwa mereka sendiri adalah bagian dari doktrin hantu dari generasi sebelumnya. Papi Bo dan Mami Re mewakili kaum swasta yang kaya, Kokom dari kelompok marjinal sementara Kades dan Hansip simbol dari pemerintahan. Sama halnya yang terjadi dengan keadaan saat ini bukan? Cuma sayang saja tidak tereksploitasi. Lalu kalau doktrin turun temurun ini dibiarkan subur di tengah-tengah anak Indonesia, bukan mustahil akan menciptakan jutaan anak seperti tokoh Zee yang paranoid dan selalu kentut.
Kalau kemudian film ini terasa terlalu bertele-tele dalam pengembangan masalahnya, mungkin saja benar tapi mungkin juga karena kita sudah semakin terbiasa mengerjakan sesuatu secara instan. Tanpa proses dan langsung eksekusi. Saya khawatir penontonnya malah tidak mengerti. Masalah musik yang terlalu tendesius, saya bisa terima masukannya, thanks.
Begitulah penjelasan saya. Sekali lagi, bukan bermaksud membela diri. Saya hanya ingin mengajak teman-teman melihat conten film Tiga Sekawan dari frame yang sama. Tapi jika gagasan itu tidak tercapai dengan baik, saya terima koreksiannya.
Sekali lagi, terima kasih sekali atas apresiasi teman-teman pada film Tiga Sekawan. Dan akhirnya saya tunggu koreksian teman-teman di film Tiga Sekawan yang berikutnya – Ivan Alvameiz.