Review: Bidadari-Bidadari Surga (2012)


Well… seperti yang dikatakan oleh banyak orang: You don’t mess with a winning formula! Karenanya, ketika Hafalan Shalat Delisa yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Tere Liye berhasil menjadi salah satu film Indonesia dengan raihan jumlah penonton terbesar di sepanjang masa rilisnya pada tahun 2011, tidak mengherankan jika kemudian produser film tersebut mencoba kembali mengulang sukses tersebut dalam rilisan mereka berikutnya. Hasilnya… sebuah film lain yang diadaptasi dari novel Tere Liye – yang kali ini berjudul Bidadari-Bidadari Surga, masih dengan kisah bernuansa reliji, masih dengan kisah yang akan berusaha (baca: memaksa) penontonnya untuk tersentuh dan meneteskan air mata, masih disutradarai oleh Sony Gaokasak, masih menempatkan Nirina Zubir di barisan terdepan jajaran pengisi departemen aktingnya dan… Mike Lewis yang nanti hadir di pertengahan cerita. Hasilnya? Masih sama seperti Hafalan Shalat Delisa. Namun kali ini hadir dengan perjalanan yang terasa lebih menyakitkan.

Baiklah… Bidadari-Bidadari Surga berkisah mengenai lima bersaudara yang terdiri dari Laisa (Nirina Zubir – dengan tata rias yang akan membuatnya merasa malu sepanjang hidup atas keputusan untuk mengambil peran dalam film ini), Dalimunthe (Nino Fernandez), Ikanuri (Adam Zidni), Wibisana (Frans Nicholas) dan Yashinta (Nadine Chandrawinata). Laisa memiliki penampilan fisik yang berbeda dari keempat adiknya. Jika keempat adiknya… well… merupakan pemandangan yang sangat menyegarkan bagi mata, maka Laisa adalah… well… terlihat bagaikan seorang wanita yang wajahnya dibubuhi bedak berwarna hitam, menggunakan rambut palsu keriting yang tak beraturan serta diselimuti dengan pakaian yang lusuh. Go figure! Pun begitu, Laisa adalah sesosok gadis yang sangat cantik… cantik… dari hatinya. Semenjak kecil, Laisa menjadi karakter tegas yang membantu ibunya, Mamak Lainuri (Henidar Amroe), untuk membimbing adik-adiknya hingga akhirnya satu persatu mereka mampu meraih sukses.

Dengan penampilan fisik yang sangat terbatas tersebut, jelas bukanlah sebuah hal yang mengherankan jika kemudian, hingga usianya yang hampir mencapai 40 tahun, Laisa belum dapat menemukan pasangan hidupnya. Cinta akhirnya datang kepada Laisa dalam wujud pria tampan bernama Dharma (Rizky Hanggono) yang dikenalkan adiknya, Dalimunthe, kepada dirinya. Dharma sendiri semenjak awal telah mengungkapkan bahwa dirinya menyukai kecerdasan dan keindahan hati sosok Laisa. Namun, rasa cinta Dharma sendiri bukanlah datang tanpa niat lain. Dharma sebenarnya telah memiliki seorang istri yang cantik bernama Andini (Astri Nurdin). Ketidakmampuan Andini untuk memberikan seorang keturunan pada Dharma yang kemudian membuat Andini memaksa Dharma untuk mencari istri kedua. Apakah Laisa dapat menerima posisi sebagai istri kedua dalam pernikahan Dharma? Apakah penderitaan hidup Laisa akan berakhir? Apakah film ini akan tetap menyiksa penontonnya dalam setiap detik durasi film ini bergulir? Kapankah Mike Lewis akan muncul? Apakah Anda mulai terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan ini?

Well… seperti yang dikatakan banyak orang – atau lirik lagu sebuah kelompok musik cadas terdahulu: Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu…. malah mati kemudian. Hal yang sama dapat diungkapkan pada perjalanan hidup dari karakter Laisa. Semenjak awal film, karakter tersebut terus menerus diberikan penderitaan yang beruntun: penampilan fisik yang menyedihkan, tidak dapat mengecap pendidikan layak seperti adik-adiknya, dihina adiknya sendiri, susah mendapatkan pasangan hidup, mendapatkan pembatalan pernikahan hingga akhirnya… yah… meninggal dunia akibat penyakit yang sebenarnya dapat saja disembuhkan namun atas nama untuk menghasilkan airmata penonton kemudian tidak pernah digambarkan berusaha untuk diobati oleh penulis naskah film ini.

Berbagai keterbatasan yang digambarkan lewat karakter Laisa sebenarnya dihadirkan untuk sebuah tujuan yang mulia. Penonton seperti diingatkan bahwa penampilan fisik bukanlah segalanya. Atau Anda tidak dapat menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya. Atau sebuah keteguhan hati dapat memberikan Anda kesuksesan. Atau sekedar mengingatkan adalah sangat bodoh untuk tidak melakukan apa-apa ketika dokter mendiagnosa Anda dengan penyakit kanker stadium satu dan justru kemudian memilih untuk menjauhkan diri Anda dari orang-orang yang Anda sayangi serta, atas nama keteguhan hati dan tidak mau merepotkan orang lain, memilih untuk terus membiarkan kanker tersebut menggerogoti tubuh Anda tanpa pernah berusaha untuk mengobatinya. Benar-benar sebuah keputusan yang sangat tidak bijaksana.

Menyedihkan untuk melihat Tere Liye atau penulis naskah film ini, Sony Gaokasak dan Dewa Raka, harus memaksakan hal-hal tersebut demi sekedar menghadirkan deretan pesan moral ataupun usaha untuk membuat penonton film ini menangis. Terlepas dari hal-hal tersebut, naskah cerita arahan Sony Gaokasak dan Dewa Raka sendiri jelas terlihat sangat lemah dari berbagai sisi. Sony dan Dewa dengan mudah menciptakan berbagai konflik untuk kemudian dihadirkan dengan penyelesaian yang begitu instan dan menghilang begitu saja. Karakter-karakter pendukung juga dihadirkan pada kapasitas sebagai karakter pendukung dan sama sekali tidak memiliki esensi kehadiran yang berarti pada jalan cerita. Lihat saja bagaimana karakter Mamak Lainuri yang hampir tidak memiliki arti kehadirannya selain untuk mengeluh dan memerintah karakter anak-anaknya terlepas dari penggambarannya sebagai sosok ibunda yang bijaksana dan penyayang. Atau karakter Cie Hui yang tak lebih dari pemanis pada gambaran pernikahan karakter Dalimunthe. Atau peran-peran lain seperti karakter Ikanuri, Wibisana dan Gougsky yang benar-benar hadir dengan sia-sia.

Tak hanya dari segi naskah cerita yang berantakan, tata produksi film ini juga patut mendapatkan sebuah pertanyaan besar mengenai kualitasnya. Pertama-tama, tata rias yang diberikan pada Nirina Zubir justru membuat karakter yang ia perankan lebih sering mendapatkan cemoohan dan menjadi bahan tertawaan daripada terlihat meyakinkan dan menghasilkan rasa iba dari penonton. Kemudian efek visual yang… duh… begitu terlihat sebagai sebuah gambar tempelan belaka. Manusia berhadapan dengan harimau atau adegan ending yang terkesan meniru adegan Kate Winslet di film Finding Neverland (2004)? Really? Tata musik arahan Tya Subiakto Satrio juga telah diarahkan mengikuti arah cerita film ini: berusaha menghasilkan tangisan penonton. Karenanya, Tya kemudian memberikan banyak orkestrasi yang tidak perlu (dan terlalu banyak!) pada berbagai adegan yang terkesan memancing rasa haru. Dan terakhir adalah tata editing dari Cesa David Luckmansyah dan Ryan Purwoko yang begitu terasa kasar pada banyak bagian. Cesa dan Ryan biasanya selalu mampu menghasilkan karya yang solid. Namun pada Bidadari-Bidadari Surga? Sama sekali tidak.

Harus diakui, satu-satunya yang masih dapat diberikan tanggapan positif dari film ini adalah penampilan akting para jajaran pemerannya. Tidak semua, namun mayoritas mereka mampu menampilkan akting yang cukup baik. Terlepas dari tata rias yang sangat mengganggu, Nirina Zubir sekali lagi membuktikan kemampuan dramatisnya yang kuat. Walau dengan peran yang terbatas, Rizky Hanggono justru mampu hadir dengan penampilan yang lebih berkesan dari para jajaran pemeran lainnya. Begitu pula dengan Nadine Chandrawinata, Henidar Amroe, Astri Nurdin, Nino Fernandez dan deretan pemeran cilik dalam film ini. Masalah pada penampilan mereka adalah terbatasnya porsi penceritaan karakter yang mereka perankan sehingga membuat penampilan mereka jauh dari hasil yang mengesankan.

Walau tetap mampu menghadirkan penampilan para jajaran pemeran yang cukup kuat, khususnya penampilan mengesankan dari Nirina Zubir dan Rizky Hanggono, Bidadari-Bidadari Surga jelas terlihat sebagai sebuah presentasi yang lemah. Mulai dari bagaimana peletakan tata rias dan rambut palsu pada Nirina Zubir, naskah arahan Sony Gaokasak dan Dewa Raka (serta materi asli novel karya Tere Liye) yang tidak mampu menghadirkan dan membangun konflik maupun karakter dengan baik, tata produksi yang begitu terkesan terburu-buru hingga dengan arahan Sony Gaokasak yang tidak mampu mengatur alur ritme penceritaan dengan baik. Bidadari-Bidadari Surga terlalu berusaha untuk menghasilkan jalan cerita yang emosional lewat penderitaan karakter utamanya. Sayang, usaha tersebut justru membuat alur kisah film ini terasa palsu, bertele-tele dan lebih pantas untuk dijadikan bahan sindiran daripada sebagai penghasil inspirasi bagi penontonnya. Salah satu presentasi film Indonesia terburuk di sepanjang tahun ini.

popcornpopcorn popcorn2popcorn2popcorn2

Bidadari-Bidadari Surga (Starvision, 2012)
Bidadari-Bidadari Surga (Starvision, 2012)

Bidadari-Bidadari Surga (2012)

Directed by Sony Gaokasak Produced by Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Written by Dewa Raka, Sony Gaokasak (screenplay), Tere Liye (novelBidadari-Bidadari Surga) Starring Nirina Zubir, Nino Fernandez, Nadine Chandrawinata, Henidar Amroe, Rizky Hanggono, Chantiq Schagerl, Mike Lewis, Eriska Raenisa, Adam Zidni, Frans Nicholas, Astri Nurdin, Gary Iskak, Rizky Julio, Billy Boedjanger, Piet Pagau, Michael Adam, Saddam Basamalah, Joehana Sutisna Music by Tya Subiakto Satrio Cinematography Enggong Supardi Editing by Cesa David Luckmansyah, Ryan Purwoko Studio Starvision Running time 100 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Sony Gaokasak

14 thoughts on “Review: Bidadari-Bidadari Surga (2012)”

  1. Blog ini keren sekali, banyak banget review film2nya. Ngapain aja sih, bang, kerjaannya? Nulis review doang ya sehari2? Nggak pernah ada gitu PH yg tertarik buat nge-rekrut biar bisa memperbaiki kualitas film nasional?

    1. Halo! Ada sih kalau pekerjaan harian tetapnya… Di kolom About diceritain sedikit tuh. Soal tawaran dari rumah produksi… Saya tetap menulis di blog aja deh…

      1. Wah hebat, bang. Sy sudah baca about-nya. Itu yang menulis tentang abang di about keren banget, banyak banget pujiannya ke abang.

  2. karena saya terlalu memuji muji novel (dr segi novel dahsyat luar biasaaaa) dari filem ini, saya agak sedikit marah atas review filemnya anda walaupun pada kenyataanya review dari filem yg anda bikin lebih kurang samaa. Saya tak tau penyebabnya apaa///

  3. Saya kurang setuju dengan pendapat anda tentang sakitnya laisa, di ceritakan dia sering bolak-balik rumah sakit kok (tanpa sepengetahuan adiknya), dan anda juga harus pikir, kalau dia berobat otomatis ia harus punya uang bnyak, trus dia harus dapat uang bnyak dari mana? Sedangkan adik2 nya saja blm selesai sekolah, *maaf saya hanya sekedar mengomentari*

    1. Jika anda membaca novelnya, anda akan tahu mengapa Laisa merahasiakan penyakitnya dan… darimana ia mendapatkan uang untuk berobat 🙂

  4. satu lagi yg mengganggu: ilustrasi musiknya; film ini berlatar daerah mana? kok yg sering terdengar musik tiup dari Minang?

  5. ini salah satu alasan mengapa ridwan lebih suka membaca novel dari pada film nya.. karena masih banyak adegan dalam novel yang di potong (baca di hilangkan) mungkin ini salah satu manajement perfilman untuk memangkas anggaran.. ?? hehehee but salut buat nirina yang selalu all out dalam peran nya

    😀

  6. lha saya pikir ini film komedi (karna liat gambar nirina dan rizky hanggono di atas) bner bgt ka mas amir, spertinya dunia perfilman kita mempunyai kualitas tata produksi yg buruk.
    itu nirina zubir kesannya jd seseorang yg jelek (dalam artian cemoohan orang2) di luar perannya sbg seorang yg menderita sakit parah. untuk akting nya nirina zubir sih ga usah di pertanyakan lg ! terkesan dgn aktingnya di mirror : )

  7. Amazing review nya., 🙂
    terhibur jg sma komenan2 di atas 😀 tp bagus2 kokk

    utk si empunya blog, karya novelnya sya tunggu ^_^

  8. bukannya sudah sedari awal Kak Laisa selalu mengatakan “Kakak Baik Baik Saja” , tidak lain dan tidak bukan karena kak laisa tidak ingin membuat adiknya susah dan sedih
    dalam novelnya pun ditegaskan bahwa yang berhak sakit dan susah itu adalah kak lais bukan adek adeknya
    maka disembunyikan lah semua kesakitannya kak lais demi adek nya

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s