Review: Madre (2013)


Diarahkan oleh sutradara sekaligus penulis naskah pemenang Festival Film Indonesia, Benni Setiawan (3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta, 2010), naskah cerita Madre diadaptasi dari cerita pendek berjudul sama karya Dewi Lestari yang sempat dirilis dalam buku kumpulan cerita fiksi ketiganya yang juga diberi judul Madre (2011). Benni sebenarnya dapat saja mengikuti pakem drama Madre yang memang diterapkan Dewi Lestari dalam tulisannya. Namun, alih-alih mengikuti pola penceritaan dua seri Perahu Kertas (2012) maupun Rectoverso (2013) yang juga mengadaptasi hasil tulisan penulis kelahiran Bandung, Jawa Barat tersebut, Benni justru mengubah tatanan cerita versi film dari Madre menjadi sebuah sajian drama komed romantis. Berhasil? Well… jika diibaratkan sebagai sebuah potongan roti, Madre tidak memiliki tekstur yang padat. Pun begitu, Benni masih tetap mampu mengemasnya menjadi sebuah penganan yang hangat sekaligus begitu lembut untuk dinikmati.

Madre berkisah mengenai seorang pemuda asal Bali bernama Tansen Roy Wuisan (Vino G. Bastian) yang kehidupannya sebagai seorang peselancar dan blogger yang menjunjung tinggi semangat kebebasan hidup berubah ketika ia mendapati bahwa dirinya adalah merupakan seorang cucu dari almarhum pengusaha roti asal Bandung bernama Tan Sin Gie yang kemudian mewariskan toko roti bernama Tan de Bakker yang telah berhenti beroperasi kepadanya. Tan de Bakker sendiri bukanlah sebuah toko roti biasa. Di dalamnya, tersimpan sebuah biang roti – yang oleh pegawai toko roti tersebut dinamakan dengan Madre – yang selama ini menjadi resep rahasia mengapa setiap roti yang dihasilkan oleh Tan de Bakker menjadi begitu lembut, harum dan tahan lama.

Awalnya, Tansen sama sekali acuh dengan harta yang baru ia dapatkan tersebut. Ia bahkan telah beniat menjual Madre kepada Meilan Tanuwidjaja (Laura Basuki), seorang gadis yang juga merupakan pengusaha toko roti modern bernama Fairy Bread. Namun, dengan saran yang ia terima dari penjaga toko roti tersebut, Pak Hadi (Didi Petet), bahwa sang kakek memberikan toko roti itu kepadanya karena ia yakin Tansen akan mampu mengelolanya, Tansen kemudian mulai mengumpulkan berbagai strategi untuk menghidupkan kembali Tan de Bakker. Jelas bukan langkah yang mudah mengingat Tansen sama sekali tidak memiliki pengetahuan mengenai bisnis maupun cara mengolah roti. Namun dengan tekadnya yang kuat serta dorongan semangat dari Pak Hadi, para pegawai Tan de Bakker bahkan dari Meilan sendiri, Tansen secara perlahan mulai mampu mewujudkan harapan sang kakek kepada dirinya.

Sayangnya, untuk sebuah film yang mengemukakan ide dan tema mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan pembuatan roti, Madre justru terasa kurang mampu mengembangkannya dengan baik. Ini yang membuat “roti” yang bernama Madre terasa kurang padat. Naskah cerita arahan Benni Setiawan mampu melemparkan ide yang menggambarkan bagaimana sebuah biang roti dapat menjadi filosofi maupun gambaran mengenai hidup. Namun, di saat yang sama, ide tersebut sama sekali gagal untuk mendapatkan eksplorasi yang bertingkat sehingga terkesan berhenti di titik tersebut saja. Madre menggambarkan sebuah biang roti yang disebut Madre sebagai sebuah hal yang penting serta terasa sakral namun tidak pernah benar-benar memberikan alasan mengapa penonton harus juga turut merasakan bahwa Madre adalah benda yang sakral. Tidak perlu sampai jauh berfilosofi mengenai kehadiran sang biang roti, bahkan penjelasan mengenai apa itu biang roti sendiri terasa mengambang dalam jalan penceritaan Madre. Sederhananya, Madre terlihat berusaha menghadirkan wacana mengenai dunia pembuatan roti namun malah tergeser mengenai berbagai hal yang terjadi di sekitaran dunia pembuatan roti tersebut. Tidak tepat sasaran.

Di sisi lainnya, meskipun tidak merupakan sebuah sajian yang padat, Benni mampu menghidangkan Madre sebagai sebuah sajian yang benar-benar menghibur. Nuansa komedi romantis yang menggeser berbagai filosofi mengenai roti mampu dieksplorasi dengan sedemikian rupa sehingga tetap mampu menjadi sebuah sajian yang lembut sekaligus hangat di berbagai kesempatan. Keunggulan tersebut mampu diraih Benni lewat deretan karakternya yang begitu berwarna serta eksplorasi dialog bernuansa komedi yang berhasil dieksekusi sehingga terasa begitu alami kehadirannya. Meskipun eksekusi ending cerita terkesan sebagai sebuah sajian yang setengah matang karena ditata sedikit terburu-buru, namun kehangatan Madre sepertinya tidak akan mudah luntur begitu saja.

Keunggulan penulisan karakter Benni yang begitu berwarna jelas mendapatkan dukungan solid dari penampilan kuat para jajaran pengisi departemen akting film ini. Vino G. Bastian mampu hadir dengan tampilan emosional yang begitu terjaga di sepanjang film. Chemistry-nya yang kuat dengan Laura Basuki – yang juga tampil apik – dan Didi Petet – yang mencuri perhatian di setiap kesempatan kehadiran karakternya di dalam jalan cerita – semakin membuat Madre begitu nyaman untuk disaksikan. Selain ketiga nama tersebut, jajaran pemeran pendukung lainnya juga mampu tampil dalam kapasitas akting yang luar biasa dalam menghidupkan setiap karakter yang hadir di dalam penceritaan Madre.

Berbicara mengenai kualitas tata produksi film, Benni juga mampu mengumpulkan tenaga-tenaga yang berhasil memberikannya kualitas produksi yang sangat kuat. Fachmi J. Saad mampu menyuplai gambar-gambar indah yang menangkap ke-eksotisan lingkungan sekitar Bandung serta Bali. Desain tata artistik lokasi tempat cerita mengalir juga mampu dihadirkan secara sangat meyakinkan. Di saat yang sama, Andhika Triyadi juga mampu mengisi sisi emosional di setiap adegan film ini dengan tata musiknya yang sangat terasa playful – meskipun, harus diakui, beberapa tata musik rancangan Andhika masih beratmosfer Perahu Kertas di beberapa bagian film.

Jelas tidak mudah untuk mengadaptasi sebuah karya sastra, khususnya karya tulisan dari seorang yang dikenal memiliki filosofi tinggi dalam setiap tulisannya seperti Dewi Lestari. Keputusan Benni Setiawan untuk merangkai versi film dari Madre untuk menjadi sebuah drama komedi romantis yang sangat menjauhi pakem drama yang diterapkan dalam versi cerita pendeknya jelas merupakan sebuah keputusan yang berani. Benar bahwa pada beberapa bagian, Madre menjadi kehilangan tingkat kedalaman penceritaannya. Namun, di saat yang sama, Madre mampu menjelma menjadi sebuah sajian yang begitu mampu untuk menghibur setiap penontonnya. Dialog-dialog komedi yang berjalan santai mampu berpadu dengan karakter-karakter yang berwarna, eksekusi Benni yang berjalan mulus serta, tentu saja, beberapa semangat filosofi hidup Dewi Lestari yang masih menempel kuat di sepanjang presentasi film ini. Ringan, namun tetap terasa berisi dan memuaskan.

popcornpopcornpopcorn  popcorn2

Madre (Mizan Productions, 2013)
Madre (Mizan Productions, 2013)

Madre (2013)

Directed by Benni Setiawan Produced by Putut Widjanarko, Avesina Soebli Written by Benni Setiawan (screenplay), Dewi Lestari (short story, MadreStarring Vino G. Bastian, Laura Basuki, Didi Petet, Titi Qadarsih, Savitri Nooringhati, Gatot W Dwiyono, Lisa H. Pandansari, Framly Nainggolan, Gangsar Sukrisno, R. Chaeruli, Roma Rambeng, Roni Gunawan, Nadhira Suryadi, Siri Hartayu, Madina Monicha, Eriek Juragan, Ng Ming Sim, Darwin Sofjan, Roy, Syari Haditsyah Music by Andhika Triyadi Cinematography Fachmi J. Saad Editing by Andhy Pulung Studio Mizan Productions Running time 107 minutes Country Indonesia Language Indonesian

One thought on “Review: Madre (2013)”

  1. sukaaaaaaa banget pada chemistry Vino – Laura di sini, saya seperti menonton orang ngobrol santai di kehidupan nyata, benar-benar memikat. selainnya, saya sudah jatuh suka sama novela Madre by Dee jadi overall, saya SUKA film ini…..manis dan anget.

Leave a Reply