Review: 127 Hours (2010)


Kejeniusan seorang Danny Boyle dalam merangkai gambar dengan visual indah yang mampu bercerita secara mendalam dan menyentuh hati setiap orang berlanjut dalam bentuk 127 Hours, sebuah film yang mendasarkan kisahnya pada novel autobiografi karya seorang petualang dan pecinta alam asal Amerika Serikat, Aron Ralston, yang berjudul Between a Rock and a Hard Place (2004). Untuk film ini, Boyle kembali bekerjasama dengan penulis naskah Simon Beaufoy dan produser Christian Colson, yang karya terakhir mereka, Slumdog Millionaire (2008) berhasil memenangkan delapan Academy Awards, termasuk Best Picture, Best Director untuk Boyle, dan Best Adapted Screenplay untuk Beaufoy.

Walau begitu, 127 Hours adalah sebuah karya yang sama sekali berbeda dengan Slumdog Millionaire. Selain berlatar belakang tempat di dua belahan dunia yang sangat berbeda, dua film tersebut juga memiliki premis yang terdengar begitu bertolak belakang: Sang film pemenang Academy Awards mengisahkan tentang kisah fiktif seorang pemuda miskin India yang menggunakan sebuah acara kuis populer untuk menemukan kembali cintanya yang telah lama hilang, sementara film kedua yang menjadi karya kesembilan Danny Boyle sebagai seorang sutradara mengisahkan mengenai seorang petualang alam yang terjebak di tengah keliaran alam.

Namun, jika ingin ditelaah secara mendalam, kedua film ini menawarkan sebuah jiwa dan semangat yang sama. Kedua film ini sama-sama mengisahkan mengenai keoptimisan seorang anak manusia dalam menghadapi kehidupan yang keras untuk mencapai kebahagiaan jiwa mereka – dan hal tersebut dapat mereka raih setelah berhasil melalui sebuah penderitaan yang menempatkan mereka pada titik terendah di kehidupan mereka. Yang terlebih penting lagi, kedua film ini sama-sama berhasil memberikan sebuah pemikiran mendalam mengenai kehidupan: belajar dari kesalahan fatal yang telah diperbuat untuk kemudian memperbaikinya dan terus melanjutkan hidup. Sebuah hasil yang sangat jarang untuk dicapai banyak film Hollywood akhir-akhir ini.

Kisah Aron Ralston sendiri kemungkinan besar adalah salah satu kisah nyata mengenai kemampuan manusia untuk bertahan hidup yang paling menakjubkan yang pernah ada. Sebagai seorang pecinta alam, Ralston (James Franco) telah terbiasa untuk bertualang sendirian: sejenak menghilang dan melupakan adanya kehidupan lain untuk berbaur dengan indahnya alam liar. Namun pada 26 April 2003 hingga 127 jam berikutnya, Ralston harus berjuang untuk mempertahankan hidupnya setelah ia terjatuh dan terjepit pada sebuah lembah di Canyonlands National Park.

Selama ia terjebak, alam sepertinya memberikan waktu bagi Ralston untuk kembali mengevaluasi makna hidupnya sekaligus mengumpulkan segenap keberaniannya untuk terus bertahan hidup selama mungkin. Selama masa itu pula, bagaikan sebuah adegan film yang diputar ulang di hadapannya, Ralston kembali mengingat seluruh kejadian yang pernah ia alami bersama kedua orangtuanya (Treat Williams dan Kate Burton), adiknya Sonja (Lizzy Caplan) yang akan segera menikah dan seluruh anggota keluarganya, kekasihnya Rana (Clémence Poésy), serta dua orang gadis pecinta alam yang ia temui sebelum kecelakaan itu terjadi, Kristi (Kate Mara) dan Megan (Amber Tamblyn).

Walaupun memiliki karakter dan latar belakang tempat yang terbatas – bayangkan sebagai sebuah perpaduan dari Buried (2010) dan Into the Wild (2007) – tampilan visual alam yang indah dan seringkali dihadirkan dengan sudut pengambilan gambar yang cukup berani ditambah dengan naskah cerita yang sangat cerdas membuat 127 Hours tidak pernah hadir dengan suasana yang akan membuat bosan penontonnya. Kisah Aron Ralston yang dihadirkan oleh Boyle sendiri, harus diakui, mampu ditampilkan dengan tingkat intensitas yang sangat terjaga. Begitu terjaganya tingkat intensitas tersebut, kisah ini terkadang sangat menegangkan untuk disimak. Di sisi lain, begitu menegangkannya 127 Hours, kisah ini tetap berhasil menyampaikan sisi drama film ini yang dihadirkan lewat berbagai memori Ralston. Begitu personal dan sangat mampu menyentuh.

Kunci keberhasilan film ini – selain karena faktor-faktor lain yang dihasilkan Danny Boyle seperti yang digambarkan diatas – berada di tangan seorang James Franco yang memegang kendali penuh atas seluruh aliran emosi yang hadir selama film ini berjalan. Sebagai karakter Aron Ralston, Franco berhasil tampil sebagai seorang karakter yang sangat mudah untuk disukai. Semangat Ralston untuk tetap bertahan hidup dan tidak mudah menyerah begitu terpancar dari setiap ekspresi yang dikeluarkan oleh Franco. Hal ini yang kemudian penonton secara perlahan akan jatuh hati pada karakter Ralston dan begitu mencurahkan perhatian pada dirinya. Ada satu momen di 127 Hours dimana Ralston dipaksa untuk mengorbankan anggota tubuhnya untuk dapat bertahan hidup. Boyle berhasil menghadirkan adegan ini dengan begitu dramatis dan Franco mampu membawakan karakternya dengan begitu baik sehingga adegan ini menjadi begitu mendebarkan – dan mungkin saja akan membuat anda meneteskan air mata.

Kesuksesan lain juga berhasil diraih oleh komposer A. R. Rahman — satu nama lagi yang kembali diajak Boyle untuk bekerjasama setelah keberhasilan Slumdog Millionaire. Seringkali, Rahman memasukkan sebuah musik  pengiring yang sangat bertentangan dengan mood yang sedang dihadirkan pada sebuah adegan. Namun, entah mengapa musik pengiring tersebut kemudian secara perlahan berhasil memberikan dorongan mood yang diperlukan oleh adegan tersebut. Ini yang kemudian menjadikan musik Rahman menjadi salah satu bagian esensial yang sulit untuk dipisahkan dari 127 Hours.

127 Hours jelas merupakan sebuah karya yang berhasil menunjukkan bukti kecerdasan setiap orang yang terlibat di dalamnya, khususnya Danny Boyle dan James Franco. Boyle sangat beruntung memiliki Franco yang sangat mampu membawakan setiap emosi yang dihadirkan di dalam jalan cerita film ini dengan sangat baik. Sebuah pembuktian kalau Franco adalah salah satu aktor terbaik di generasinya. Secara sederhana, 127 Hours dapat dimasukkan sebagai salah satu karya terbaik dari Boyle. Dengan susunan naskah yang sangat cerdas dari Boyle dan Simon Beaufoy, dibantu dengan visualisasi yang begitu indah dan mendalam serta iringan musik syahdu susunan A. R. Rahman, 127 Hours menjelma menjadi sebuah karya yang walaupun begitu sederhana, namun mampu menyentuh, inspiratif dan dengan tampilan yang begitu kuat.

127 Hours (Cloud Eight/Decibel Films/Darlow Smithson Productions/HandMade Films/Film4/Fox Searchlight Pictures, 2010)

127 Hours (2010)

Directed by Danny Boyle Produced by Christian Colson, John Smithson, Danny Boyle Written by Simon Beaufoy, Danny Boyle (screenplay), Aron Ralston (novel) Starring James Franco, Amber Tamblyn, Kate Mara, Lizzy Caplan, Clémence Poésy, Treat Williams, Kate Burton Music by A. R. Rahman Cinematography Anthony Dod Mantle, Enrique Chediak Editing by Jon Harris Studio Cloud Eight/Decibel Films/Darlow Smithson Productions/HandMade Films/Film4 Distributed by Fox Searchlight Pictures Running time 94 minutes Language English

7 thoughts on “Review: 127 Hours (2010)”

  1. baru lyat dari dvd… mirip2 sekilas kyk buried, walopun dengan ending yg tidak se-gelap buried..

  2. saya sangat suka dengan film ini, dan sangat merekomendasikan kepada siapapun untuk ditonton. sayangnya, di review di atas ada sedikit spoiler yang kalau dibaca oleh yang belum menonton akan mengurangi tingkat keasyikan dlm menontonnya nantinya…

Leave a Reply